Sudah semalaman disini, ternyata yang punya rumah juga belum pulang sampai sekarang.
Menurut Bi Tatik, kemungkinan Bu Thalia baru akan tiba sore ini, sedangkan suaminya masih di Singapore. Ada pertemuan para arsitek se Asia Tenggara.
Aku duduk di samping Bi Tatik yang sedang menonton acara infotainment. Tentang anak komedian Sule yang pacaran dengan artis bernama Mahalini.
"Pasti anak orang kaya itu perempuan," ucap Bi Tatik yakin.
"Kok, Bibi tau?" tanyaku.
"Namanya aja Mahalini, coba orang miskin, pasti namanya Murahini."
Wah, Bi Tatik gak cocok jadi pembantu, cocoknya jadi komedian.
Hari ini gak ada kerjaan berarti, karena katanya rumah ini cukup dipel selang sehari saja.
Tadi aku hanya nyapu, sebelum akhirnya memantau bi Tatik yang menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Penggunaan kompor listrik harus kukuasai dengan baik, sebelum perempuan ini pulang kampung nanti sore.
"Seharusnya mereka cari security aja, Bi. Bukan pembantu kayak kita. Wong jarang di rumah juga, ngapain pembantu sih!" ucapku.
"Keamanan komplek ini sudah terjamin, satpam komplek benar-benar bekerja dengan baik, memasang CCTV, patroli juga," balasnya.
"Kalau di rumah ini, ada CCTVnya gak, Bi?"
"Di depan sih ada, kalau di dalam gak tahu pasti."
Bisa jadi ada sih. Biasanya kan pemilik rumah sengaja pilih lokasi tersembunyi untuk memantau pekerja. Duh, mudah-mudahan saja gak ada.
"Trus biasanya Bibi kalau lagi gak ada kerjaan gimana? Gak bosan disini terus sendirian?" tanyaku.
"Pernah juga, sesekali. Tapi di komplek ini sesama para ART kompak kok, nanti kamu saya masukin ke grup WA ya."
Bi Tatik segera mengambil ponselnya demi memasukkan kontakku ke grup yang dimaksud.
Denting notifikasi dari aplikasi mesengger, membuatku segera melihat nama grup tersebut.
"Paspampres?"
Bukannya itu pasukan pengamanan president?
"Singkatan dari Persatuan Para Maid Primadona Resident."
Ya ampun, canggih-canggih ternyata para maid -- alias pembantu -- disini, nama grup WhatsAppnya aja menjebak banget.
Aku melihat satu-satu nama anggota grup. Rata-rata nama perempuan yang namanya seperti satu generasi dengan bude-budeku.
Mariani.
Laksmi.
Suryati.
Halimah.
Rohimah.
Surti.
Nama-nama kekinian seperti Anya Geraldine atau Rachel Venya sudah pasti tak ada.
"Itu Surti kayaknya seumuran kamu lho. Dia yang kasih nama grup."
Oh, pantesan. Syukurlah dapat yang seangkatan. Lihat foto profilnya sih cantik. Mungkin ini yang disebut, wajah masa kini, nama masa gitu.
“Izin mau pamit dari Primadona resident, sekalian izin nambahin personil baru.”
Setelah Bi Titik mengirimkan pesan ke grup, tak butuh waktu lama, anggota Paspampres langsung ngajak apel perpisahan di teras. Sekaligus kenalan dengan anggota baru.
Belum sebentar mereka udah pada datang beramai-ramai, yang pasti bukan mau berebut beli minyak goreng.
Aku segera menyalami satu persatu dengan senyum selebar mungkin, berharap diterima dengan baik di tengah lingkungan ini.
Mengingat inisial V yang sempat kutulis di surat cinta untuk pemilik rumah ini, seketika tak ingin rasanya memperkenalkan diri dengan nama Vivid.
"Ivid," jawabku akhirnya memutuskan menghilangkan huruf pertama.
"Ifrit?"
Ya ampun, kenapa larinya ke nama setan pula.
Rasanya pengen ketawa sambil nangis, tapi demi first impression.
"Ivid, I-V-I-D" jawabku hampir putus asa.
Akhirnya mereka mengangguk berjamaah. "Oo, Iviiiiiid."
Anggota Paspampres lagi minus dua orang, katanya lagi on duty, kalau menurut istilah Surti.
Perempuan itu ternyata setahun lebih tua dariku, penampilannya juga lumayan modis dengan jilbab pasmina. Surti kerja di rumah seoarang janda berumur setengah abad, jadi ancaman seperti Tiga bilang tentu tak berlaku.
