Bab 3 [Tanggapan Mereka]

Bahkan dalam derap langkah sekalipun. Pijakannya tak terukur akan meniti tujuan yang tak diduga-duga. Meski mimpi kerap kali mengadu kesakitan.

Aku memarkirkan Graha di tempat yang panas. Biarlah situ, toh juga panas yang menerpanya adalah cahaya Matahari sore. Enggak apa, berani panas itu baik selagi sekali-kali. Kupandangi sekeliling lorong gang rumah Reyfan yang sedang dipenuhi oleh beberapa orang sekitar yang melayat. Emang benar, Reyfan sudah dikebumikan. Hanya sisa-sisa kesedihan yang menghiasi suasana kali ini. Ramai, tapi hati diam mereka berbicara kesedihan yang masih belum dipercaya.

Aku memasuki rumah Reyfan yang diisi oleh kerabat yang tersisa. Tampak di depanku ada ibu Reyfan yang berkulit hitam manis, kelihatan berusia berkepala empat lebih. Rambut hitam dan kulit kencang menandakan ia memang masih muda. Namun air mata dan wajah sembabnya menandakan ia tengah sedang bersedih parah. Begitu pula dengan orang-orang di sini penuh dengan linangan air mata. Sama seperti Lia yang kini tengah bersedih, mengalirkan air mata layaknya hujan deras.

Air mataku? Ah, sudah mengering sejak perjalanan tadi. Kini aku hanya terdiam, melihat, dan mengamati isi ruangan. Reyfan kelihatan bahagia dengan baju toganya pada foto bersama keluarga yang dipajang di dinding tengah, tepat arah jam satu ketika memasuki pintu ruangan. Senyumannya menggambarkan bahwa ia begitu bahagia telah menyelesaikan episode terberat menamatkan kuliah. Ya, menamatkan kuliah begitu berat bagiku dan Lia. Hingga kini, kami berdua masih sama-sama terus berjuang.

"Kalian temannya Reyfan ya?" tanya seorang wanita bertubuh berisi, berwajah oval pada kami berdua.

"Iya Bu," sahutku sembari menganggukkan kepala. Sepertinya Ibu ini masih merupakan keluarga terdekatnya Refyan meskipun tidak familiar bagiku.

"Reyfan bilang, dia enggak punya kawan yang di Medan. Ibu tetangganya dia, dia selalu bantu Ibu di saat ibu membutuhkannya. Ternyata kalian temannya ya."

Eh ... aku tinggal di Medan. Tampaknya Reyfan hanya mengingat teman-teman kami lainnya yang berada di kampung masing-masing. Ya, dia lebih dekat dengan mereka-mereka yang berasal dari kalangan berbeda dan tidak memandang apapun.

Sewaktu kuliah, aku sudah sangat sibuk. Hidupku kudedikasikan untuk kuliah, mengajar privat, dan mengajar ngaji. Bahkan ketika ada tugas sekalipun tak jarang kuhamparkan pada teman-teman yang lain. Termasuk pada Reyfan. Dia yang paling baik tanpa mengeluh dan mengerti keadaanku.

"Reyfan itu orangnya baik banget. Dia kalau dibutuhkan langsung sigap membantu tanpa pamrih. Anak-anak di sini banyak yang suka sama dia kalau dia yang ngajarin. Keinginannya besar, ia bercita-cita bisa kuliah ke Korea," ungkap Ibu itu lagi.

Ah, aku baru ingat bahwa kami merupakan sama-sama penyuka drama korea. Hampir satu kelas menyukai drama itu. Bahkan Reyfan sendiri pun belajar berbahasa Korea karena saking sukanya. Aku sering memanggilnya dengan sebutan Oppa. Ya, Reyfan merupakan Oppa-ku yang sering kupanggil dengan sebutan manja mengingat jarak kelahiran kami hanya satu tahun dan berada di bulan yang sama. Sama-sama kelahiran di bulan Februari membuat kami berdua cepat akrab. Kini di usianya yang menuju 24 tahun sebulan lagi. Ia telah berpulang menghadap panggilan yang Maha Kuasa. Air mataku mencelos lagi setelah mengingat ketulusannya dalam mengajari teman-teman yang lain. Ia bahkan jago dalam mengerjakan soal Kimia. Itulah mengapa dia bisa diandalkan ketika belajar Kimia Dasar saat awal-awal masuk kuliah.

