Mas Adi terdiam menunduk.
"Aku tidak akan marah lagi atau mempertanyakan apa hubungan kalian," kataku tenang meski hati bernanah. "Kupikir semua gosip yang kudengar itu hanyalah omong kosong semata. Tapi ternyata tidak. Kepercayaanku sudah kalian hancurkan lagi untuk yang kedua kalinya." Aku terdiam sejenak untuk mengendalikan diri. Hingga air mata yang siap tumpah ini berhasil surut kembali.
"Apa salah mbak padamu, Indira? Mbak berikan kamu kepercayaan untuk tinggal di sini, mbak carikan kost-an terbaik, mbak juga bantu carikan pekerjaan. Terakhir, mbak juga bantu biaya perawatan ibumu di kampung. Bukan ingin mengungkit semua itu. Hanya saja, mbak bingung. Salah mbak di mana sampai kalian tega menusuk dari belakang. Dua kali, Indira. Dua kali kamu mengecewakan dan menyakiti mbak. Apa semua kebaikan itu tidak sanggup menutup mata dan hatimu dari Mas Adipati?"
Indira diam dengan wajah tertunduk.
"Maafkan aku, Aina. Jangan marahi Indira. Akulah yang salah."
Aku terdiam menatap Mas Adi, lalu tertawa hambar. Ingin sekali aku menjerit dan berteriak kencang untuk melepaskan sesak dan nyeri di dada, tapi itu tidak mungkin.
"Aku mencintai Indira. Aku tidak bisa lupa dan tidak sanggup mengakhiri hubungan kami begitu saja."
"Tapi sanggup mengakhiri pernikahan kita, begitu?" Aku balik bertanya yang membuat dia terlihat kaget dengan dahi mengernyit.
"Aku tidak pernah terpikirkan akan mengakhiri pernikahan kita, Aina. Aku tetap sayang padamu. Hanya perasaanku saja yang sudah terbagi."
Aku diam menunduk. Membiarkan tetes demi tetes air mata yang tak mampu dicegah ini jatuh membasahi punggung tangan.
"Maafkan aku, Aina."
Aku menggeleng pelan. "Kamu memang salah, Mas. Begitu juga Indira. Tapi aku jauh lebih salah. Kenapa? Salah karena percaya begitu saja pada kalian berdua. Salah karena mau memaafkan pengkhianatan kalian."
Indira dan Mas Adi sama-sama terdiam menunduk lagi. Tak berani membalas tatapanku yang sudah banjir air mata.
"Air susu dibalas air tuba. Akhirnya aku merasakan sendiri hal itu. Kamu benar-benar tega pada mbak, Indira."
"Maaf, Mbak. Aku ... aku mencintai Mas Adi sejak lama dari sebelum dia menikah dengan Mbak."
"Lalu kenapa dulu kamu menolak perjodohan kalian? Kenapa setelah dia beristri dan memiliki seorang anak, kamu malah datang dan merebutnya dari kami?" tanyaku dengan suara bergetar.
"Tidak, Mbak. Aku tidak pernah berniat merebut Mas Adi sepenuhnya. Mas Adi akan tetap menjadi milik Mbak Aina dan Bagas. Hanya ... aku mengharapkan sedikit waktu, kasih sayang dan perhatian darinya. Dulu aku menolaknya karena belum siap menikah," jelasnya panjang lebar.
Aku lagi-lagi tertawa sambil menangis, lalu menyeka air mata.
"Sudah sejauh apa? Sudah sejauh apa hubungan kalian, hm?" tanyaku seraya menatap lekat Mas Adi. Meskipun sudah tahu, tapi tetap saja aku ingin tahu apakah Mas Adi akan jujur atau tidak.
Pria itu melirik Indira, lalu menunduk lagi dengan tangannya yang saling mermas.
"Hanya ... sebatas jalan dan makan," jawab Mas Adi tanpa menatapku.
"Benarkah?"
Mas Adi mengangguk. Pelan.
"Lalu yang kalian lakukan di hotel sampai hampir satu jam lamanya itu untuk apa? Jangan bilang hanya untuk ngobrol karena wanita bodohlah yang akan percaya dengan alasan itu." Perkataanku ini membuat Mas Adi seketika menatapku dengan mata membulat.
"A-apa maksudmu, Aina? Kami tidak ke hotel," bantahnya.
Kurogoh ponsel dari saku gamis, lalu membuka galeri dan memutar sebuah video dan meletakkannya di meja. Membuat Indira dan Mas Adi seketika bungkam dan mati kutu.
