PERTIKAIAN


Sebelum membaca jangan lupa subscribe, agar setiap ada update bab baru langsung ada notifikasinya.


Satu lagi jangan lupa komen yang menarik, karena ada give away koin emas.

Mainan Dewasa dalam Kamar Anakku

#Penyesalan_terlambat

Part 7

Mobil mewahku mulai memasuki halaman rumah mewah yang aku tempati selama ini. Rumah yang aku dapatkan dari Edward. Sebentar lagi, aku akan meninggalkan tempat ini.

Bergegas turun dari mobil. Tak sabar bertemu Manda. Kutekan bel berulang kali. Tak lama kemudian Bik Jum membuka pintu perlahan. Dia tersenyum tipis ke arahku.

"Manda mana, Bik?" tanyaku cepat. Netra memindai seluruh ruangan di hadapanku.

"Non Manda belum pulang, Nya," jawab Bibi.

"Belum pulang bagaimana, Bik? Ini sudah tengah malam," selidikku gusar.

"Iya, Bibik tahu. Non Manda belum pernah seperti ini, Nya. Biasanya kalau pun dia keluar sore hari. Jam delapan sudah kembali," ungkap Bik Jum.

Aku mengeluarkan gawaiku, jemari mulai menari-nari mencari kontak atas nama Manda. Beberapa kali mencoba menghunginya, pangilan telepon tidak tersambung. Aku mulai gelisah, pikiran negatif mulai berkelebat dalam pikiran.

"Coba Bibik hubungi pakai HP Bibik, kalau Manda menjawab. Coba Bibik tanyakan dia dimana? Saya ke atas dulu."

Aku berjalan setengah berlari menuju kamar. Ingin membersihkan diri dari peluh-peluh yang menempel pada tubuhku. Sisa dari pergumulan laknat yang dibenci Sang Pencipta.

Aku tahu itu dosa, tapi aku tidak pernah berusaha lepas darinya. Terkukung perjanjian terkutuk bersama lelaki yang memiliki hati. Namun, memamfaatkan kesusahanku sebagai ajang memenuhi nafsunya.

Arrrgggh!

Aku mengerang, semua sudah terlambat. Manda tidak bisa tunduk lagi padaku. Kenapa dia tidak mau mengerti diriku? Kenapa? Aku lempar semua peralatan kosmetik ke lantai.

Inikah balasan dari-Mu, Ya Allah? Apakah ini teguran dari-Mu? Sekian lama abai akan perintah-Mu. Sibuk mengejar dunia, sehingga lupa pada akhirnya akan mati bersemayam dalam tanah.

Aku melangkah gontai ke kamar mandi. Kutanggalkan seluruh pakaianku. Segera kuhidupkan shower, air mulai membasahi tubuhku. Air mata berderai deras. Malam ini, aku mengingat tentang kematian.

Kematian yang pasti akan datang. Kematian yang tak bisa ditawar untuk diundur atau dimajukan. Arggh! Kenapa aku baru mengingatnya sekarang? Kenapa aku baru ketakutan dan rasa bersalah datang di saat Mandaku telah salah arah?

Pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya mudah. Namun tak mampu kutemui. Tubuh mulai mengigil, bibir mulai menghitam. Duduk memeluk lutut, gila! Apakah aku mulai gila? Tidak! Aku tidak boleh gila. Aku harus menyelamatkan putriku. Jangan sampai dia terjebak sepertiku.

Suara Bik Jum terdengar nyaring. Menghentikan perdebatan dalam diri. Aku tidak menjawab, tenaga tidak tersisa untuk sekedar berbicara.

Bik Jum mendorong pintu, dia segera mematikan shower. Air berhenti, aku masih terpaku dengan bibir mulai bergetar.

Bik Jum membalut tubuhku dengan handuk. Meraih pundakku untuk bangkit. Menuntun untuk duduk di atas ranjang.

"Nya, yang kuat. Kalau Nyonya seperti ini, gimana kita akan menyelamatkan Non Manda? Tegar!" Bik Jum menyeka air mataku. Aku kaku bak tembok, sangat menyakitkan.

Bik jum mengeringkan rambutku, mengambil baju dan memakaikannya. Aku diperlakukan laksana bayi olehnya.

