“Oh, ini seleb ZZ yang lagi booming.”
Refiga melirik. “Kamu lagi lihat apa?”
Lupi menggeser handphone-nya. “Lagi lihat ini ... yah, lowbatt!”
Refiga hanya melihat layar gelap, handphone Lupi mati total.
**
Keesokan harinya ....
Matahari belum tampak, Nena melajukan langkah berlarinya mengelilingi sekitar asrama batalyon.
Tubuhnya semakin terasa ringan, pikirannya juga lebih fresh dengan kebiasaan rutinnya ini. Ada kebahagiaan tersendiri.
Saat hampir tiba di gerbang belakang, Nena disapa oleh seorang wanita muda yang juga sedang berolahraga lari dari arah yang berlawanan.
“Bu Raswan!”
Senyum Nena mengembang. “Eh, Ibu.”
Levia menjentikkan kedua telunjuk dan jempolnya. “Miss Na!”
Nena kaget dan buru-buru mendekati Levia—istri Danki.
“Ibu kok tahu?”
Levia mengerlingkan mata. Istri Danki mantan pramugari itu memuji Nena. “Keren euy, banyak fans-nya, berani menunjukkan wajah sekarang nih,” goda Levia. “Aku nggak sengaja lihat pas buka ZZ, Bu.”
“Jangan bilang siapa-siapa, ya, Bu. Saya juga pakai nama samaran biar privasi saya tetap aman.”
“Tenang aja, Bu.” Bu Danki yang satu ini memang gaul dan fleksibel dalam komunikasi.
“Eh, Bu Raswan.”
“Iya, Bu?” Nena menatap agak ke bawah karena Levia lebih pendek. Satu hal lagi, ia kerap deg-degan kalau masih dipanggil 'Bu Raswan' karena nama itu sebentar lagi tak disandangnya. Pada saatnya akan memakai nama kecilnya sendiri.
“Pas streaming, coba deh Bu Raswan perhatian penampilan baju juga, maaf. Bu Ras kan sekarang seleb nih,” saran Levia.
Wajah berkeringat Nena tersipu. “Ibu bisa aja.”
“Loh penampilan itu penting Bu Raswan, apalagi fans Bu Raswan buanyaak, pasti nantinya ada yang komen tuh masalah penampilan.”
Nena memang belum memperlihatkan badannya utuh, saat streaming kemarin juga hanya sebatas dada. Jaketnya yang dikenakan sedikit terlihat.
“Sekarang sudah terima endorse belum?”
“Sudah, Bu, produk-produk kosmetik sama pakan ayam.”
Levia mengelapi lehernya dengan handuk ungu kecil. “Kalau Bu Raswan sudah memperlihatkan penampilan, yakin deh, endorse pakaian akan banjir. Percaya deh.”
Nena tak meragukan saran Levia, hanya saja uang yang ditabungnya sudah terlanjur untuk membayar pembelian lahan untuk peternakan, walau baru dibayar 50%.
“Iya, Bu, nanti kalau saya sudah ada pemasukan lagi, beli pakaian yang pantas.”
Ada rasa iba sewaktu Nena mengatakan kalimat barusan, Levia lalu berbisik, “Bu Raswan, kalau aku kasih baju bekasku, tersinggung nggak? Masih layak pakai kok. Soalnya badan Bu Raswan lebih kecil dari badanku sekarang, baju lama saya pasti cukup.”
“Mana saya tersinggung, Bu, Bu Danki baik banget. Saya malah senang kalau dikasih baju Ibu. Tapi ....” Tawa Nena membahana. “Ibu nggak salah menilai saya. Mana cukup saya pakai baju Ibu.”
Levia geregetan. “Ih, Bu Raswan ini bikin gemes! Udah pokoknya nanti sore ke rumah ya! Saya packing dulu bajunya ntar siang, jadi Bu Raswan tinggal ambil nanti sore. Titik.”
**
Malamnya ....
Nena membuka-buka baju pemberian Levia.
