Bab 4. Saka


Tiba-tiba gawai di dalam saku celanaku bergetar. Ternyata Saka yang menelepon.

“Halo?” jawabku dengan suara serak.

“Mika, kamu kenapa?” tanya Saka.

“Gak papa. Ada apa?”

“Suaramu … kamu habis nangis?” cecarnya. “Kamu di panti, ‘kan? Ibu sehat?” Saka memang memasang pelacak pada gawaiku. Katanya, sebagai patner, harus saling melindungi.

“Iya, Ibu di rumah sakit sekarang, tapi besok udah boleh pulang katanya,” jawabku. Saka memang sering menemaniku ke panti. Meski tengil, tetapi lelaki itu gampang akrab dengan siapa saja.

“Oke, besok aku ke panti.”

“Iya,” jawabku. “Ada apa malem-malem gini telepon? Mau ngecek hidupku lagi?”

Kudengar Saka terbahak di sana.

“Aku nemu target baru. CEO kelas kakap,” jelasnya.

“Oke, kirim profilnya aja.”

“Iya,” jawabnya singkat.

*** 

Suara kokok ayam jantan membangunkanku dari tidur. Tadi malam, aku kesulitan untuk terlelap.  Meski berbaring di atas ranjang Ibu, pikiranku terus mengembara tak tentu arah. Hingga tengah malam, aku hanya bolak-balik badan saja di atas kasur. Berbekal selimut Ibu, aku menuju ruang tengah dan mencoba memejamkan mata di atas sofa. Entah jam berapa akhirnya aku tertidur karena kelelahan.

Kudengar Bu Robiah sudah sibuk di dapur. Aku segera duduk dan melipat selimut. Aktivitas pagi telah menunggu. Aku bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan membangunkan adik-adik untuk Salat Subuh. Tentu saja mereka kaget melihatku, lalu berceloteh riang menceritakan segalanya.

Lana mengajak adik-adik lelaki salat di masjid dekat Panti, sementara yang perempuan cukup di rumah saja. Selesai salat, aku segera membantu Bu Robiah di dapur, menyiapkan sarapan.

Sepulang dari masjid, mereka segera mandi secara bergantian. Sementara menunggu temannya mandi, yang lain akan mengaji atau menyiapkan keperluan sekolahnya masing-masing. Semua diajarkan untuk melakukan hal sendiri.

Nasi putih hangat, telur dadar, tumis kangkung, dan segelas susu adalah menu pagi ini. Anak-anak makan dengan lahap. Selesai makan, mereka segera mencuci piring dan bersiap berangkat sekolah. Sementara itu, Lana mulai memanaskan mesin sebuah mobil tua untuk mengantar mereka sekolah. Untuk anak usia SMA seperti Andika, Agus, Nanda, dan Puspita mereka menggunakan sepeda untuk ke sekolah. Sejak kecil, Ibu selalu mendidik kami untuk mandiri.

Pukul setengah tujuh pagi, keadaan panti sudah agak lengang. Hanya ada beberapa anak usia prasekolah yang harus dibantu oleh orang dewasa. Aku segera membantu Mbak Kayla mengurus mereka.

Ayu, seorang anak lima tahun, selalu membuntutiku ke mana saja. Tahun ini gadis kecil itu akan masuk TK. Aku membantunya mandi dan memakaikan baju. Gadis berponi itu asyik berceloteh tentang nama macam-macam bunga yang berhasil ia petik kemarin. Tiba-tiba ia mengendus sesuatu dan menutup hidung mungilnya.

“Mbak Mika kentut, ya?” tanyanya dengan ekspresi serius.

Aku tertawa. “Iya, perut Mbak Mika agak mules, nih,” sahutku.

Mata gadis kecil itu membesar, lucu. “Wow, kentut Mbak Mika sangat elegan.”

Aku terbahak mendengarnya dan segera memeluk Ayu karena gemas.

*** 

Aku baru saja selesai mandi saat Saka muncul dengan motor besarnya, Kawasaki Ninja 250 cc. Kedatangannya disambut celotehan riang beberapa adik kecil. Kuakui meski tampilan luarnya seperti bad boy, tetapi lelaki itu memang cukup terkenal di kalangan anak-anak.

Saka melambaikan tangan. Aku tersenyum kecil melihatnya dipeluk oleh gadis-gadis mungil.

“Beuh, berasa direbutin sama cewek-cewek cantik!” ujarku sambil mengikat rambut.

Saka tertawa, lalu menjawab, “Daripada gak ada.”