"Nya, jangan seperti ini. Belasan tahun Nyonya memperjuangkan kehidupan Nyonya dan Non Manda. Ini hanya cobaan hidup untuk Nyonya. Allah rindu sama Nyonya dan Non Manda. Mungkin, ini waktu yang tepat untuk Nyonya memperbaiki semuanya," terang Bik Jum pelan. Dia terlihat beberapa kali menghembus napas kasar. Nada bicaranya hati-hati. Dia masih saja berusaha menjaga perasaanku. Padahal yanh dia katakan adalah kebenaran yang tak perlu dibantah.

"Bik, kita cari Manda," ucapku bangkit. Meraih tas kecil untuk memasukkan gawai dan keperluan penting lainnya

"Kita mau cari kemana, Nya? Kita tidak tahu Non Manda dimana, kita tunggu di rumah saja, ya," rayu Bik Jum. Dia tidak mengerti kegelisahanku.

"Bik, saya tidak bisa tenang. Putri saya diluaran sana. Saya tidak tahu dia lagi dengan siapa dan berbuat apa. Saya tidak bisa disini terus, Bik," sanggahku. Bulir bening kembali menetes.

Mendadak cengeng mengingat kisah hidup Manda saat ini. Bik Jum mengangguk perlahan. Segera bergegas turun dan mulai melakukan pencarian. Manda, dimana kamu, Nak?

Betapa tak bertanggung jawabnya aku menjadi seorang Mama. Sahabat anakku saja, tidak aku ketahui. Selama ini, Bik Jum yang bertugas mengurus segala keperluannya. Aku hanya bertugas memberi uang dan uang. Interaksi kami hanya terjadi dalam rumah. Aku pikir Manda nyaman. Ternyata aku salah besar.

Mobil mulai melaju membelah kegelapan malam. Pergi tak tentu arah, yang terpenting aku tidak berdiam diri.

"Setelah ini, ceritakan semua pada Non Manda. Jangan Nyonya tutup-tutupi lagi. Mungkin dengan tahu kebenarannya, Non Manda akan melunak," saran Bik Jum padaku.

"Saya tidak pernah menceritakannya, karena takut Manda akan terbeban. Saya ingin dia fokus belajar. Mengapai impiannya dan menjadi kebanggaan saya di masa depan. Hidup saya sudah hancur tak berbentuk. Saya ingin Manda tidak seperti saya, Bik," ungkapku.

Bik Jum mengatakan tentang hakikat sebenarnya kehidupan. Kita yang merencanakan, tapi Allah yang menentukan. Tentunya rencana Allah lebih indah. Berbicara tentang Allah, aku sama sekali tidak mengingat-Nya. Selalu beranggapan, apa yang kucapai adalah hasil kerja kerasku.

"Kalau Allah benaran ada, kenapa Dia tidak menolongku dan melindungi Mandaku?" Pertanyaan memalukan yang terlontar begitu saja.

"Perbaiki hubungan Nyonya dengan Allah. Maka, Nyonya akan merasakan bahwa Allah itu ada. Contoh simplenya saja, Nyonya masih hidup sampai sekarang, itu bukti kebaikan Allah pada Nyonya. Masih ada kesempatan untuk berubah."

Bik Jum mulai menceramahiku, tidak apa. Ucapannya semua benar. Aku tidak perlu membantahnya. Ilmu agamaku sangat dangkal.  Andaikan aku masih memiliki Mama, mungkin dia juga cerewet seperti Bik Jum. Sayangnya, aku tidak pernah tahu siapa orang tuaku.

Miris! Kata yang tak cukup untuk mengambarkan kehidupanku yang penuh drama dan cobaan.

Hampir satu jam menyusuri jalanan. Manda belum bisa di hubungi. Bik Jum mengajakku pulang. Percuma saja, keberadaan Manda tidak bisa di deteksi. Hati tak tenang, tidak ada cara lain, bersabar. Sayap kehidupanku telah patah, bukan satu, tapi dua. Aku tak bisa terbang, padahal Edward sudah memberiku kebebasan.

Aku melangkah gontai turun dari mobil. Pikiran tak tenang, debar jantung laksana berlari puluhan meter jaraknya. Terlalu berat ujianku kali ini.

