Hari-hariku mulai kembali berwarna dengan hadirnya Khanza dalam hidupku, meski dengan hadirnya jugalah aku semakin sering merindukan Mas Farhan, wajah Khanza benar-benar mirip ayahnya, membuatku selalu merasa Mas Farhan kembali hadir dalam wujud bayi mungil kami.
Ibuku juga makin sering berkunjung ke rumah ibu mertuaku sejak kehadiran Khanza, hal itu membuat hubungan kedua wanita yang sangat kuhormati itu semakin dekat. Fahry juga semakin sering kembali menginap di rumah dengan alasan kangen pada Khanza. Hari-hariku pun berlalu dengan cepat hingga tak terasa kini bayiku sudah berusia 2 bulan.
“Dia mirip banget dengan Mas Farhan ya, Mbak,” ucap Fahri ketika aku sedang menjemur Khanza pagi hari.
“Eh, Ry ... enggak kerja?” Aku heran karena ia masih berada di rumah di jam kerja.
“Aku cuti, Mbak. Mumet! Mending di rumah sayang-sayangan ama Khanza.” Fahry mulai mencolek pipi bayiku. “Kamu mirip ayahmu banget, sih, Nak. Kasian tuh bundamu udah capek-capek hamil kamu 9 bulan. Ehh ... keluar-keluar malah enggak kebagian sama sekali,” lanjutnya sambil terkekeh.
Aku hanya menanggapinya dengan senyuman.
“Mbak, mau nemanin aku enggak?”
“Nemanin ke mana, Ry?” Aku balik bertanya.
Kulihat Fahry menghela napasnya sambil menerawang.
“Nemanin ke undangan pernikahan, Mbak.”
“Ke undangan pernikahan? Undangan siapa?” Aku bertanya sambil memberi kode padanya agar meletakkan Khanza yang sedang digendongnya ke dalam stroller.
“Nasya, Mbak. Undangan pernikahan Nasya,” gumamnya sambil meletakkan Khanza ke srtoller.
Aku terkejut. “ Hah!!! Pernikahan Nasya? Kalian putus?”
“Udah lama, Mbak.” Fahry menghela napas. “Orangtua Nasya enggak menyetujui hubungan kami,” lanjutnya.
“Ooohhh ....” Aku hanya mengangguk-angguk.
“Ia dijodohkan dengan lelaki pilihan ayahnya, Mbak. Seorang pengusaha di Bandung.”
Aku kembali mengangguk-angguk. Pantas saja aku sudah lama tak melihat Fahry mengajak Nasya ke rumah. Terakhir kali bertemu Nasya saat aku memergoki mereka berdua sedang beciuman di sofa di ruang tengah pada waktu itu.
“Mbak ....” panggilnya.
“Nasya tega banget ya ninggalin aku. Dia juga udah resign dari perusahaan, makanya aku ambil cuti. Enggak enak banget rasanya kerja enggak ada dia lagi. Udah gitu pakai ngirim undangan pernikahannya lagi. Apa dia sengaja manas-manasin aku ya, Mbak.”
“Hush! Enggak boleh suudzon, Ry. Mungkin Nasya memang bukan jodohmu. Apalagi kalau memang hubungan kalian tak mendapat restu orangtuanya. Restu orangtua itu hal yang utama dalam sebuah hubungan rumah tangga, Ry.”
“Padahal aku tadinya mau serius sama dia, Mbak. Aku udah lelah pacaran terus, maunya Nasya yang terakhir. Kenapa aku selalu enggak seberuntung Mas Farhan sih, Mbak. Dulu Mas Farhan Cuma sekali dekatin cewek langsung dinikahin, ya kakak ipar aku yang cantik ini. Sekarang malah udah dapat bonus ponakan cantik.”
Aku terkekeh.
“Makanya kalau pacaran jangan terlalu jauh dulu, Ry. Kalau suka langsung dinikahi aja, pacarannya nanti saja setelah menikah.”
“Seperti Mas Farhan dan Mbak Tania dulu, ya.”
Mendengar nama Mas Farhan selalu saja membuat hatiku merindunya. Tatapanku beralih pada Khanza, bayi mungilku yang malang, ia bahkan tak sempat bertemu dengan ayahnya.
“Mbak Tania kangen Mas Farhan?”
