Surat itu
"Fatma" seseorang memanggil namaku dari bawah batu karang.

Disusul suara ombak menghantam karang, "Byuurrrrr ... " Aku menyadari diri ini telah kembali dari lamunanku. Tersadarkan dengan sosok wanita yang memanggil namaku.

"Iya Ummi" tunggu sebentar jawabku pada Ummi. 

Segera aku memasukkan surat yang sedari tadi aku pegang kedalam ransel milikku. Ummi adalah seorang wanita penyayang, dia mengasuh aku ketika aku dimasukkan ke panti asuhan satu tahun lalu. 

Dalam satu tahun ini aku mencoba memampukan diri untuk bisa berdiri sendiri. Aku memiliki seorang sahabat di Panti asuhan ini, namanya Haris. Laki-laki yang usianya dua tahun diatas ku. Haris masuk ke panti asuhan ini tahun kemarin bersamaan dengan ku, jaraknya hanya tiga pekan lebih dulu Haris. 

Di bulan pertama tinggal di Panti asuhan, aku pernah mencoba kabur dari panti asuhan. Haris khawatir mengikuti aku , kita berdua tersesat salah arah jalan. Bukannya menuju ke Bandung, malah menuju ke arah selatan pinggiran Garut hampir mendekati Pantai. Kita memutuskan untuk kembali lagi ke Panti asuhan. 

Bulan-bulan berikutnya aku jalani dan disibukkan dengan kuliah. Begitu juga dengan Haris kita kuliah ditempat yang sama, berangkat memakai angkot bersama. Haris sudah seperti penjaga bagiku, dikampus akibat kedekatan kami tak jarang teman kami menjodohkan. Dan aku selalu bilang, 

"Haris sahabatku, kakak dan penjaga bagiku" ucapku canda namun memang benar adanya, itu yang aku rasakan kepada Haris. Dari tanggapanku itu, aku hanya melihat Haris tersenyum tanpa berkomentar apapun. Karena aku tahu pasti Haris hanya diam-diam mencintai teman sekamarku, Alya. 

Disetiap kegiatan panti asuhan aku dan Haris aktif saling membantu, kita tetap semangat untuk kebaikan semuanya. Di panti ini banyak anak-anak yang dibawah usiaku, mereka masih sekolah SD, ada yang SMP dan SMA. Yang sudah berkuliah hanya ada lima orang diantaranya tiga laki-laki dan dua perempuan. Aku sekamar dengan Alya. Alya dan Haris satu usia dan berasal dari kampung halaman yang sama. Alya memang pendiam, tidak banyak bicara tapi hasil pekerjaannya selalu terbaik. Sosok keibuan banget deh pokoknya, Ummi selalu menitipkan urusan makanan penghuni panti asuhan ke Alya. Kalau Ummi sedang ada urusan keluar.

Aku menuruni batu karang yang telah lama dalam lamunan menyusuri lorong waktu masa lalu. Dari bawah Ummi sudah menunggu dengan tangannya mengulur ke arahku. 

"Pegang sini" kata Ummi. 

"Iya Ummi" aku memegang erat tangan Ummi. 

Aku tersenyum sendiri menertawakan diriku sendiri yang bisa menaiki batu karang, tapi kesulitan untuk turun. Ummi menangkap wajah dari anak asuhnya ini. 

"Anak Ummi senyum-senyum sendiri, kenapa ya ? " Ucap Ummi menggodaku.

"Ha..haha.. ga bakalan dikasih tahu" jawabku sambil menggoda kembali Ummi. 

Kami semuanya sedang ada acara rihlah ke pantai. Di sela kegiatan aku menjauh dari semuanya dan duduk diatas batu karang, tadinya untuk membuka surat dari seseorang. Tapi aku tak cukup berani membuka surat itu, alhasil surat itu masih tertutup dan belum aku baca. 

Kebersamaan kami semua anggota anak panti asuhan di pantai kali ini, kita makan-makan bersama. Ikan bakar yang dimasak dengan bumbu resep dari YouTube itu berhasil menurut kami. Acara kebersamaan kami di pantai hanya satu hari, keesokan harinya pulang kembali ke Panti asuhan.

Di Panti asuhan ini hanya Ummi yang mengetahui latar belakang kehidupan diriku. Ummi tahu bahwa kepribadian aku kadang meledak-ledak ketika ingatanku datang. Aku bisa terdiam seharian di kamar sendirian, mengunci pintu dari dalam. Menangis dan pernah menyakiti diri sendiri, kerana merasa diri tidak berguna alasannya kedua orang tua yang tidak pernah tahu apa yang dialami putri sematawayangnya ini. Pernah Ummi membujuk diriku untuk diperiksa ke dokter kejiwaan. Aku marah saat itu, 

"Ummi mengira aku gila?" tanyaku dalam amarah. 