"Wah, berani juga Bu Thalia mempekerjakan perempuan muda di rumahnya, mana cantik lagi," celutuk Mbak Mariati entah bermaksud memuji atau sekedar ingin meragukan pilihan Bu Thalia.
"Gak apa-apa, kayaknya imannya Pak Kenzi kan kuat. Buktinya dulu digoda sama SPG malah, di usir oleh lelaki itu."
Mereka lalu tertawa seperti sedang mengingat kejadian lucu secara berjamaah, hanya aku seorang yang sepertinya tak tau apa-apa.
"Kalau bosan, main ke tempat aku saja Iv. Majikanku baik, para Paspampres sering mangkal disana kok," lanjut Surti.
Baiklah, panggilan Iv sepertinya lumayan juga.
"Insyaallah, Sur.”
Sesaat kemudian kami sibuk membahas kepulangan Bi Tatik yang tinggal satu jam lagi.
"Baik-baik ya Tik, disana," ucap Mbak Laksmi.
"Iya kamu juga, baik-baik disini. Jangan suka main mata sama Kang Sayur. Kasihan Kang Sayurnya, nanti sulit bedain mana gerobaknya mana kamu."
Saat sedang asik-asiknya tertawa, tiba-tiba terlihat mobil Bu Thalia berhenti di depan pagar. Aku dan Bi Tatik langsung membukakan pagar agar majikan kami bisa masuk.
"Maaf, Bu. Teman-teman numpang perpisahan di sini, mau lihat saya sebelum pulang," ucap Bi Tatik saat perempuan cantik itu turun, sambil menoleh ke para anggota Paspampres.
"It's Ok," jawabnya mencoba tersenyum, walau sedikit terlihat aneh.
Ternyata Bu Thalia juga memilih bergabung disini, karena sebentar lagi Bi Tatik memang akan dijemput saudaranya yang sekalian pulang kampung.
Lalu adegan selanjutnya lebih banyak air mata. Satu persatu dari mereka memeluk Bi Tatik untuk terakhir kalinya. Bu Thalia juga.
"Terima kasih atas bantuan Bi Tatik sudah mau kerja sama saya. Ini ada sedikit uang buat orang tua di kampung, saya lebihkan untuk gaji bulan ini."
Bu Thalia menyerah amplop berisi uang yang terlihat lumayan. Baru sesaat keduanya berpelukan, mobil jemputanpun datang.
"Kerja yang baik ya Vid, eh Iv ... kalau ada kendala telepon saja saya," ucap Bi Tatik setelah duduk di bagian belakang mobil.
Aku mengangguk lalu melepas kepergiannya dengan saling melambaikan tangan perpisahan. Ia akhirnya benar-benar meninggalkan kami, dalam mobil yang kian menjauh.
Ah demikianlah kehidupan, selalu ada yang datang dan pergi, bukan?
"Iv, Bu Thalia, kami pamit dulu ya," ucap Surti.
Satu persatu anggota Paspampres memilih balik ke rumah majikan masing-masing. Hanya tinggal aku dan sang majikan yang berdiri di perkarangan depan.
"Ada hal penting yang ingin saya bicarakan dengan kamu. Ayo masuk!"
Bu Thalia segera memasuki rumah tanpa memberikanku kesempatan untuk sekedar menjawab iya.
Ia memilih duduk di sofa ruang keluarga yang berhadapan langsung dengan kolam renang.
Dengan isyarat tangannya Bu Thalia mempersilahkanku duduk di seberang meja yang mengapit kami berdua.
"Bi Tatik sudah memberi tau semua tentang tugas kamu disini?"
Aku mengagguk.
"Kontrakmu di sini satu tahun kan?"
"Iya bu."
"Kalau ..."
Bu Thalia terlihat ragu melanjutkan kalimatnya, kini ia malah mulai memindai wajahku lagi seperti ingin mencari kemungkinan terhadap apa yang ia ingin sampaikan.
"Kalau, saya kasih gaji setahun bekerja, tapi dengan waktu kerja hanya dalam sebulan, kamu mau?"
Duh, ada apa ini. Kenapa jantungku berdegup kecang? Apakah ini yang disebut dengan cinta ... pada uang yang ditawarkannya?
Matanya masih isyaratkan menunggu reaksiku.
"Memang nanti saya harus ngapain, Bu?"
Jangan jangan benar kata Tiga, perempuan dihadapanku ini seorang Mucikari.
"Kamu ...." Mata itu masih menyimpan keraguan.
"Saya?"
"Kamu ... hanya perlu sedikit genit, lalu menggoda suami saya.”
What?!!!!!!
( Bersambung )