Seribu kata Nenek
"Buggddd" pukulan keras Eka tepat di ulu hatiku. Saat itulah tubuhku ambruk dihadapan Eka. Pandanganku gelap sampai akhirnya aku tidak ingat pasti bagaimana kondisi saat itu. 

***

Sayup-sayup terdengar percakapan, seperti suara Nenek yang khawatir dengan kondisi cucunya ini. Aku membuka mataku perlahan, 

"Hhmm,, ini kamarku" gumamku dalam hati. 

Aku melihat ke sekeliling, memastikan keberadaan aku saat ini benar berada di kamarku. Tubuhku lemah terasa,

"Aaawww " sakit yang sangat di ulu hatiku. 

Akupun masih terbaring tak berdaya, 
Nenek masuk ke kamarku dan sesuai dengan perkiraanku nenek akan mengeluarkan seribu kata atau omelan yang akan antri masuk kedalam kepalaku. Seribu kata yang nenek utarakan memang benar, semuanya untuk kebaikan aku sendiri. Tapi tetap saja selalu ada hal yang membuatku penasaran, seperti halnya pacaran, aku tahu jelas nenek melarang pacaran. karena rasa penasaranku juga mencoba pacaran, pukulan itu membuatku terbaring saat ini.

"#$"&@!!#);23?.... " tutur Nenek.

Omelan nenek seakan rumus matematika yang berjajar didepan kepalaku. Tiba pada satu kalimat yang menggelitik dan merayap masuk kedalam alam bawah sadar pikiranku, 

"Fatma, Nenek do'a kan kamu nanti akan menikah sama yang namanya Muhammad" ucap Nenek. 

"Muhammad" aku mengulang sebuah nama yang diucapkan Nenek. Nenek mengangguk,

"Iya Nek, Amiin" 
"Sekarang nenek istirahat ya nek, aku juga masih mau istirahat" ucapku pada nenek. 

Aku tahu dengan jelas nenek telah tua, dia kelelahan, nenek mengikuti saran dariku untuk istirahat. Perlahan nenek keluar dan menutup kembali pintu kamarku. 

Hasil pemeriksaan dokter tidak ada luka dalam yang serius di perutku. Untung saja Eka masih tidak mengeluarkan semua kekuatannya. Aku juga cukup ada gerakan refleks mundur sesaat sebelum tubuhku ambruk di kejadian itu. 

Satu pekan aku tidak bersekolah. Ketika aku masih terbaring, Rima menyempatkan waktu untuk menjengukku sebelum berangkat ke sekolah. Dia memang sahabat terbaik untukku. Aku sudah kangen sama Rima, entah kangen omelannya yang mirip nenek atau canda tawa kami ketika bersama. 

Kondisiku semakin membaik, aku mulai masuk sekolah kembali. Aku menyelesaikan penjelasan yang sempat tertunda pada Eka, aku bisa bernafas lega ternyata Eka juga mampu mengerti apa yang aku maksud. Eka meminta maaf atas pukulannya waktu itu, dia terbawa emosi sesaat kala itu. Eka merasa tidak dihargai olehku. Akupun sama tidak meninggikan egoku, aku meminta maaf kepada Eka. Kita sepakat untuk menjadi teman biasa. 

Aku memutuskan untuk tidak mengikuti eskul bela diri lagi. Aku lebih fokus ke pelajaran sekolah. Tahun berikutnya seakan cepat berlalu. Akupun telah menginjak kelas tiga SMP yang sebentar lagi akan menghadapi ujian nasional. Aku dan Rima sama-sama akan melanjutkan ke SMA yang sama. Meski SMA itu bukan negeri atau SMA favorit, kami lebih memilih masuk SMAIT atau SMA Islam Terpadu. 

***

---Masa Orientasi di SMA---

Mulai masuk SMA aku belajar berhijab, meskipun berhijab hanya ketika bersekolah saja. Kalau nenekku menyuruhku untuk selalu berhijab ketika keluar rumah dan akan bilang seperti Rima. Aku yang hanya tersenyum karena tebakanku benar, nenek akan membandingkan aku dengan Rima. Tapi tak mengapa, aku adalah aku yang ini adanya. 

" Fatma ... " Panggil bibi dari luar kamar. 

" Iya Bi " jawabku. 

"Rima menunggu didepan rumah" ucap Bibi memberitahu. 

"Oke" jawabku. 

Aku masih sibuk menempelkan pita warna warni di jilbab ini. Nisa datang menghampiri aku ke kamar, Nisa anak paman yang paling kecil, dia sudah seperti adik bagiku. Sekarang Nisa SMP kelas dua. Dia masuk sekolah siang nanti,

"Aku bantu pasang ya kak Fatma" tutur Nisa. 

"Boleh, yang belakang nya tolong pasangkan pita ini" ucapanku pada Nisa sambil memberikan pita berwarna kuning. 

