Lingkungan Belum Tentu Menjamin Kebaikan
Salah seorang anak gubernur, yaitu Vlad II dikirim  ke kamp pelatihan pasukan Jennisary. Sebuah tempat terbaik dimasa itu untuk mendidik pasukan khusus Utsmani. Usia Vlad II, atau di kenal Dracula saat itu 13 tahun, lebih tua satu tahun dari Mehmed II. 

Islamnya bukan karena menyerah diri sepenuhnya dan menerima bahwa Islam adalah jalan hidup. Tapi hanya sebagai bukti bahwa dirinya patuh kepada sang ayah. Dalam lubuk hati terdalam ia begitu membencinya. 

Ia pun berfikir kenapa begitu bodohnya sang ayah mau tunduk kepada sultan Murad II, ayah dari Mehmed II tersebut. Namun Dracula termasuk beruntung, berkat keislamannya bisa dididik dalam kesatuan perang pasukan kesultanan Utsmani.  Ia berlatih sebagaimana yang lain. Ia juga beribadah sebagaimana lainnya, kemudian belajar ilmu agama di madrasah di Turki. Tapi sangat disayangkan, lingkungan yang mendukung sama sekali tidak bisa merubah warna hatinya menjadi lembut. Agama dijadikan identitas semata. 

Ibadahnya bersama pasukan lainnya yang memiliki loyalitas agama yang begitu tinggi tidak menyentuh hatinya. Didikan Islam seperti formalitas belaka.

Justru makin membuatnya keras dan sadis. Apalagi ia sering mencuri waktu ke alun-alun untuk melihat eksekusi hukuman mati. Pemandangan  kepala terputus, darah mengalir dan badan menggelepar seolah menjadi tontonan rutinnya. 

Pada suatu ketika seorang musuh menyerang dan mengkudeta negeri Wallacia, dimana tempat Dracula dilahirkan, yang menyebabkan sang ayah Vlad II ini meninggal. Maka Sultan Ustmani membantu agar Wallacia bisa dikuasai dari cengkeraman pemberontak itu. 

Setelah mampu dikalahkan dan dikuasai kembali, Sultan Utsmani mengirim Dracula menjadi pemimpin disana. 
Mulai dari sini, kebengisan hatinya mulai di tunjukkan. Sejak ia disumpah oleh Ordo Naga di masa belianya dulu, sebuah kelompok pembenci Islam, ia tetap setia, tunduk patuh, dan tentunya ia akan membuktikan seberapa besar bencinya terhadap Islam dan kaum muslimin. 

Belajar kemiliteran khusus di Utsmani seolah menjadi bekal terbaik untuk nantinya melawan siapa yang sebenarnya ia benci selama ini. 
Beberapa tahun usai Konstantinopel terbuka, Mehmed II mengirim utusan ke Wallacia untuk menagih Jizyah yang sudah lama tidak dibayar. Tragisnya semua utusan itu dibunuh. 

Mendengar kabar itu, Sultan mengirim 1.000 pasukan. Nahas, nasibnya sama. Bahkan ini lebih buruk lagi.
Semua pasukan di sula dan ditancapkan dengan kayu-kayu dari dubur sampai tembus ke tenggorokan. Termasuk pemimpinnya, dibuat lebih tinggi dari lainnya. Suasana ditempat itu berubah mencekam karena menjadi hutan pembantaian yang sangat keji. 

Akhirnya Muhammad al-Fatih mengirim Radu, sang adik kandung Dracula dengan membawa 90.000 pasukan menembus medan ganas dari hutan berbukit di Hungaria. Dulu Radu sama-sama dikirim bersama kakaknya, Vlad II oleh sang ayah. Dengan ketekunan dan semangat dalam berislam, ia bahkan menjadi salah satu orang kepercayaan Muhammad Al-Fatih. 

Sultan begitu yakin, perlunya melawan srigala dengan srigala. Radu sangat paham medan yang akan ia hadapi. Prediksi sultan tidak meleset. Pasukan itu akhirnya menang telak. Dracula menyelamatkan diri dibawah pembunuh ayahnya. Namun akhirnya ia di bunuh melalui pedang pasukan Utsmani.

Hanya keridhoan hati yang bisa membawa cahaya hidayah. Menerima sepenuhnya akan membuat hati menjadi lembut. Meski lingkungan yang baik, belum tentu menjamin seseorang menjadi lebih baik. Walaupun ada yang menyebutkan perlunya lingkungan yang kondusif untuk sebuah perubahan. 

Seperti kisah pembunuh 100 orang yang diharuskan hijrah tempat untuk menemui Ahli ilmu disana.  Tapi lingkungan bukan satu-satunya faktor yang bisa mengubah seseorang. Tapi itu dimulai dari diri sendiri. Siap menerima perubahan, siap menerima konskwensi apa yang didapat setelah berubah nanti. 

Mari perhatikanlah ketika Nabi Khidir dan Nabi Musa mendatangi perkampungan untuk menemui dua anak. Lingkungan tersebut begitu buruk. Nabi Khidir dan Nabi Musa meminta minum saja tidak di beri. Orang-orang disekitar dua anak ini sangat pelit. Artinya ia berada dalam lingkungan yang buruk. 
Namun sang anak memiliki ayah yang Sholeh. Dengan berkah kesholehan ayahnya, menuntun dua Nabi Mulia ini ke rumah anak tersebut untuk mengungkap peninggalan yang ada didalam rumah. 

Maka lingkungan yang baik jangan jadikan satu-satunya faktor yang harus diperhatikan, sehingga mengabaikan faktor lainnya. Tetap pada intinya ada pada diri sendiri. Keterbukaan hati untuk menerima hidayah dengan ikhlas sepenuhnya tanpa ada maksud tertentu. Setelahnya mengusahakan sekuat mungkin dengan menjaga hati dari penyakit-penyakitnya.