Hari Ke-26
Fatimah Az-Zahra
Menengahi Para Istri Rasulullah saw.
Selain sangat dekat dengan Rasulullah, Fatimah juga dekat dengan para istri ayahnya. Tidak aneh, jika Fatimah sering dijadikan perantara Rasulullah dengan istrinya dan menjadi sahabat baik para istrinya. Para istri Rasulullah berlomba-lomba mencintai Fatimah karena mengetahui kecintaan Rasulullah pada putri bungsunya ini sangat besar.
Aisyah pernah bertanya kepada Rasulullah, “Siapakah orang yang paling engkau cintai?”
“Fatimah,” jawab Rasulullah.
“Kalau laki-laki?” Aisyah kembali bertanya.
“Suami Fatimah.”
Suatu hari, beberapa istri Rasulullah merasa iri pada Aisyah dan menginginkan Rasulullah berlaku adil. Mereka mengadu kepada Fatimah dan memintanya untuk menyampaikan kepada Rasulullah.
Fatimah memenuhinya. Dia pun menemui Rasulullah yang saat itu tengah bersama Aisyah. Fatimah mengutarakan maksudnya.
Rasulullah menanggapinya dengan tersenyum sambil berkata, “Putriku, tidakkah engkau mencintai orang yang aku cintai?”
“Tentu saja. Aku pasti mencintainya, Ayah,” jawab Fatimah.
“Kalau begitu, cintailah dia,” seru Rasulullah sambil menunjuk Aisyah.
Fatimah dan Rasulullah tertawa bersama. Fatimah menyadari betapa berartinya Aisyah bagi sang ayah. Fatimah juga menyaksikan kelebihan Aisyah di antara para istri ayahnya yang lain.
Fatimah pun pulang menemui para istri Rasulullah untuk menyampaikan hasil pertemuannya dengan sang ayah. Mereka masih keberatan dan meminta Fatimah untuk menemui kembali Rasulullah. Namun Fatimah menolak permintaan itu.
Hari Ke-27
Fatimah Az-Zahra
Memohon Diberikan Pembantu
Ali berkata kepada Fatimah, “Demi Allah, sungguh aku mencari dan mengirimkan air hingga dadaku terasa sakit. Allah telah memberikan Rasulullah tawanan wanita. Pergi dan cobalah minta pembantu kepada beliau.”
Fatimah menyahut, “Aku juga, sungguh sudah menumbuk gandum sampai tanganku kasar dan membekas.”
Fatimah pun pergi menemui sang ayah. Ketika bertemu Rasulullah, perasaan malu menyergap Fatimah sehingga dia tak jadi mengutarakan maksudnya. Saat ditanya, Fatimah hanya menjawab, “Aku datang untuk mengucapkan salam padamu, Ayah.”
Fatimah pulang tanpa hasil. Sampai di rumah, suaminya bertanya, “Bagaimana hasilnya?”
Fatimah dengan jujur menjawab, “Aku malu meminta kepada beliau.”
Setelah berembuk, keduanya pergi bersama menemui Rasulullah. Ali menyampaikan keluhannya, menanggung air hingga dadanya sakit. Disambung Fatimah menyampaikan kesahnya, menumbuk gandum hingga tangannya kasar. Fatimah pun beranikan diri meminta pembantu. Rasulullah terenyuh mendengar penuturan Ali dan Fatimah. Namun Rasulullah menjelaskan bahwa dirinya tidak bisa mengabulkan karena budak tawanan itu akan dijual untuk menafkahi para ahlus shuffah (para tunawisma/tidak punya rumah yang tinggal di serambi Masjid Nabawi).
Ali dan Fatimah pun pulang lagi tanpa hasil. Malam harinya, keduanya tidur berselimutkan kain yang tidak cukup untuk menutupi seluruh tubuhnya. Jika diangkat menutupi kepala, kaki keduanya akan tersingkap. Juga sebaliknya, jika kain itu ditarik menutup telapak kaki, maka kepala keduanya terbuka. Keduanya belum tertidur saat Rasulullah datang. Kedatangan Rasulullah mengagetkan keduanya. Ali dan Fatimah segera memberi hormat, tapi Rasulullah meminta mereka tetap diam di tempat semula.
