Hari berikutnya, Nena sudah mulai menyicil merapikan barang-barang.
Dafis—putra semata wayang Nena dan Raswan memperhatikan apa yang dilakukan mamanya akhir-akhir ini.
“Mama, kenapa barang-barangnya ditarok di kardus semua?”
Nena menghentikan gerak tangannya. Berat memberi tahu buah hatinya kalau papa dan mamanya di ambang perpisahan. Selalu Nena berdoa, selain diberi kekuatan untuk dirinya, ia pun ingin putranya bisa lebih kuat dan menerima.
“Kita mau pindah, Ma?” tanya Dafis lagi.
Satu tangan Nena melingkar di pinggang putranya, wajah ibu muda itu bersandar ke pelan.
“Kita nanti nggak tinggal di sini lagi, Nak.”
“Kenapa, Ma?”
Belum bisa menjelaskan sepenuhnya, Nena sudah gemetar. Lebih berat menghadapi anak sendiri daripada cibiran orang lain.
“Udah malam, Sayang, tidur yuk,” ajak Nena.
Selama enam bulan ini dia menempati kamar putranya. Kamar utama yang biasanya dipakai bersama sang suami sengaja dikosongkan. Tak bisa berada berlama-lama di kamar itu karena kenangan indah dan kenangan buruk muncul silih berganti.
**
Angin sore lumayan kencang hingga rambut Nena bergoyang dikibas angin. Parkiran tank begitu sepi karena penghuni asrama rata-rata berkumpul di lapangan voli. Sudah cukup lama aktivitas voli ini baru dilakukan lagi di asrama sejak kemunculan wabah covid 19 yang membuat asrama sempat lockdown. Di tahun 2022, semua sektor mulai bangkit pelan-pelan.
“Sepi ... ibu-ibu pasti ke lapangan voli.”
Kedua tangannya bertumpu pada kedua lututnya yang menyelonjor.
“Bu Raswan?”
Nena menengadah, lalu berdiri seketika saat tahu siapa yang menyapanya.
“Bu Danki.”
Wanita muda yang dipanggilnya Bu Danki itu lantas menyunggingkan seulas senyum ramah.
Kalau sore begini, Bu Danki memang kerap kali berolahraga untuk tetap menjaga badannya, menunjang penampilan. Namun, olahraga yang dipilihnya aerobik. Bu Danki mendaftarkan diri sebagai member berbagai jenis kelas aerobik di sebuah sanggar yang lokasinya tak begitu jauh dari asrama.
“Habis aerobik, Bu?” tebaknya seraya memandangi Bu Danki yang masih mengenakan celana ketat biru laut dengan atasan jaket panjang untuk menutupi baju senamnya yang ketat.
“Iya, Bu Raswan.”
Mereka berdua lalu duduk bersama di bangku dekat parkiran tank.
“Bapak-bapak bulan depan sudah pulang dari tugas, ya, Bu?”
Bu Danki menoleh. “Iya, katanya malah lebih cepat.”
Nena mendengus. “Sebentar lagi saya sudah tidak tinggal di asrama ini, Bu,” ujarnya pelan. Kepalanya menengok, memandangi sekelilingnya dengan hati berat. Suasana asrama ini sudah menyatu dalam kesehariannya dan sebentar lagi ia akan meninggalkan tempat itu, terasa akan ada yang hilang.
Bu Danki menoleh, menatap lekat Nena, prihatin.
“Saya sudah dengar kabar mengenai rumah tangga Bu Raswan. Hmm, saya turut prihatin, ya, Bu.”
Nena merasa lemas menghadapi kenyataan ini, tapi sudah jauh lebih siap dari bulan-bulan sebelumnya.
“Terima kasih, Bu. Pada awalnya saya terlalu down, tetapi di beberapa bulan terakhir ini saya instropeksi diri. Hmm, mungkin salah saya juga, Bu.”
Bu Danki menatap wajah tirus Nena, berdecak kagum dalam diam, mendengarkan Nena menyelesaikan ceritanya.
“Saya ini terlalu percaya diri. Dengan melahirkan anak darinya saya merasa hanya sayalah satu-satunya wanita dalam hidupnya. Saya yakin dia setia dan keyakinan itu tanpa saya imbangi dengan sikap yang semestinya,” cerita Nena. Butuh waktu lama untuk menyadari di mana letak awal keretakan rumah tangganya dan suami.
“Selama ini, Bu, saya malas menjaga badan, saya makan tanpa terkontrol hingga berat badan saya hampir 90 kg. Memang sebelum menikah pun saya sudah gemuk, Bu, sekitar 65 kg berat saya sebelum nikah. Tapi setelah melahirkan saya bertambah gemuk, apalagi makan saya banyak. Dulu saya pikir, ah biar saja saya gendut toh udah laku ini,” lanjut Nena, ada senyuman sedih di wajahnya, menyadari kekeliruan pola pikirnya.
“Di rumah, tiap hari saya memakai daster yang kadang robek masih saya pakai dengan alih merasa nyaman memakai daster apalagi sudah robek. Mungkin pikir suami saya, saya ini terlihat dan terkesan seperti pembantu daripada seorang istri. Rambut saya awut-awutan, kadang diikat sekadarnya. Suami mau menyentuh saja enggan, sudah bau dapur, awut-awutan dan pakai daster kumal, di mana letak tertariknya.” Nena tertawa malu, sudah lebih tegar menceritakan kekurangan dirinya.
Bu Danki ikut tersenyum lalu menepuk punggung tangan Nena.
“Pantas saja, Bu, kalau suami saya tertarik dengan perempuan di luar sana, yang terlihat modis dan pintar dandan juga wangi.” Tawa malu Nena berangsur menjadi senyum sedih.
”Memang, Bu, tugas istri itu beratnya luar biasa. Di samping kita harus bisa mengurus rumah dan anak, istri juga harus bisa membuat betah suami di rumah. Rumah itu adalah surga kita, buat suami kita itu senyaman di surga dan kita adalah bidadari di surga rumah kita itu. Meski kita telah melahirkan anak berapa pun, tetapi jika kita tidak menjaga diri kita besar kemungkinan suami melihat pemandangan luar yang lebih segar. Bukan hanya masalah penampilan, Bu, tapi kenyamanan suami pada kita. Suami tidak akan mudah tergoda wanita lain jika kita pandai menggodanya,” balas Bu Danki menurut sudut pandangnya. Itulah ia berusaha keras menjaga badan sampai rajin aerobik. Di luar sana, penggoda lebih berani menunjukkan kemolekan diri.
“Saya memang orangnya kaku, Bu. Saya kurang berusaha menjadi istri yang berbakti. Kadang saya terlalu cuek juga. Kalau habis makan biasanya saya ngantuk dan tidur-tiduran, nanti suami saya yang cuci piring dan bersih-bersih kalau saya lagi tidur. Lama kelamaan pastilah wajar suami saya jadi jenuh dengan perilaku saya.”
Nena terdiam sejenak.
“Sempat berpikir seandainya masih ada kesempatan kedua, saya ingin memperbaiki diri, Bu.” Kedua matanya terpejam beberapa detik. “Tapi semua sudah terlanjur seperti ini. Mungkin ... dia bukan jodoh saya.”
BERSAMBUNG
Part awal-awal jumlah katanya masih
terbatas ya! 🤭
Di part 11 ke atas akan lebih diperbanyak jumlah katanya 😘
Cerita RUN 2022 ini diadaptasi dari novel lama author dengan judul yang sama, tetapi versi terbaru ini lebih lengkap bin baper 😍