“Mana aku cukup? Ini baju kecil banget,” ujarnya seraya membentangkan satu per satu baju pemberian Isti komandan kompi.
“Mama lagi apa?” tanya Dafis.
Senyum hangat seorang ibu mengembang. “Ini, Mama dikasih baju Bu Danki.”
“Oh dari tante yang cantik itu ya, Ma.”
Nena tersenyum seraya merentangkan tangannya untuk sang putra. Dafis duduk di pangkuan Nena. Tangan lembut seorang ibu mengusap kepala dan Dafis seperti merasa sangat dilindungi.
“Ma, Papa kapan pulang?” tanyanya lugu.
Tiap Dafis bertanya akan papanya, kerap membuat hati Nena teriris. Kepulangan Raswan ada perpisahan mereka.
Ciuman lembut mendarat di kening Dafis.
Semoga anakku kuat menghadapi perpisahanku dan papanya ....
Baju dari Levia pun disingkirkan oleh Nena, ditarok di tas bersih dan diletakkan di atas lemari. Nena live streaming kembali memakai jaket saja karena menayangkan sebatas wajah hingga dada yang tertutup tinggi kerah jaket.
**
Satu minggu sebelum kepulangan Raswan. Nena semakin gelisah. Konon, seseorang lebih tegang saat akan menghadapi, tetapi setelah menjalankan jauh lebih siap.
Kegelisahan Nena bukan tanpa sebab, uang yang rencana untuk mengontrak rumah harus terpakai karena pemilik lahan minta lagi pembayaran 15%. Nena juga sudah membangun beberapa kandang dan sarana pendukung serta mencari orang untuk membantunya nanti.
“Kalau kuhabiskan semua uangku untuk cari kontrakan, nanti aku nggak bisa makan dan memenuhi kebutuhan sehari-hariku dan Dafis. Bagaimana ini?!”
Nena mondar-mandir di dapur usai memasak nasi. Gaji dari Raswan hampir tujuh bulan ini tak disentuhnya. Nena merasa sudah tak bisa menerima karena takut terlena dengan tangan di bawah. Jauh-jauh hari ia sudah persiapan untuk hidup lebih mandiri. Maka dari itu, ia ingin membiasakan tak memakai uang gaji walaupun masih berhak.
“Terpaksa aku harus tinggal di sini dulu beberapa bulan sampai uangku terkumpul lagi.”
Mata Nena terpejam. “Harus kubicarakan ini dengannya setelah pulang.”
Hari berikutnya, muncul kembali rasa gelisah. Dari ruang depan, ia menatap sekeliling rumah, tak menyangka akan berakhir seperti ini.
Teringat saat pertama menempati rumah dinas suaminya ini. Nena yang mengatur semua barang-barangnya. Dulu, di awal nikah, mereka baru punya kasur, lemari, kompor, dan peralatan makan seadanya.
Nena duduk di kursi ruang tamunya.
“Dulu, kursi ini belum ada,” lirihnya. Air mata tetap saja tumpah perlahan saat dikuasai kenangan lama. “Kalau ada tamu, masih duduk di karpet,” kenangannya, “tapi aku sudah siap meninggalkan ini semua.”
“Mama ...,” panggil Dafis dari kamar. Nena buru-buru mengusap air matanya.
**
Dua hari kemudian ....
Kapal Perang Republik Indonesia atau disingkat KRI sudah sandar di dermaga. KRI Teluk Gilimanuk hendak mengangkut pasukan yang telah selesai misi satgas untuk dikembalikan ke batalyon masing-masing. Raswan tergabung dalam pasukan yang akan dipulangkan tersebut. Kalau tidak ada halangan, kurang lebih tiga-empat hari KRI Teluk Gilimanuk sampai di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.
BERSAMBUNG
Wah Raswan OTW pulang nih! 🤭
LANJUT LAGI?
JANGAN LUPA:
SUBSCRIBE
KOMEN
LOVE
❤️