Aku masih memilih diam. Kangen? Jika saja aku bisa meneriakkan pada dunia betapa rindunya aku pada suamiku. Jika saja perasaan rindu itu bisa terlihat dengan kasat mata, maka mungkin semua orang akan bisa melihat besarnya rasa rindu yang kupunya pada Mas Farhan. Namun aku memilih tak mengungkapkannya. Padahal sesungguhnya aku tak baik-baik saja semenjak kepergiannya, rasa kesepian yang menggigit selalu menjadi temanku. Aku merindukan saat-saat bangun di tengah malam dan mendapatinya sedang terpekur di atas sajadahnya, menengadahkan tangannya meminta kebaikan bagi keluarga kami. Aku merindukan saat-saat menghabiskan malam hingga subuh dalam dekapan dan buaiannya yang begitu lembut dan menghanyutkan.
“Apa posisi Mas Farhan di hati Mbak Tania sama sekali tak bisa tergantikan?” Suara Fahry kali ini terdengar lirih, kurasa ia melihat saat aku menyeka sudut mataku.
“Bisa kah aku menggantikan posisi Mas Fahry di hati Mbak Tania?” Kali ini suaranya lebih lirih lagi.
Aku pun sudah tak heran lagi karena ini bukan yang pertama kali kudengar ia berkata seperti itu.
“Jangan dibuat bercanda deh, Ry. Bukannya kamu sedang patah hati?”
“Aku enggak bercanda, Mbak. Jika Mbak Tania mau, aku mau mencoba menggantikan tempat Mas Farhan.”
“Ry ... pernikahan bukan buat coba-coba.”
“Bukan begitu maksudku. Aku sudah lelah mencari, Mbak. Lelah memulai hubungan baru lagi. Lagi pula sejujurnya aku sangat mengagumi Mbak Tania. Cara Mbak Tania memperlakukan Mas Farhan semasa hidupnya selalu membuatku iri dan mempunyai impian memiliki istri seperti Mbak Tania.”
“Jangan memuji terlalu berlebihan, Ry. Nanti Allah cemburu. Aku tidak sebaik yang kamu pikirkan. Masih banyak sekali kekuranganku selama hidup bermasa kakakmu. Hanya saja ia tak pernah mengeluh dan selalu menegur kekurangan-kekuranganku dengan lembut.”
“Beruntung sekali Mas Farhan menikahimu, Mbak. Kamu terlihat sangat dewasa, berbeda sekali dengan Nasya yang manja. Padahal kalian seumuran.”
“Tak baik membanding-bandingkan orang lain, Ry.”
Ya, yang kutau selama ini aku dan Nasya memang seumuran. Kami bahkan lahir di bulan dan tahun yang sama, hanya beda tanggal. Maka setiap bulan jika Nasya berulang tahun, Fahry akan selalu mengajak kami sekeluarga untuk merayakan ulang tahun kekasihnya itu. Lalu kue ulang tahunnya akan ada 2, yang satu bertuliskan nama Nasya sedangkan yang satunya bertuliskan namaku.
Itu semua atas inisiatif Fahry karena aku dan Mas Farhan sendiri tak pernah mengistimewakan hari ulang tahun salah satu di antara kami. Mas Farhan biasanya hanya akan mengajakku salat 2 rakaat, kemudian sepanjang malam akan mengajakku bercerita dan merenungi apa saja yang sudah kulakukan selama sekian tahun kehidupanku. Ia akan memberiku nasihat-nasihat yang baik, yang kemuidan akan kami akhiri dengan penyatuan diri yang syahdu. Itu selalu menjadi momen-momen yang sangat kunantikan sebab Mas Farhan selalu punya cara menjadikan malam ulang tahunku menjadi malam yang indah dan penuh cinta.
Sama seperti Nasya, usiaku memang setahun dibawah Fahry. Ia memanggilku Mbak karena statusku dalam keluarga adalah kakak iparnya. Sedangkan dengan Mas Farhan, usiaku terpaut 3 tahun di bawahnya.
Suara tangisan Khanza membuatku meraih tubuh bayi mungilku itu.
“Mbak masuk dulu, ya, Ry. Sepertinya Khanza sedang haus.”
“Jadi mau menemaniku ke Bandung menghadiri undangan Nasya, Mbak?”
“Maaf, Ry. Sepertinya Mbak enggak bisa. Mbak enggak mungkin ninggalin Khanza.”
“Kita ajak Khanza, Mbak. Ibu juga. Hitung-hitung kita sekalian bisa liburan keluarga, sudah lama kan kita enggak liburan. Sejak Mas Farhan pergi, Mbak Tania dan ibu belum pernah refreshing.”
“Kalau gitu Mbak ikut ibu aja, ya. Kalau ibu setuju, Mbak juga setuju.”
“Ya udah, selamat meng-ASI-hi ponakan cantikku ya, Mbak.”
💦Bersambung💦