Ateis
"Aku tak percaya lagi Tuhan itu ada dan tidak yakin lagi dengan ajaran agama apapun," kata Arman dengan nada suara datar kepada dua orang teman kosnya. Kemudian wajahnya tampak serius, seperti menerawang. Sementara dari hidungnya mengepul asap rokok yang baru saja dia hisap dalam-dalam.

Dua orang temannya itu tak bereaksi. Hendra yang sedang asik dengan HP hanya sejenak sedikit mengalihkan pandangannya ke Arman, mengerutkan kening, kemudian kembali menekur, asik dengan gadget nya.

Sedangkan Heri, cuma tersenyum mendengar ocehan sahabatnya itu sambil terus mengutak-atik laptopnya. Matanya sama sekali tidak beralih dari layar laptop. 

Dia pikir Arman pasti sedang bercanda. Bagaimana mungkin kata-kata Arman barusan itu serius. Selama ini Arman justru yang paling alim di antara mereka. Arman yang selalu mengajak mereka Shalat. Arman juga yang sering menyelipkan tema-tema agama dalam obrolan santai mereka menjelang tidur seperti saat ini. Sekarang, dia ngoceh bilang tidak percaya Tuhan dan agama, mustahil.

"Kenapa kalian diam? Aku serius, nih. Sini kalian," lanjut Arman sambil melambaikan tangan meminta Hendra dan Heri mendekat ke meja reot di hadapannya.

"Kalian lihat gelas berisi kopi ini. Kalau memang Tuhan itu ada dan Dia memang maha kuasa, bisa gak saat ini juga Dia menggeser gelas ini lima senti aja dari posisinya sekarang?" Arman diam sesaat, kemudian bergantian menatap Hendra dan Heri. 

"Gimana? Gak bisa kan?" Sementara, aku bisa. Kalian lihat nih, gelas ini bisa aku pindah-pindah sekehendakku. Aku lebih berkuasa daripada Tuhan, kan?"

"Atau, bisa gak, Tuhan itu memperlihatkan kemahakuasaannya saat ini dengan mencegah aku untuk memindah-mindahkan gelas ini? Gak bisa juga, kan? Aku masih bisa aja nih, dengan bebas menggeser-geser gelas ini sesukaku. Kenapa Tuhan yang maha kuasa itu tidak sanggup mencegahku?"

"Hahaha, ya karena Tuhan maha kuasa itu, lah, Bro, makanya Dia tidak mau dan tidak mungkin kau perintah-perintah seperti itu, hahaha." Heri tertawa melihat polah Arman itu. Dia heran, kenapa segitu piciknya pikiran anak itu. Kemana ilmu agama yang selama ini sering dia ceramahkan ke dia dan Hendra.

"Ah, tidak begitu menurutku. Jika Dia memang ada, Tuhan itu harus bisa membuktikan kemahakuasaanNya itu dengan nyata, secara sederhana, kapan saja, dan kepada semua orang."

"Selama ini doktrin agama bilang, untuk membuktikan Tuhan itu ada, berpikirlah, lihatlah tanda-tanda kebesarannya. Lihatlah alam semesta beserta semua isinya yang menakjubkan. Perhatikanlah makhluk hidup ciptaannya. Itulah bukti-bukti kebesaran Tuhan. Itulah tanda bahwa Tuhan itu ada."

"Menurutku doktrin itu terlalu dipaksakan. Tidak semua manusia sama daya pikirnya. Tidak semua manusia mampu membuat analisis-analisis yang rumit terkait keberadaan Tuhan."

"Kenapa Tuhan tidak bikin saja cara membuktikan keberadaannya yang simpel dan tidak perlu diperdebatkan lagi? Misal, Tuhan bicara langsung dari langit sana. Sambil langit tersibak dan petir menyambar-nyambar, tiba-tiba terdengar suara Tuhan menggelegar di seluruh penjuru bumi, berkata, "wahai seluruh manusia, Akulah Tuhan kalian, Aku lah sang Maha Kuasa." Beres kan? Seluruh manusia di muka bumi pasti akan segera percaya Tuhan detik itu juga tanpa ada perdebatan apapun."

"Tidak adil dong, kalau untuk percaya Tuhan harus berpikir dan membuat analisa macam-macam? Padahal, Dia ciptakan manusia ada yang mampu berpikir dengan baik tentang hal yang rumit-rumit, ada yang tidak, yang hanya mampu mencerna hal-hal sederhana saja. Tidak adil dong, Tuhan? Karena hanya orang-orang pintar yang akan mampu meyakini keberadaan Tuhan."

