"Byur... Husss... Byur ... Husss"
Deru ombak mengalun berirama dengan hembusan angin, duduk diatas batu karang, merasakan nikmatnya berada di Bumi yang telah sembilan belas tahun aku pijak. Meskipun banyak himpitan dalam menjalani kehidupan ini. Pandanganku jauh menatap hamparan laut yang membentang, jiwaku menelusuk ingatan masa lalu. Merenungi sebagai diri sendiri. Mengingat kembali sahabat kecilku Rima. Aku tak pernah tahu sekarang dia dimana?.
Kini aku memegang sepucuk surat dari orang yang akan menjadi calon suamiku. Aku belum berani membuka surat itu. Banyak sekali yang membuatku tak berani melangkahkan kaki kejenjang pernikahan. Aku memikirkan kembali diriku ini, semakin lama aku termenung dalam lamunan panjang kenangan masa lalu. Ada satu hadist yang mengusik jiwaku,
"Seorang ibu adalah pendidik pertama bagi anaknya" .
Hadist itu yang mendasari ibunda Rima teguh mengasuh anaknya, meskipun dia ditinggal mati oleh suaminya. Sejak Rima masih dalam buaian, Rima sudah berstatus sebagai anak yatim. Begitu berbeda dengan aku, kedua orang tuaku masih hidup, namun aku ditinggalkan ayah dan ibuku setelah mereka bercerai. Ibuku menikah lagi dengan laki-laki pilihannya, sedangkan Ayahku mengikuti desakan keluarganya untuk membina keluarga baru.
Karena itulah Aku tidak memiliki keluarga yang utuh. Semenjak kedua orang tuaku berpisah, aku diasuh oleh Nenek dan Kakek yang ikut tinggal bersama di rumah Paman. Sampai ketika usiaku sepuluh tahun, duduk dikelas lima Sekolah Dasar, aku dibawa ibuku untuk tinggal bersamanya. Itu berarti aku akan tinggal dengan Bapak Tiri dan anak-anaknya. Aku mengalami pindah-pindah sekolah. dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Tergantung aku sedang tinggal bersama Ayah atau ibuku. Sejak masuk SMP aku tinggal bersama di rumah milik pamanku, di rumah itu tinggal juga Nenek dan Kakek ku. Nenek dan kakek yang menurut pandangan Rima sangat sayang kepada cucunya.
Bagiku kata Cinta adalah hal yang tidak mampu menggerakkan hati. Yang aku yakini bahwa cinta yang aku terima dari sekelilingku adalah kamuflase belaka. Tak ada cinta yang tulus diantara manusia, contoh nyatanya adalah kedua orangtuaku, mereka yang begitu tega meninggalkan aku, cinta hanya untuk kepentingan masing-masing saja. Aku menganggap semua manusia sama saja seperti Ayah dan ibuku.
Dari aku kecil, Kakek dan Nenek mendidik agama dengan baik, aku diajari untuk ikut mengaji ke Mesjid. Tapi ada masa yang paling sulit kualami, yaitu Ketika aku menjalani tiga tahun masa tersulit, masa ketika tinggal bersama dengan ibu dan keluarga Bapak Tiri. Kata anak nakal, anak suka melawan orang tua, sering berantem dan kata negatif lainnya yang disematkan kepadaku oleh Bapak Tiri. Ada juga yang bilang aku seperti mencari perhatian orang,
"Hmmm aku mencari perhatian orang ? Orang siapa? Wkwkwk " Tanyaku dalam pikiranku sendiri.
Bapak tiri adalah orang yang percaya kepada kemusyrikan, dia lebih mempercayai omongan dari dukun tanpa berpikir dengan logika yang dia miliki. Bahkan tidak berpikir selayaknya seorang manusia. Aku pernah dimasukkan ke kurungan ayam dari sore hingga menjelang langit tertutup gelapnya malam. Menurut kepercayaan bapak tiri, bahwa dengan melaksanakan ritual kurungan ayam, aku akan baik seperti Rima. Aku memang selalu dibanding-bandingkan dengan Rima sahabatku. Aku muak dengan alasan yang tidak masuk dalam pikiranku. Ada alasan kenapa aku bersikap "nakal" dihadapan Bapak tiri dan ibuku.