"Aku benar-benar kecewa padamu, Mas. Kamu menyakitiku terlalu dalam. Aku mungkin masih bisa memaafkan jika hanya sebatas jalan dan makan, tapi ini? Kalian berzina. Kalian sudah melewati batas."
"Tidak, Aina. Apa yang kamu lihat tidak seburuk itu. Aku tidak berzina. Kami ...."
"Kami apa?" tanyaku karena Mas Adi tak melanjutkan ucapannya.
"Kami sudah menikah siri, Mbak," jawab Indira yang membuatku langsung menoleh.
Luka di hati kian menganga dan perih. Seperti disiram cuka dan air garam. Nyeri. Membuatku hanya bisa terdiam dan menatap tak percaya keduanya.
"Aku dan Mas Adi juga takut terjerumus lebih banyak dosa. Makanya, kami sepakat menikah, Mbak. Maaf. Aku sudah minta Mas Adi untuk jujur saja pada Mbak. Tapi dia selalu menolak karena takut Mbak marah."
Kutengadahkan wajah seraya mengatur pernapasan dengan air mata yang tak mau berhenti berjatuhan.
"Aina ...." Mas Adi mendekat dan berlutut di hadapanku sembari menggenggam kedua tangan ini. "Maafkan aku, Aina. Aku sayang pada kalian berdua. Tolong ... terima Indira sebagai adik madumu, ya? Aku janji akan berusaha keras membahagiakan kalian dan berbuat seadil mungkin."
Bicara memang mudah, tapi kenyataannya takkan semudah itu. Sulit.
"Pulanglah Indira. Pembicaraan kita sudah jelas dan selesai."
"Aku minta maaf, Mbak." Indira ikut mendekat ke sini dan berlutut juga di samping Mas Adi. "Aku tahu Mbak banyak berjasa. Tapi aku juga tidak sanggup menahan perasaan ini. Aku janji tidak akan menguasai Mas Adi. Tolong maafkan kami."
"Pulanglah," titahku pelan seraya membuang muka.
"Sekali lagi aku minta maaf, Mbak. Tolong jangan hakimi orangtuaku juga. Mereka awalnya sempat menentang, tapi akhirnya setuju karena tahu aku sangat mencintai Mas Adi."
Aku menoleh dan menatap tegas pada Indira.
"Apa mbak harus mengulang sampai seratus kali? Pulang!" Aku berujar dengan suara rendah, tapi tegas.
Mas Adi menatap Indira, lalu mengangguk. Memberikan isyrat pada istri mudanya itu untuk pulang.
Selepas kepergian Indira, aku menarik tangan dari genggaman, lalu berdiri dan berjalan menuju kamar.
"Aina." Mas Adi mengejar dan meraih tangan ini. Membuatku mau tak mau kembali menatapnya.
"Kamu mau 'kan memaafkanku?" tanyanya dengan raut wajah sendu.
"Kalau aku memintamu memilih salah satu di antara kami, siapa yang akan Mas pilih?" tanyaku seraya melepas cekalannya.
"Kenapa bertanya begitu? Aku tidak ingin memilih. Aku sayang dan mencintai kalian berdua. Kamu tetap wanita dan istri terbaik, Aina. Aku hanya butuh warna baru supaya tidak hambar. Aku—"
"Cukup, Mas!" Aku mengangkat satu tangan dan mundur selangkah. "Aku bukan wanita yang kuat dan tegar. Aku tidak akan sanggup berbagi. Tapi aku juga tidak bisa menyalahkanmu yang memilih poligami. Kalau kamu masih ada niat dan keinginan mempertahankan pernikahan ini demi kita juga Bagas, lepaskanlah Indira. Dia masih muda. Banyak pria di luar sana yang lebih cocok dan seumuran untuknya."
"Aina ...." Mas Adi menatapku sendu.
"Siapa yang Mas pilih? Aku atau Indira?"
Bukannya menjawab, Mas Adi malah menunduk dan enggan menatapku.
Aku tersenyum pahit seraya membuang pandangan sebelum akhirnya menatap dia lagi.
"Sikapmu sudah cukup menjelaskan siapa orang yang Mas pilih. Aku mundur, Mas. Semoga kamu bisa jauh lebih bahagia dengan Indira," lirihku, kemudian kembali melangkah.
Kupikir Mas Adi akan kembali mengejar dan meyakinkanku bahwa kesimpulan itu salah. Sayangnya, dia hanya diam di tempat. Membuatku semakin merasa kecil dan terbuang karena nyatanya, dia lebih berat pada wanita baru daripada aku yang menemaninya sejak Mas Adi masih kerja serabutan sampai bisa sukses seperti sekarang ini.
🍁🍁🍁