Rasulullah berkata, “Maukah kalian kuberitakan sesuatu yang lebih baik dari yang kalian minta tadi siang?” Keduanya menjawab, “Tentu, Ya Rasulullah!”
“Jibril memberitahuku beberapa kalimat. Setiap habis shalat hendaklah kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir masing-masing 10 kali. Apa kalian hendak tidur, maka bertasbihlah sebanyak 33 kali, bertahmid 33 kali, dan bertakbir 33 kali.”
Hari Ke-28
Fatimah Az-Zahra
Belahan Jiwa Rasulullah saw.
Rasulullah pernah berkata, “Fatimah adalah darah dagingku, belahan jiwaku. Siapa yang membuatnya bahagia, maka ia juga telah membahagiakanku. Siapa yang membuatnya marah, maka ia juga telah membuatku marah. Sungguh Fatimah adalah manusia paling mulia di sisiku.”
Suatu hari, Ali berniat untuk menikah lagi. Secara syariat, menikahi istri lebih dari satu (poligami) diperbolehkan. Wanita yang hendak dinikahi Ali adalah Jamilah, putrinya Abu Jahal. Abu Jahal merupakan musuh Islam. Jelas Rasulullah tidak rela Fatimah disatukan bersama putri musuh Islam. Jadi Rasulullah tidak mengizinkan Ali berpoligami selama Fatimah masih hidup. Rasulullah mengumukan penolakannya itu di masjid. Ali pun ikut menyimak. Dia memahami keberatan Rasulullah.
Ali pun pulang ke rumah. Dia meminta maaf kepada Fatimah karena telah menyakitinya.
Ali berkata lirih, “Maafkan aku Fatimah, aku salah tidak mengindahkan hakmu. Orang sepertimu berhak dimintai maaf.”
Sejenak Fatimah terdiam. Kemudian perempuan itu berkata, “Semoga Allah memaafkanmu.”
Ali mencium ujung jemari Fatimah. Ali menceritakan ihwal penolakan Rasulullah atas maksud Ali di masjid. Mendengar penuturan Ali, Fatimah menitikkan air mata. Fatimah membayangkan betapa besar kecintaan sang ayah terhadapnya. Kemudian Fatimah berdiri menunaikan shalat.
Masa-masa sedih pun berlalu, Ali dan Fatimah kembali berbahagia. Ali menumpahkan kecintaan seutuhnya hanya untuk Fatimah dan anak-anaknya.
Ibnu Abbas meriwayakan, suatu hari Rasulullah menemui Fatimah dan Ali yang tengah tertawa bahagia. Keduanya diam mengetahui Rasulullah datang. Rasulullah bertanya, “Ada apa kalian. Tadi kalian tertawa, tetapi saat melihatku datang kalian tiba-tiba diam?”
Fatimah menjawab, “Sungguh, orang ini (Ali) tadi berkata, ‘Aku lebih dicintai Rasulullah daripada kamu.’ Lalu aku berkata, ‘Tidak, justru aku lebih dicintai daripada kamu.’”
Rasulullah tersenyum, lalu berkata, “Wahai putriku, engkau lebih kusayangi daripada Ali, dan Ali lebih mulia bagiku daripada engkau.” (HR. Ath-Thabrani)
Hari Ke-29
Fatimah Az-Zahra
Menanyakan Warisan dari Rasulullah saw.
Putri Rasulullah yang masih hidup sepeninggal beliau hanya Fatimah. Fatimah teringat Rasulullah mengenai harta yang dia wariskan, yaitu tanah Fadak, sebuah daerah kecil yang terletak di utara Madinah. Dia mengutus seseorang untuk menemui khalifah Abu Bakar untuk meminta hak warisannya.
Abu Bakar menolak memberikan warisan tersebut. Dia menjelaskan kepada utusan Fatimah, bahwa Rasulullah Saw. pernah mengatakan para nabi tidak mewarisi apa pun. Yang ditinggalkan para nabi adalah sedekah. Keluarga Muhamamd hanya memakan harta mereka sendiri.