Suatu hari, ketika dapat kabar dari ibu awalnya aku merasa senang, karena ibu dan aku akan berkunjung ke rumah Rima, untuk meminta izin membawa Rima bermain bersamaku. Aku dan Rima tidak pernah tahu akhir dari kebersamaan kami di hari itu akan berbeda. Setelah ibuku mengantongi izin dari ibunda Rima. Aku dan Rima dibawa belanja ke pasar, kami dibelikan pakaian yang sama persis. Kami diminta untuk mengganti pakaian kami, dengan begitu kami terlihat seperti anak kembar. Tawa riang kami menghiasi siang hari itu. Setelah kami sama-sama mengenakan pakaian yang sama persis,
"Rima, sekarang kita akan pergi ke rumah ibu Fatma" tutur ibuku pada Rima.
"Yeay.. Asyik" aku dan Rima saling memandangi dengan sinar mata bersinar. Kegembiraan kami berbunga kala itu.
Dalam perjalanan, kami berdua bercerita, bercanda, gelak tawa antara aku dan Rima memang seringkali muncul disetiap kami bersama. Ibu hanya sesekali tersenyum memperhatikan kami. Bapak tiri yang sedang menyetir mobil tidak banyak bersua saat itu.
Dan akhirnya ketika sampai di halaman rumah, bapak tiri membawa kurungan ayam yang terbuat dari rotan menyimpannya tepat di depan ku. Bapak tiri berlalu kebelakang rumah, entah apalagi yang akan dibawanya kembali. Ibu membawa dua mangkuk yang berisi beras, yang satu ada telor ditengah-tengah beras. Rima dikasih satu mangkuk berisi beras dan telor ditengahnya. Aku disuruh jongkok didepan mangkuk yang berisi beras saja. Sesaat kemudian Bapak tiri datang membawa ayam, langsung mengurung ayam dan aku dalam satu kurungan. Ayam itu mematuk-matuk beras di mangkuk. Banyak beras yang berceceran ke kaki dan tanah.
"Aaahhh... Ibu tolong"
Teriakanku memecahkan sore itu, Aku yang tersedu-sedu menangis, menjerit ketakutan ayam mematuk-matuk kedua kakiku. Tangisanku itu tak dihiraukannya, ibu yang diam mengikuti keputusan suaminya itu. Semakin membuat rasa pedih dan penderitaan yang aku alami bertumpuk. Berkali-kali aku memanggil meminta bantuan dari ibu kandungku. Kejadian itu kami merekamnya dalam ingatan. Ingatan buruk masa kecil kami, hanya Rima yang mampu melihat kesedihanku saat kejadian itu.
Usia kami saat itu masih sepuluh tahun, sore hari itu seakan lama beranjak. Aku masih menangis meminta untuk keluar dari kurungan ini, patokan itu tidak terlalu sakit, namun rasa ketakutan anak kecil yang merasuki jiwaku. Masuk kedalam pikiran alam bawah sadar dan membekas trauma buruk. Kurungan tetap ditahan kuat oleh bapak tiri. Ketika aku berontak berdiri dan ingin keluar, ayam didalam kurungan pun demikian mengeluarkan suara keras nya dan tetap mematuk-matuk ke sekitar kedua kakiku.
Rima meneteskan air mata menunduk dan tidak mampu melihatku lagi. Setelah aku lelah berontak, aku memilih duduk menangis sambil menutup mata, setiap patukan ayam itu menggetarkan tubuhku.
"Fatma" suara Rima menambahkan kekuatan bagiku.
Aku hanya berdoa dalam hati, bahwa apapun yang terjadi hari ini kuatkanlah jiwaku. Senja mulai menghiasi langit, ritual kurungan akan berakhir. Tubuh kecil ku telah lemah karena tangisan, hari itu aku tutup dengan luka. Rima diantarkan pulang kembali oleh bapak tiri. Sepertinya Rima tiba dirumahnya hampir tengah malam.
Dari Kejadian itu aku tidak ketemu Rima selama tiga tahun, kejadian itu juga hanya salah satu diantara begitu banyak kejadian-kejadian, ketika aku tinggal bersama ibu dan keluarga bapak tiri. Tiga tahun masa sulit bagiku. Karena tiga tahun itu pula aku diambil kakek kembali, kakek memutuskan untuk cucunya tinggal bersama dirumah paman.
***
Bersambung...
Silahkan tinggalkan komentar positif bagi penulis.
Semoga bisa bermanfaat.
Terimakasih