Pukul tujuh lewat, aku berpamitan pada Bu Robiah karena hari itu harus bekerja. Tak lupa kusampaikan pada wanita itu bahwa mungkin Ibu akan tiba di rumah siang nanti. Informasi ini kudapatkan dari Mas Bagas lewat pesan singkat.

Saka menawarkan diri untuk mengantarku dengan motornya.

“Ogah! Daripada bonceng kamu mending aku ngebut sendiri,” jawabku.

“Aku jamin kamu sampe lebih cepet daripada ngebut sendiri. Ayo!” serunya, sambil menggeber gasnya.

Aku terdiam memikirkan ucapan Saka.

“Buru!” serunya tak sabar.

Akhirnya aku memakai helm dan duduk di belakangnya.

“Tapi ke apartemen dulu, Ka. Aku mau ganti baju,” ujarku di telinganya.

“Oke.”

Saka benar-benar membuktikan ucapannya. Dia mengantarku pulang ke apartemen hanya dalam waktu sepuluh menit. Benar-benar sepuluh menit yang mendebarkan! Aku mencengkeram pundaknya ketika dia menyalip sebuah truk besar dengan kecepatan yang gila-gilaan.

Sesampainya di apartemen, dengan cepat aku berganti pakaian. Saka tetap di parkiran, menungguku di atas motornya. Lima belas menit kemudian aku kembali dan siap untuk bekerja.

Setelah aku meletakkan bokong di atas jok motornya, Saka berkata, “Gak mau pegangan, nih? Aku mau ngebut lagi.”

“Udah,” jawabku sambil meletakkan kedua tangan di atas pundaknya.

Saka tertawa. “Aku bukan tukang ojek. Pegangan yang bener kalau gak mau jatuh!”

Mendadak, Saka melajukan motornya dengan kencang. Terkejut dan tanpa persiapan, akhirnya aku memeluk pinggangnya. Melaju di atas kecepatan, aku memilih untuk memejamkan mata. Hanya deru motor yang terdengar dan angin yang berhembus kencang di sisiku. Juga degupan jantungku.

Sesampainya di kantor, aku turun dari motor Saka dengan sedikit limbung. Lelaki berambut cepak itu tertawa menatapku.

“Gak kuat diajak ngebut, ya?”

“Kapok bonceng kamu!” teriakku kesal.

Saka hanya tertawa, lalu menutup kaca helm-nya dan segera berlalu. Dasar cowok menyebalkan!

*** 

Pada jam istirahat siang, Saka mengirim profil seorang CEO yang sangat terpandang, Ratman Handoyo. CEO dari perusahaan raksasa yang bergerak di bidang properti itu, rupanya juga bermain ‘api’. Hmm, Jekardah lagi, pikirku suram.

Hari itu terasa lambat. Akibat menangis semalam dan berujung susah tidur, siang ini aku merasa sangat lelah dan mengantuk. Mbak Eva tersenyum melihatku menguap berkali-kali.

“Begadang, Non? Yuk, ngopi dulu,” ajaknya sambil menepuk pundakku.

Aku mengikuti wanita itu ke pantry dan menyeduh kopi. Beruntungnya aku memiliki senior yang pengertian. Segelas kopi hitam membuatku merasa segar kembali.

“Seleramu kok kayak bapak-bapak sih, Mi,” cetus Mbak Eva.

Aku hanya tertawa mendengarnya.

“Tapi yang tadi pagi, seleramu oke, kok.” Wanita yang tampak anggun dengan kerudung cokelat muda itu mengedipkan sebelah matanya.

“Ih, apaan sih, Mbak? Dia cuma temen kok,” balasku sambil menggelengkan kepala. Enggak banget!

*** 

Sudah pukul lima lewat, tetapi aku masih di kantor karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini. Aku meregangkan tubuh sambil menguap. Mbak Eva tersenyum melihat tingkahku. Wanita itu berkata bahwa aku mengingatkannya akan adiknya yang sedang kuliah di luar kota. Dingin, tapi sebenarnya baik hati. Hah, aku merasa tersanjung, terima kasih.

Aku mulai membereskan meja dan berjalan ke luar kantor bersama Mbak Eva. Sambil menenteng helm, aku berjalan menuju halte, menunggu angkot yang akan membawaku pulang. Sepertinya, aku terlalu lelah kembali ke panti untuk mengambil sepeda motor.

Mbak Eva menyenggol pelan lenganku. Aku menatapnya dan bertanya lewat mata. Wanita itu mengangkat dagunya, menunjuk suatu arah. Aku mengikuti arah pandangannya, lalu aku terkejut.

Saka berdiri di depan motor besarnya dan melambaikan tangan.