"Terkait alam semesta itu sendiri, aku juga tidak percaya lagi semua diciptaan oleh Tuhan. Coba kalian pikir. Apa gunanya Tuhan menciptakan alam semesta ini?"

"Menurut ajaran agama, alam semesta ini diciptakan dan diurus oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Nah, sebelum Tuhan menciptakan alam semesta, Tuhan ngapain aja, ya?"

"Tidak ada yang diurus. Karena belum ada alam semesta. Belum ada malaikat, iblis, bumi, langit dan segala isinya. Dan, tentunya belum ada manusia. Semua belum diciptakan. Jadi, Tuhan ngapain aja? Nganggur?"

"Terus, karena bosan nganggur, Dia ciptakan alam semesta? Begitu?"

"Kemudian, nanti Dia hancurkan lagi alam semesta itu dengan kiamat? Lantas, setelah kiamat, setelah manusia diadili, yang berhak masuk surga sudah di surga, yang harus abadi di neraka sudah masuk neraka, terus Tuhan ngapain lagi? Nganggur lagi sampai selama-lamanya? Aneh, bukan?" Arman semakin berapi-api.

"Astaghfirullaah," kali ini Hendra dan Heri benar-benar terperangah dan hampir berbarengan 'ngucap' mendengar Arman terus nyerocos dengan pemikiran-pemikiran anehnya itu. 

Mereka benar-benar kaget. Rupanya serius, teman mereka itu, entah sedang dirasuki setan apa, tiba-tiba mendelegitimasi keberadaan Sang Maha Pencipta dari alam pikirannya.

"Man, bukan begitu pastinya. Argumen-argumenmu yang meragukan Tuhan itu pasti ada penjelasannya. Cuma kita aja yang belum sampai ngajinya ke situ," Heri coba mematahkan Arman. Dia benar-benar gundah mendengar segala perkataan Arman barusan. Tiba-tiba dia merasa menyesal menjadi orang yang fakir ilmu agama. Sehingga sama sekali tidak bisa memberi bantahan atas argumen sahabatnya yang tengah terancam menjadi ateis itu. 

"Betul, Man, kan ada ajaran agama yang bisa menjelaskan semua, ayo kita ngaji lagi. Kita cari ustad yang tepat yang bisa memberi penjelasan," Hendra coba menambahkan. Dia tak kalah khawatir. Tak terbayangkan olehnya bagaimana kelak jika Arman pulang kampung sudah dalam keadaan tidak percaya lagi pada Tuhan, tidak beragama. Pasti orang tuanya akan sangat terpukul dan malu pada orang sekampungnya yang terkenal sangat agamis. Bahkan, bisa-bisa dia akan diusir dari kampungnya itu.

Melihat reaksi Hendra dan Heri begitu, bukannya melunak, Arman malah makin bersemangat berceloteh.

"Ajaran agama? Aku kan sudah bilang, aku tidak percaya lagi dengan semua ajaran agama. Kalian ingat diskusi kita minggu lalu, kan?"

"Aku makin yakin dengan pendapat Karl Marx yang menyatakan bahwa agama itu hanya candu yang digunakan oleh kaum kapitalis untuk meninabobokkan kaum proletar agar pasrah dengan keadaannya." 

"Pasrah saja kerja keras dengan upah rendah, pasrah saja dieksploitasi, patuh pada majikan, dan lain-lain. Dengan iming-iming bahwa kerja keras itu adalah ibadah. Biarlah hidup susah di dunia, asal kerja ikhlas kelak akan masuk surga. Dan kaum proletar mabuk dengan candu agama seperti itu. Sementara, kaum kapitalis semakin makmur."

"Barusan tadi kalian baca kan? Seorang menteri bilang, para guru honorer nikmati saja gaji kecil, tetaplah kerja ikhlas, kelak akan masuk surga. Nah, itulah agama. Hanya alat yang digunakan untuk meredam pemberontakan kaum proletar, kaum susah, hahaha," Arman tertawa seolah mengejek teman-temannya yang seperti tak memiliki argumen pembanding yang bernas.

Karl Marx? Hendra dan Heri tersadar. Ini rupanya pangkal masalahnya kenapa Arman begini.