Kemudian Fatimah menemui langsung Abu Bakar. Fatimah menyampaikan pendapatnya kepada Abu Bakar.
Abu Bakar kembali berkata, “Wahai putri Rasulullah, ayahnya tidak mewariskan dinar maupun dirham. Beliau pernah mengatakan, ‘Sesungguhnya para nabi tidak pernah meninggalkan warisan sama sekali.’”
“Tapi, Fadak dihadiahkan Rasululllah kepadaku,” Fatimah mencoba membela haknya.
“Siapakah saksinya?”
Saksi pun didatangkan. Meraka adalah Ali, Ummu Aiman, Umar bin Khattab, dan Abdurrahman bin Auf. Mereka membenarkan bahwa Rasulullah memberikan Fadak kepada Fatimah.
Abu Bakar membenarkan. “Apa yang akan engkau lakukan dengan harta itu sekarang?” tanyanya.
“Aku akan menggunakan harta itu sebagaimana digunakan oleh ayahku,” jawab Fatimah.
“Doakanlah aku agar menggunakan harta itu sebagaimana ayahmu dulu gunakan,” ungkap Abu Bakar.
“Demi Allah, apakah engkau akan melakukan hal itu?”
Dengan tegas Abu Bakar menjawab, “Demi Allah akan aku lakukan.”
Fatimah pun lega. Abu Bakar mengambil harta itu dan membayarkan kepada mereka secukupnya. Abu Bakar berpendirian kukuh demi menjaga dari tuduhan bahwa para nabi hanya mencari dunia dan akan mewariskannya kepada keturunannya.
Hari Ke-30
Fatimah Az-Zahra
Menyusul Kepergian Ayahnya
Setelah Rasulullah wafat, Fatimah jadi pemurung. Dia banyak melamun. Dia sering menziarahi makam sang ayah. Ia mengambil tanah kubur dan menaburkannya ke wajah sendiri. Kemudian dia berdiri dan menatap tajam seolah-olah mengucapkan salam perpisahan. Terkadang dia menciumi, menatap dan memeluk anak-anaknya seakan-akan tidak akan bertemu lagi.
Enam bulan setelah Rasulullah Wafat, Fatimah jatuh sakit. Fatimah tidak bisa kemana-mana. Ali mendampingi, menghibur dan merawatnya.
Mengetahui Fatimah sakit keras, khalifah Abu Bakar segera menjenguk. Abu Bakar menemui Fatimah dan meminta maaf ihwal permasalahan harta warisan. Fatimah memaafkan.
Fatimah mewasiatkan beberapa hal kepada suaminya menjelang ajalnya. Wasiat itu hanya ingin diketahui oleh suaminya. Ali duduk di dekat kepala Fatimah. Kemudian dia menyuruh semua yang ada di rumah itu keluar. Ada tiga wasiat yang Fatimah sampaikan kepada suaminya. Pertama, Ali menikahi Umamah binti Abu Ash, putri kakaknya (Zainab). Fatimah berkata, “Dia seperti aku dalam rasa sayang dan belas kasih terhadap anakku.”
Wasiat kedua, agar Ali menyiapkan keranda untuknya seperti yang pernah diutarakan pada Asma binti Umais. Sebelum sakit parah, Fatimah pernah menyampaikan keinginannya agar dibuatkan keranda seperti kebiasaan orang Habsyi. Keranda dibuat dari kayu ditutupi dengan kain lebar dan tebal. Fatimah ingin dibuatkan keranda seperti itu karena malu jika nanti bentuk tubuhnya terlihat hanya terbungkus kain. Fatimah meminta Ali agar membuatkan papan alas, ditambahkan dengan penyangga-penyangga untuk menopang pelepah kurma di atasnya. Setelah itu bagian atasnya ditutupi dengan kain.
Wasiat ketiga, lagi-lagi karena rasa malunya yang demikian besar, Fatimah berwasiat agar dia dimakamkan saat malam hari di pemakaman Baqi’.
Putri Rasulullah ini menghembuskan nafas terakhir di pangkuan suaminya. Dia wafat dalam usia 29 tahun, hari Selasa, bulan Ramadhan tahun 11 H.