Setelah selesai berdandan, aku bersiap berangkat dan tak lupa pamit kepada orang rumah. Rima menunggu agak lama di depan rumah, dalam perjalanan kami terjebak macet. Jika hati kami bisa bersuara mungkin sudah terdengar dag dig dug yang bersautan. 

Sesampainya di sekolah aku dan Rima sampai tepat dengan bunyi bel tanda masuk sekolah. Kakak kelas kami akan menutup pintu gerbang sekolah, aku segera berlari kecil ke arah gerbang dan meminta Kakak kelas jangan dulu menutupnya. 

"Bel sekolah masih belum berhenti kak " ucapku pada Kakak kelas yang biasa dipanggil Kak Ali. Aku langsung melempar senyuman. 

"Masih bisa masuk ya Kak" sambil aku berusaha memasuki area sekolah. 

"Iya Boleh cepat masuk" kata Kak Ali. 

"Makasih kak" jawabku. 

Dan aku langsung menarik tangan Rima sambil berkata. Baru tiga langkah memasuki area sekolah, bel sekolah telah berhenti gerbang sekolahpun tertutup. Masih ada beberapa siswa yang terlambat. Dan pastinya diberikan hukuman oleh Kaka kelas yang menjabat sebagai OSIS. Karena pekan itu kami sedang Massa Orientasi Sekolah. 

Hari ke hari aku dan Rima bisa mengikuti Masa Orientasi Sekolah dengan baik. Tapi aku dibuat pusing karena diriku sendiri, aku yang tidak berpikir panjang ketika melempar senyuman ke kak Ali. Senyuman itu disalah artikan oleh Kak Ali. Karena itu juga omelan Rima mulai berkicau, 

"Fatma kamu tahu kan, kalau kita harus jaga pandangan" Rima berkata sambil memegang kepalanya yang terlihat bingung. 

"Hehe" aku garuk-garuk kepala yang tidak gatal. 

"Sekarang bagaimana? Kamu mau balas sama surat cinta dari Kak Ali ? Tanya Rima. 

"Hehe.." aku hanya bisa tersenyum. 

"Aku sebenarnya tidak bermaksud begitu Rima, kamu juga tahu kan?" Ucapku pada Rima. 

"Waktu itu aku pikir agar kita bisa diizinkan masuk gerbang" jelasku. 

"Iya aku tahu, tapi ..." Ucap Rima menggantung. 

"Aku bingung Rima" ucapku kembali. 

"Aku juga" ucap Rima. 

Untuk beberapa saat aku dan Rima hanya membeku, padahal siang itu matahari seakan ceria. Mungkin menurut kak Ali siang itu indah karena matahari menyinari dengan sempurna. 

"Aku memutuskan untuk menerima Kak Ali" ucapku. 

"Apa ? Pacaran lagi ?" Tanya Rima sekan tidak percaya dengan ucapan sahabatnya. 

"Kalau cara ini masih ada manfaatnya, aku ambil" jawabku. 

"Fatma sebaiknya jangan" kata Rima.

"Sudahlah, tenang saja" aku menenangkan.

Rima mengingatkan kembali kejadian aku dan Eka ketika masih SMP. Aku juga tidak lupa kejadian itu. Aku berdalih karena kak Ali berbeda dengan Eka. Kak Ali lebih dewasa secara usia dan pola pikir. Dan yang pasti Kak Ali bukan dari eskul beladiri yang akan bisa memberikan pukulan padaku. 

Selama masa orientasi dan tahun pertama aku bersekolah di SMA. Aku dan Rima terjaga, selalu ada Kak Ali yang melindungi kami berdua. Kami terhindar dari bully Kaka kelas perempuan yang iri pada kami. Aku juga tidak diganggu oleh kakak kelas laki-laki yang genit. Meskipun aku juga harus berkorban dengan status sebagai pacar dari kak Ali. Waktu istirahat akan didatangi Kak Ali yang bercerita tentang dirinya. Dan waktu pulang sekolah Kak Ali yang akan selalu mengantarkan kami hingga naik angkot kedepan jalan raya. 

Sebenarnya aku mulai risih, waktu kebersamaan aku dan Rima sering terganggu sejak kehadiran Kak Ali diantara kami. Sampai hingga suatu hari di jam istirahat, ketika aku dan Rima sedang asyik mengobrol lalu seperti biasanya Kak Ali datang, 

"Aku ke kantin dulu ya" ucap Rima berlalu meninggalkan aku dan kak Ali. Aku kira Rima akan kembali ke tempat kita tadi mengobol. Setelah aku rasa agak lama, akupun mencari alasan untuk bisa mencari Rima. 

"Kak Ali, aku ke toilet ya " 



Bersambung 

Silahkan tinggalkan komentar positif bagi penulis. Terimakasih