“Tapi semua sudah terlanjur seperti ini. Mungkin ... dia bukan jodoh saya.”
Bu Danki menghela sembari kembali menepuk-nepuk punggung tangan Nena.
"Saya sudah lihat foto selingkuhan suami saya, orangnya langsing dan dandanannya modis, Bu. Saya baca chat WA-nya pun kata-katanya pintar merayu. Apalah bila dibandingkan dengan saya yang gendut dan nggak pintar dandan ini, Bu,” ucap Nena. Teringat saat membaca chat dari wanita lain suaminya itu, darahnya langsung mendidih, dunia seolah runtuh. Ingin mempercayai semua hanya mimpi, tetapi ternyata nyata. Sakit dan perih di ujung hati.
Nena menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan.
“Gendut?” ulang Bu Danki dengan raut bingung.
Bu Danki mengernyit, menyadari jika Nena belum sadar ada perubahan pada diri wanita bertubuh tinggi langsing di depannya.
“Bu Raswan punya cermin besar di rumah?”
Nena agak terkejut dengan pertanyaan Bu Danki yang tiba-tiba menanyakan hal di luar topik pembicaraan. Akan tetapi, ia memilih menggeleng saja. “Kaca lemari saya tutup pakai koran. Paling kaca kecil untuk pakai bedakan saja. Saya nggak pajang kaca besar di rumah, kadang ilfeel sendiri lihat badan saya seperti ini dan buntut-buntutnya saya jadi menyalahkan diri sendiri. Dan sejak masalah itu saya menghindari kaca, Bu, semakin saya lihat diri saya, saya semakin kesal.”
Bu Danki manggut-manggut. “Oh, pantas saja.”
Nena semakin bingung. Matanya mengitari ekspresi Bu Danki yang seolah memikirkan sesuatu.
Bu Raswan tipe orang yang tidak terlalu akrab dengan tetangga, jarang ikutan ngumpul, kalau kegiatan juga duduknya paling belakang dan menyendiri jadi jarang disorot, pantas saja orang-orang sekitarnya tak menyadari suatu perubahan yang terjadi, gumam Bu Danki yang mempunyai nama kecil Levia.
**
Di tempat penugasan ....
Raswan sibuk berkirim pesan chat dengan kekasihnya.
[Nanti aku chat lagi, ya. Nggak enak sama atasan kalau aku sering pegang handphone.]
Kalimat ini menjadi penutup chat-nya dengan gadis seusia istrinya yang bernama Refiga.
Sudah setahun ini dia menjalin asmara diam-diam dengan gadis itu.
Sandri—teman satu leting Raswan—cukup prihatin dengan perubahan sikap kawannya ini.
“Aku tebak, yang kamu chat bukan istrimu kan?” Sandri berjongkok di sebelah Raswan yang melirik kecut.
“Jangan campuri urusanku, San!”
“Enggak, aku nggak ikut campur urusanmu.”
Sandri mendengkus. “Lihat Mbak Nena—istrimu—aku jadi ingat mendiang mamaku. Ya, gemuk kayak Mbak Nena, tapi kalau diajak ngomong itu bikin adem hati. Aku kadang lihat kok kalian kalau ngobrol, Mbak Nena walau mungkin banyak kekurangan di matamu, tapi menurutku dia sudah berusaha, Ras.” Helaan napas panjang menjeda kalimat. “Aku anak tunggal. Papaku kerja luar kota dan bertemu wanita lain di sana. Aku dan Mama ditinggalkan.”
Mendengar cerita Sandri, ada sedikit perasaan tersentak pada Raswan.
“Aku bantu Mama jualan kue keliling, Ras, tiap aku pulang sekolah. Mama selalu tersenyum untuk menguatkanku agar menerima kalau kehidupan kami sudah berubah setelah Papa meninggalkan kami.” Sandri menatap ke depan. “Saat aku lulus SMA, Mama bekerja keras untuk mengumpulkan uang supaya aku bisa mengikuti seleksi Bintara, maklum, rumahku jauh aksesnya dari perkotaan. Butuh uang lebih untuk transportasi, kursus psiko, bayar penginapan dekat tempat tes.”
Sandri mengambil sebatang rokok dari sakunya. Menyulut api dan mulai mengepulkan asapnya.
“Mama kelelahan cari uang ke sana kemari demi aku. Akhirnya di hari kelulusan, saat aku diterima Secaba, Mama meninggal dunia.”
Masih terbayang di benaknya, peristiwa hari itu.
“Sebelum kita satgas ini, papaku muncul lagi dalam kehidupanku. Dia sakit-sakitan, istri mudanya sudah angkat tangan.” Sandri berdiri. “Tapi aku tidak sudi menerimanya sebagai papaku lagi! Dia ke mana selama ini saat aku membutuhkannya!” Pria bermata sipit berkulit bersih itu meninggalkan Raswan yang terhenyak mendengar ceritanya. Secara otomatis Raswan jadi mengingat Dafis. Membayangkan berada di posisi papanya Sandri. Seluruh bulu kuduknya meremang membayangkan.
**
Asrama batalyon di Semarang ....
Nena mengatur kamera dari handphone untuk live streaming di sebuah aplikasi bernama Zig Zog (ZZ), tidak memperlihatkan wajah, hanya tangannya saja sambil memperhatikan ayam-ayamnya sedang makan atau kegiatan apa pun yang berhubungan dengan ayam-ayam kecilnya itu.
“Gaes, pagi ini kita ditemani si gembul Bobo, ya. Kitkit dan Lulu masih di kandang, makan bersama teman-temannya,” ucap Nena di live streaming-nya pagi itu. Pengikutnya di aplikasi ZZ sudah ribuan. Nena mencari uang tambahan dari aplikasi ZZ untuk memodalinya membuka peternakan. Apa saja dikerjakan sebisanya selama halal asal bisa terkumpul uang untuk mulai membangun kehidupan mandiri bersama putranya.
Selama lima bulan membangun branding di aplikasi ZZ dengan menampilkan hal yang berbeda yaitu video anak-anak ayam yang dibuat sekreatif mungkin, akun Miss Na perlahan mulai dikenal banyak orang. Tak hanya karena kreativitas video, yang membuat akun Miss Na ramai, juga karena Nena sesekali mendongengkan sebuah cerita tanpa menampakkan wujudnya, hanya suara saja. Suaranya yang merdu mampu menggaet subscriber semakin banyak. Dari hasilnya branding di aplikasi tersebut, Nena lumayan bisa menabung untuk membeli lahan yang akan dikelolanya menjadi peternakan ayam.
[Miss suaranya indah banget, sesekali lihatin wajah Miss Na dong! Kita penasaran nih.]
Satu chat mengawali aksi ingin melihat wajah Miss Na membuat akun yang lain ikut-ikutan menyerbu dan membanjiri kolom komentar.
[Betul, kepo nih pengen tahu wajah Miss Na!]
[Pasti cantik, suaranya saja indah.]
Nena gelagapan.
“Gimana ini! Mereka penasaran dengan wajahku!” Ia takut jika menunjukkan wajahnya, subscribe chanel-nya akan kecewa dan ilfeel.
“Tante Nena cantik banget kok, kenapa nggak nongol aja di kamera?” celetuk gadis kecil anak tetangga yang kebetulan sedang main di belakang rumahnya, dekat kandang ayam.
BERSAMBUNG
DUH PENASARAN PAS NENA UDAH BERANI NONGOL DI KAMERA! 😍
LANJUT LAGI?
JANGAN LUPA:
SUBSCRIBE
KOMEN
LOVE
❤️