Cinta masa puber
Tiga tahun masa sulit itu berlalu, kini aku bersama dengan keluarga paman. Bibi seakan menjelma seorang ibu bagiku, paman selayaknya ayah dan anak-anak paman bagaikan kakak dan adik bagiku. Aku tidak kekurangan dalam hal pendidikan, makanan dan kebutuhan yang lainnya. Satu hal lagi adalah sahabatku Rima, aku bisa bersekolah bersama Rima kembali. Di SMP yang sama, berangkat dan pulang bersama. 

Menginjak kelas dua SMP aku dan Rima mulai beranjak ke masa pubertas. Kami masuk sekolah siang hari dan keluar jam lima sore nanti. Rima anak DKM Mesjid yang baik akhlaknya, banyak siswa laki-laki yang tertarik pada Rima, namun tak ada satupun yang dia terima untuk dijadikan pacarnya. Nah sedangkan aku yang senang ikut eskul bela diri. Meski kami berbeda kelas dan aktivitas eskul, kami akan bertemu setiap jam istirahat shalat Ashar di Mesjid sekolah. 

"Fatma" panggil Rima dari teras Mesjid. 

"Hey" jawabku sedikit mengeraskan suara dan melambaikan tangan ke arah Rima. 

Rima tersenyum melihatku menghampiri, sesampainya di teras Mesjid. 

"Sini" menunjukkan untuk duduk disampingnya. 

"Siap" jawabku. 

Aku segera membuka sepatuku dan duduk di samping Rima. Aku mengambil kotak kecil berbentuk kado mini dari dalam kantong baju nya, 

" Rima, lihat ini" sambil ku sodorkan kado mini itu ke Rima.

"Apa ini?" tanya Rima mengambil kado mungil dari tanganku. 

"Buka aja" kataku. 

Rima membuka kado mungil itu, 

"MasyaAllah bagus ini" ekspresi Rima melihat kalung perak didalam kotak mungil itu. 

"Kado dari Eka" ucapku dari Rima. 

"Kamu jadian sama Eka" tanya Rima mencoba mengintrogasi. 

" Hehe.. " aku menganggukkan kepalaku.

"Astagfirullah ,, Fatma" wajah Rima berubah kaget seakan tak mengerti ada apa dengan sahabatnya ini. 

" Kamu tahu kan .. ga boleh" lanjut Rima kembali terpotong olehku.

"Ssstttt.. ga usah bawel, aku ga suka sama Eka, hanya untuk lawan tanding aja di eskul beladiri" jelasku pada Rima.

"Maksudnya? " Tanya Rima. 

"Aku sudah pernah cerita, kalau lagi latihan pelatih sering kali melatih kita untuk tanding dengan lawan jenis, sakit tahu pukulan laki-laki itu lebih kuat" jelasku. 

"Terus ? " Tanya Rima kembali.

"Nah kalau latihan aku memilih sama Eka, kan jadi ga sakit, wkwkkw " jawabku. 

"Astagfirullah, udahlah Fatma inget itu dosa" Omelan Rima kepadaku. Aku membalasnya dengan senyuman.

Adzan ashar berkumandang, aku dan Rima memasuki kamar mandi wanita. Ditempat wudhu aku meminta Rima untuk memasangkan kalung perak pemberian Eka.

"Pengait kalungnya keras Fatma" tutur Rima. 

"Sini aku pasang sendiri" kataku pada Rima. 

Rima mengembalikan kalung perak itu ke tanganku, aku mencoba memakai kalung perak itu sendiri. 

"Nah sepertinya udah bisa" kataku sambil melihat cermin. 

" Bagus ga dipakai aku ?" Tanyaku pada Rima. 

"Bagus" jawab Rima. " Yuk wudhu" ajak Rima.

" Iya" jawabku. 

Ketika aku menunduk untuk mengambil air wudhu, hanya sesaat kalung perak itu terpasang di leherku. Kalungnya terjatuh dan hanyut mengikuti aliran air pembuangan. Aku hanya bisa melihat kalung itu hingga hilang dari pandangan. Sambil terus melanjutkan berwudhu. Selesai wudhu dan berdoa. 

"Kalungnya jatuh" ucapku pada Rima.

"Lah ,, " tanggapan Rima.

Wajah cemberut dariku membuat Rima tersenyum, 

"Allah maha tahu, kamu sich main-main dengan kata Cinta" tutur Rima menasehati. 

"Yuk shalat dulu" ajak Rima kepadaku. 

Aku mengangguk memberikan Rima jawaban. Setelah selesai shalat, aku buru-buru colek Rima. 

"Aagghhh... Bingung aku" 

" Bingung kenapa?" 

" Nanti kalau Eka tanya tentang kalung bagaimana?" Aku meminta saran Rima.

" Jawab aja apa adanya" saran Rima.

" Bilang juga kita temenan aja" lanjut Rima.