Sejak beberapa minggu lalu Arman memang bercerita bahwa dia sedang mengambil mata kuliah tentang teori-teori sosial. Diantara teori yang dipelajari itu, termasuk teori tentang kelas sosial yang dipelopori oleh filusuf beraliran sosialis revolusioner, Karl Marx.

Rupanya Arman terpengaruh hebat oleh filsafat Marx. Kemudian dia membuat kesimpulan-kesimpulan prematur yang bermuara pada munculnya pemikiran tak percaya Tuhan dan agama. Kondisi ini diperparah oleh ilmu dan pemahaman agamanya selama ini yang hanya sebatas ritual. Pemahamannya tentang aqidah dan hakikat dalam beragama rupanya sangat dangkal. 

Merasa percuma mendebat Arman saat itu, karena mereka memang tidak punya modal apa-apa, Hendra dan Heri meninggalkan Arman sendirian, beranjak ke kamar mereka masing-masing. Sementara, Arman tersenyum puas melihat teman-temannya seolah menyerah kalah.

Dalam benak Hendra dan Heri terbersit pemikiran yang sama, Arman harus segera diselamatkan dari ancaman menjadi ateis. Mereka sama-sama sulit tidur memikirkan caranya.

Bab
Sinopsis
1
Sepatu Untuk Rayhan
2
Ateis
3
Muallaf Takut Disunat
4
Dilema Janda
5
Dear God (Kasih Tak Sam...
6
Terlalu Muda Untuk Berc...
7
Aku Antar Suami Menikah
8
Susu Anakku
no_image no_image
9
Kemelut Cinta Dari SMA
no_image no_image
10
Tikam Samurai (sebuah '...
no_image no_image
11
Tak Sengaja Selingkuh (...
no_image
12
Gara-Gara Pengakuan Cin...
no_image
13
Maaf Nak, Novel Ayah Ng...
no_image
14
Ahmad Si Murid Nakal It...
no_image
15
Kemelut Cinta di Tim Ba...
no_image
16
Kemelut Cinta di Tim Ba...
no_image
17
Kemelut Cinta di Tim Ba...
no_image
18
Kemelut Cinta di Tim Ba...
no_image
19
Jangan Panggil Kami Pad...
no_image
20
Kubenci Papa dan Mama K...
no_image
21
Sepeda Itu Mahal, Nak
no_image
22
PISTOL AYAH
no_image
23
SURAT CINTA UNTUK SENIO...
no_image
24
Istri Suka Menggelapkan...
no_image
25
Teror WA Saat Aku Bersa...
no_image
26
Suami Selalu Membelikan...
no_image
27
Uwakku Kaya tapi Suka M...
no_image
28
Mencuri Rokok Papa
no_image
29
Pesan Novel Tapi Tak Me...
no_image
30
Pernikahan Neraka
no_image
31
Pacaran Tak Nikah-Nikah
no_image
32
Dia Tertarik Karena Sha...
no_image
33
Selalu Terjebak Membeli...
no_image
34
Gara-Gara Pembohong yan...
no_image
35
Kotoran Kucing
no_image
36
Akun Facebook Ayah
no_image
37
Kenapa Takjil yang Kuju...
no_image
38
Kamar Nomor 666
no_image
39
Ngerjain Pencopet
no_image
40
Bocah Penyemir Sepatu
no_image
41
Klarifikasi saya tentan...
no_image
42
Laki-Laki Kedua
no_image
43
Ingin Poligami Karena M...
no_image
44
Bapak Mertua yang Menyu...
no_image
45
Doa Sang Pendosa
no_image
46
Badut
no_image
47
Dokter Spesialis Cantik...
no_image
48
Rapat Tikus
no_image
49
Gara-Gara Mak Ros Serag...
no_image
50
Pakaian Bekas Untuk Baj...
no_image
51
Maafkan Bunda Terpaksa...
no_image
52
Penghuni Sel Nomor 7
no_image
53
Rekening Emak
no_image
54
Liburan Membosankan Ala...
no_image
55
Jelas, Hidup Ini Hanya...
no_image
56
Kopi Darat
no_image
57
Dipersekusi Karena Neka...
no_image
58
Si Paling Kaya Saat Leb...
no_image
59
Lebaran Adalah Jalan Ni...
no_image
60
Membelikan Pakaian Dala...
no_image