"Bukan itu maksud Ummi" jawabnya lembut. 

"Aku ga mau, aku ga gila" jawabku masih dalam emosi. 

Ketika amarahku mereda, aku akan meminta maaf kepada Ummi. Dan selalu senyuman tulus itu hadir dari wajah Ummi. Pernah aku bilang kepadanya, bahwa aku menganggapnya sebagai ibuku. Kasih sayang seorang ibu, aku mendapatkannya disini di panti asuhan ini. Yah, itulah Ummi yang bisa aku percaya karena menyimpan rapi rahasia tentang diriku. Sekalipun Alya teman sekamarku, hanya tahu kalau aku sedang ada tidak mau diganggu jika emosiku sedang tidak stabil. Alya akan istirahat dikamar anak-anak perempuan. 

***

Januari 2008,

Panti asuhan kami sudah sering dikunjungi oleh para donatur, lembaga pemerintah ataupun swasta. Kali ini kami dikunjungi oleh salah satu kerabat jauh dari suaminya Ummi. Kami memanggilnya Bu Ijah, telah disediakan kamar sendiri untuk Bu Ijah beristirahat. Namun Bu Ijah mau berada dikamar aku dan Alya. Kamipun bebenah menambahkan satu kasur untuk Bu Ijah. Awalnya informasi yg aku dan Alya dapat, Bu Ijah akan menginap selama tiga hari. Ternyata dua pekan aku dan Alya harus mendengarkan cerita-cerita dari Bu Ijah. 

Disetiap malam aku dan Alya mendengarkan kisah Bu Ijah yang telah tiga kali menikah. Dengan laki-laki yang berbeda-beda karakter. Suami pertamanya adalah temannya sendiri dianugerahi satu anak perempuan, pernikahan pertama Bu Ijah hanya bertahan dua tahun. Setelah bercerai Bu Ijah bekerja dan anaknya diasuh oleh kakak nya Bu Ijah yang memang belum mendapatkan momongan.

Suami kedua Bu Ijah adalah duda muda belum memiliki anak, dia tetangganya yang usianya lebih muda dari Bu Ijah alias brondong. 

"Seru nih kayaknya suami keduanya" ucapku.

"Ssuuuttttt" Alya mengingatkan aku agar tidak berisik, karena telah malam. 

" Hehehe" aku menahan tawa. 

Alya hanya tersenyum manis, Bu Ijah melanjutkan ceritanya kembali. Terkadang aku dan Alya mengantuk, tapi kami berusaha membuka mata agar Bu Ijah tetap nyaman ada yang mendengarkan cerita darinya. Suaminya Bu Ijah yang kedua ini menurutnya yang paling menyita tubuhnya, setiap harinya Bu Ijah harus melayani diatas ranjang. Entah itu pagi hari, sore dan sudah pasti setiap malam hari. Menurut Bu Ijah, tubuhnya penuh lebam merah. Aku dan Alya merinding ketakutan mendengar cerita itu, bagi kami yang masih gadis cerita ini adalah hal tabu. Malam ini aku menutup mataku dengan was-was ada kekhawatiran muncul. Semakin menguat keraguan untuk menikah. 
Surat yang ku pegang dari seseorang inipun masih tertutup rapat. 

Mentari memberikan cahayanya menelusup ke kamar dan ruangan panti pagi ini. Aku dan Alya segera menghampiri Ummi, 

"Ummi, sampai kapan Bu Ijah disini?" tanyaku pada Ummi. 

"Ummi belum tahu pastinya" jawab Ummi. 

"Bolehkah aku dan Fatma tidur dikamar adik-adik perempuan?" tanya Alya. 

"Kenapa? Ada apa dengan Bu Ijah? " tanya Ummi. 

Aku dan Alya menceritakan tentang pengalaman kami selama Bu Ijah menginap. Ummi memahaminya dan memberikan saran pada kami. Agar bisa mengambil hikmah dari cerita Bu Ijah. Memilih pasangan hidup adalah hal yang penting. Bukan hanya karena nafsu yang mengatasnamakan cinta. Ummi juga menjelaskan tidak semuanya sama. Setiap orang memiliki karakter dan kepribadian masing-masing. Aku tak mengenal dekat dengan orang yang telah memberikan surat itu. 

"Apa aku kembalikan saja suratnya?" tanya dalam pikiranku.