" Yah.. itu mah nyuruh putus namanya" ucapku. 

"Betul, aku tahu Fatma itu cerdas" jelas Rima tersenyum. 

"Heemmmm" aku meninmpali.

Aku dan Rima kembali ke kelas kita masing-masing, sampai setelah kelas berakhir kita akan saling menunggu di gerbang sekolah untuk pulang bersama. Sore itu aku sedikit terlambat, tugas yang diberikan guru matematika hanya dua soal namun beranak a,b,c,d dan e. Untung saja otakku masih encer. Ku kira akan langsung pulang setelah mengerjakan tugas, tidak ternyata teman-teman sekelas menahan buku tugas milikku. Ada beberapa yang mereka kurang memahami, alhasil mereka menyalin dari apa yang telah aku kerjakan. 
Sepuluh menit berlalu dari bel tanda kelas terakhir. Aku segera menuju gerbang sekolah, karena pasti Rima telah menunggu di sana. Ketika aku sampai di gerbang sekolah, 

"Rima, yuk pulang" ucapku pada Rima.

Rima mengangguk dan sorot matanya seakan ingin memberitahu ada seseorang di dalam pos satpam. Akupun demikian dengan bahasa tubuhku tanpa suara bertanya "Siapa?" , dari pos satpam keluar orang yang tidak ingin aku melihatnya sekarang. 

"Aduh,, Eka" gumamku dalam hati. 

"Hai Fatma" sapa Eka. 

"Eh ya hai" aku berpikir keras bagaimana menghadapi ini. 

"Kalungnya dipakaikan?" Tanya Eka padaku. 

"Sambil jalan kaki yuk" ajakku. 

"Iya " Rima menggandengku disampingnya. 

Eka mengikuti aku dan Rima, kita jalan bertiga menuju jalan raya di depan sana. Sekolah kami memang tidak berada di dekat jalan raya, ada lapangan besar dan sekolah dasar baru jalan raya. Aku dan Rima yang tidak banyak berkata-kata. Rima memang paling tahu kondisiku. Aku mengingat kembali ucapan Rima di Mesjid, aku pikir semua yang diucapkan Rima memang benar adanya, akupun berbalik menghentikan langkah dan masih memegang Rima disampingku, tak disangka aku dan Eka sama-sama memanggil,

"Fatma ,, Eka" 

"Haha..." Aku dan Eka tersenyum. 

"Kamu duluan" kataku

"Kamu aja" Eka menyuruhku berkata terlebih dahulu. 

Kita bertiga berhenti sejenak,

" Baik, sebelumnya aku mau minta maaf, aku tak sengaja menjatuhkan kalung yang kamu kasih" jelasku perlahan. 

" Oh.. ga papa, tenang aja nanti aku kasih yang baru" ucap Eka. 

" /Bukan begitu, kamu baik sekali kepadaku, aku mau kita berteman saja" ucapku seperti membawa gunung Malabar. Meski aku tahu, aku hanya memanfaatkan Eka, tapi aku masih punya hati untuk merasakan yang dia rasakan saat ini. Dalam beberapa detik yang berdetak seakan lama dan kami bertiga membeku. Aku menunggu tanggapan dari Eka, 

"Aku duluan ya" Eka pamit dan berlalu begitu saja. 

Aku tahu pasti dia merasakan kecewa saat ini, lalu aku harus bagaimana? . Aku dan Rima pulang bersama. Rima selalu bisa menenangkan pikiranku. Aku selalu berpikir apa saja yang ibunda Rima kasih ke anaknya, sungguh anak yang baik dan santun. 

Hari Sabtu sore jadwal eskul tiba, aku akan ketemu dengan Eka di tempat latihan. Aku berniat untuk menjelaskan lebih atas ucapanku waktu itu tentang kita berteman saja. Latihan sudah dimulai, aku masih belum ada kesempatan untuk berbincang dengan Eka.  Seperti biasanya pelatih akan memasangkan kami untuk tanding dengan lawan jenis. Dan aku selalu dipasangkan dengan Eka, sesaat pelatih memberikan aba-aba mulai. 

"Brug ,,, " kepalan tangan Eka mendarat di kepalaku. Aku memang kurang konsentrasi saat itu. Gerakan tangkisanku lambat. Aku merasakan sedikit pusing karena pukulan itu. Gerakan selanjutnya aku bisa bertahan, aku mencari kesempatan untuk bisa berbicara, 

" Eka, aku mau ngomong" bisikku. 

Eka tidak menghiraukan ucapan aku, dia tetap konsisten pada latihan, ketika pikiran sesaat teralihkan, 

"Buggddd" pukulan keras tepat di ulu hatiku. Saat itulah tubuhku ambruk dihadapan Eka.

Bersambung 


Silahkan tinggalkan komentar positif bagi penulis, Terimakasih.