"Reyfan itu enggak pernah malu dengan kondisi keluarganya yang susah. Dia mau jualan di kampusnya karena saking ingin bisa jajan dan membelikan sesuatu untuk keperluannya." Ibu Reyfan mulai berbicara setelah ia mulai tersadar. Kedua bola matanya merah dengan genangan yang masih bersiap untuk jatuh dari kelopak mata.

Reyfan sungguh pekerja keras. Saat teman-teman lainnya hanya sibuk kuliah pulang. Ia bahkan tidak malu sambil berjualan gorengan ke kampus dan juga mengajar privat di rumah. Jarak rumah dengan kampus dekat. Jadi ia bisa melakukan itu semua atas dukungan orang-orang terdekatnya.

"Kalau boleh tau Reyfan sakit apa ya?"

"Reyfan punya sakit lambung sejak lama. Sudah setahun ini sakitnya semakin memburuk dan dadanya sesak."

Hah, Reyfan punya sakit lambung? Kok aku enggak tahu. Seingatku dia selalu bawa bekal ke mana-mana sama sepertiku. Namun memang sih, sakit lambung ini memang enggak kenal kita jaga kesehatan apa enggak. Stress aja pun bisa meningkatkan asam lambung. Itulah mengapa aku dulu sempat heran kok aku yang makannya tepat waktu saja bisa kena lambung. Aku enggak tau kalau orang yang terlihat baik-baik saja belum tentu emang benar-benar baik sepenuhnya.

Aku bahkan tidak memahami ketika seseorang itu menghilang dari khalayak publik, itu berarti ada masalah dalam kehidupannya. Tipe Reyfan sama sepertiku. Kami akan memilih menghilangkan diri ketika sedang ada masalah berat yang melanda. Sayangnya, aku tidak menyadari potretran dirinya ketika difoto dengan teman yang lain. Raut wajah yang sulit dijelaskan itu dan rasa sakit yang sedang ia tahankan. Ah, Reyfan ... kamu sudah enggak ada, tetapi sosokmu seakan masih ada bersama Fisika Dik B. Sebuah kenangan terindah sepanjang perkuliahan. Ia merupakan penerima bidikmisi yang memiliki jiwa optimis tanpa minder sedikitpun. Jujur, aku suka dengan kesederhanaannya dalam menjalani kehidupannya. Bukan karena apa-apa.

Kebanyakan para wanita kalau naksir sama orang pasti milih-milih. Milih yang cakep, keturunan bagus, cakep, pinter, atau latar belakang bagus. Sedangkan aku? Entahlah, seleraku tidak setinggi standar mereka. Biasanya tidak jauh berbeda kalau enggak pintar, pekerja keras, rajin, sayang orang tua, pasti dekat dengan Allah. Lingkarannya itu-itu saja. Namun yang paling membuatku tidak berkutik sekalipun adalah ketika seseorang itu dekat dengan Allah. Itulah mengapa kedekatan aku dengan Reyfan hanya teman biasa ketika Reyfan sangat suka berinteraksi dengan yang berbeda keyakinan. Meskipun ia merupakan seorang muslim juga.

Aku juga suka berinteraksi dengan yang non muslim. Hanya saja, lebih suka dengan yang muslim. Sebab bisa diajak beribadah bersama, sedangkan yang non muslim hanya sebatas urusan dunia saja. Jadi ya kalau dekat itu hanya sekadarnya saja.

Re, apapun itu. Kamu sudah melakukan yang terbaik sesuai dengan versimu dan orang lain pasti tidak akan bisa menjadi dirimu. Sebab kamu ya kamu. Itulah mengapa kulihat wajah Ibumu seolah telah kehilangan anak yang paling ia sayangi dalam hidupnya. Satu tetes air mataku lolos lagi.

Aku melihat pesan masuk grub WhatsApp dari nomor yang tidak kusimpan. Itu dari Jelita, teman dekat Reyfan juga. Ke mana-mana pasti sama kalau di kampus. Bahkan ketika jam-jamnya makan siang. Sebuah persahabatan yang kelihatan asyik di antara mereka.

Kila. Kami belum pulang, masih di gerbang satu kampus. Jumpalah kita, kutunggu ya.-Jelita

Aku menyikut lengan Mbak Lia dan menunjukkan pesan tersebut. Kami berdua pun memutuskan untuk pergi sekarang.

Bersambung