"Bik, pintu nggak Bik Jum kunci, ya?" tanyaku pelan. Melihat pintu utama terbuka dan cahaya lampu terlihat keluar.

"Ada, Nya. Tadi sebelum pergi, Bibi sudah pastikan pintunya terkunci dengan rapat," jawab Bik Jum dengan wajah heran.

"Jangan-jangan Manda sudah pulang, Bik," ujarku seraya berlari. Meningalkan Bik Jum yang tak sanggup untuk berlari mengikutiku.

Aku berteriak memanggil Manda. Tidak ada sahutan, mataku menyusuri ruang di depanku. Keberadaan Manda tidak kutemui. Saat melangkah ke ruang tengah. Aku terkejut menemukan Manda hanya mengunakan dalaman saja. Bagian leher dan dadanya dipenuhi bekas merah.

"Amanda!" pekikkku.

Dia terlelap, wajahnya terlihat lelah. Rambutnya acak-acakkan. Tidak perlu kupertanyakan penyebabnya. Aku tahu jelas, dia baru saja selesai bercumbu. Entah lelaki mana yang dia layani.

Aku mengucang tubuhnya kasar. Memaksanya untuk bangun. Dia sama sekali tidak memiliki hati dan logika. Seharusnya anak seumuran dia paham menjaga diri. Hanya leguhan-leguhan kecil keluar dari mulutnya.

Aku menarik tubuhnya dari sofa. Hingga dia terjungkal ke bawah. Rasa sayangku berganti dengan amarah yang memuncak.

"Apaan, sih? Nganggu orang tidur saja!" bentaknya seraya menepis tanganku.

Reflek tanganku menampar kedua pipinya. Aku ingin membungkam mulutnya yang tak beretika.

"Main pukul terus! Diluar sok bijak, padahal di rumah kejam, kayak preman. Memalukan!" Senyum sarkas mengembang di sudut bibirnya.

Bau alkohol menyeruak dari mulutnya. Fakta yang kembali memilukan.

"Apa lagi ini, Manda? Kemarin rokok, sekarang minuman keras. Besok apa lagi?"

"Besok, aku akan memberikan Mama cucu," jawabnya dengan kekehan menjijikkan. Aku kehilangan jati diri anakku yang sebenarnya.

"Lancang kamu, tak perlu menghukumku dengan perbuatan gilamu. Karena, bukan aku yang rugi, tapi kamu. Aku sudah memberikan kesempatan untukmu. Tapi kamu sia-siakan. Baik, sekarang lihat caraku  memberi pelajaran untukmu!" Napasku terengah-engah. Rasa kecewa berbaur dengan emosi menciptakan amarah yang mengila.

Aku menyeret tubuh Manda menaiki tangga. Aku kehilangan kontrol. Amanda dimataku berubah menjijikkan. Tak peduli, raungan dan teriakan Manda.

"Nya, jangan! Non Manda, minta maaf sama Mama, Nak!" Bik Jum memberi perintah. Manda tertawa, sama sekali tidak mengubris ucapan wanita yang selalu menemaninya selama ini.

"Bik, maafkan saya! Saya harus mengajarinya cara bersikap. Dia sama sekali tidak menghormati saya. Saya Mamanya."

Aku kembali menyeret Amanda. Tujuanku kamar mandi. Hati sudah tak terbentuk lagi. Beberapa kali Amanda mendorong tubuhku. Namun, aku tidak memberi ampun untuk Manda.

Terkesan gila, biarkan saja. Biar dia tahu bagaimana sebenarnya seorang Cassandra Elmira.

Kuseret tubuhnya dalam bak mandi, segera kunyalakan kran air. Tidak peduli dengan suara Bik Jum yang memelas.

"Nggak usah sok suci, karena kamu juga hina! Urus dirimu! Baru urus diriku!" Manda meludah ke wajahku.

Plak!

"Aku tahu, aku nggak suci, aku hina, aku wanita tak punya harga diri, aku pelacur! Aku tahu tanpa perlu kamu beri tahu. Maka dari itu, aku ingin kamu tidak menjadi sepertiku. Aku ingin kamu hidup bermartabat dan memiliki derajat yang tinggi!" Beberku penuh penekanan. Sekali-kali perlu meluapkan perasaan yang tersimpan rapat.

Bersambung