Part 3
Pov Laras
"Kalian yang mau makan, kenapa harus Laras yang menyiapkan? Memangnya tangan kalian sudah nggak bisa berfungsi lagi?"
Deg.
Aku menoleh cepat ke arah berlawanan. Rupanya Mas Danang telah kembali sehabis mencuci piring kotor bekas makannya tadi. Suamiku itu menatap tak senang pada adik bungsunya, juga pada ketiga istri saudara - saudara lelakinya.
Duh, alamat bakal ribut besar ini.
"Sensi banget, sih Mas? Kan kita cuma minta tolong sama Mbak Laras. Nggak boleh?" Niken berkilah.
"Tapi Mas nggak dengar kata minta tolong keluar dari mulutmu tadi, Ken," pungkas Mas Danang. Tatapan matanya tak lepas dari menatap adik bungsunya itu.
"Sudah, Mas. Nggak apa-apa," kataku melerai. Tak enak jika sampai suamiku dan Niken ribut sebab ramai orang di sini. Apa kata tetangga mertuaku, nanti. Belum lagi, dalam perdebatan ini juga melibatkan diriku. Tentu aku semakin tak enak.
"Tuh, Mbak Laras aja nggak apa-apa." Niken menukas.
"Laras bilang nggak apa-apa bukan berarti bisa kamu suruh seenaknya, Niken. Laras ini kakak iparmu, hormatilah dia sedikit!" Nada suara Mas Danang naik beberapa oktaf.
Hatiku makin tak karuan, takut pertengkaran di antara keduanya akan pecah. Sebelum itu terjadi, tentu harus kucegah.
"Apaan sih Mas, marah-marah!" Niken tampak tak terima.
"Ya Allah Mas ... sudah, Mas. Sudah, nggak papa kok, Sayang." Kuelus lembut lengan suamiku yang mulai tersulut emosinya.
"Istighfar, Mas. Malu, di sini banyak orang ...," bisikku pelan. Mas Danang pun beristighfar lirih. Tapi dari sorot matanya, aku tahu masih ada emosi terpendam.
"Udah deh, kita makan di luar aja, Mbak. Di sini bawaannya gerah, padahal cuma numpang makan aja belagu!" Niken kemudian beralih pada ke tiga iparku yang lain.
Mas Danang hendak berkata untuk menjawab ucapan adiknya barusan, namun cepat kutahan. Lewat gerakan mata, kuisyaratkan pada suami untuk mengalah. Meski tak rela, Mas Danang mau tak mau akhirnya menurut juga.
Kami biarkan Niken beserta ipar-iparku yang tak ubahnya seperti pelayan setia Niken itu meloyor pergi entah ke mana. Meski cukup sakit hati, tapi aku berusaha tak mau terpancing emosi. Biarlah, Allah maha tahu isi hati setiap hamba-Nya.
Mungkin Niken merasa lebih nyaman bergaul bersama kakak-kakak iparnya yang kaya-kaya itu ketimbang denganku yang tak berharta ini.
Tapi Allah tahu, mana hati yang tulus menganggap saudara, dan mana yang hanya sekedar menjilat.
"Anak itu lama-lama semakin kurang ajar. Dia memakai tenaga kita untuk keperluan acara ini tanpa kita minta imbalan sepeser pun, Ras. Ngurus ini, ngurus itu. Bahkan sampai hal paling kecil sekali pun, tapi mana?
Tidak ada sama sekali hormatnya terhadap kita. Mentang-mentang kita ini orang tak punya, tak seperti Mas Adi, Mas Utsman, maupun Mas Fikar."
Mas Danang menumpahkan kekesalannya. Aku hanya bisa mengusap dada suamiku pelan, menularkan kesabaran agar labuh di hatinya.
"Sudah Mas, malu didengar orang. Mungkin Niken sedang khilaf. Ayo duduk, biat kuambil minuman lagi untuk Mas, ya?" tawarku di ujung kalimat.
"Nggak usah, Ras. Ayo, kita pulang saja. Mas lagi nggak enak suasana hatinya, daripada nanti terjadi macem-macem, mending Mas nggak usah lihat muka mereka dulu," tolak Mas Danang.
"Iya, Mas. Tunggu sebentar, ya. Aku bereskan piring kotor bekas makanku dulu sebentar," ujarku.
***
"Loh, mau pulang kalian, Nang?" Ibu melontar pertanyaan begitu memasuki rumah dan melihat aku serta Mas Danang tengah bersiap pulang. Di tangannya, tampak sebuah tentengan dalam bungkus kantong kresek.
"Iya, Bu. Kasihan Syafiah nggak bisa tidur siang kalau bukan di rumahnya sendiri," jawab Mas Danang memberi alasan.
"Rumah apa gubuk, Nang?"
Suara celetukan itu berasal dari arah anak tangga. Tampak Mas Fikar, saudara laki-laki nomor dua suamiku itu sedang berdiri sambil menatap ke arah kami sambil melempar senyum yang tak bisa kutafsirkan.
"Fikar!" Ibu memelototi putra ke duanya itu.
Mas Danang mendengkus pelan, sebuah ujian lain menerpa kami lagi, rupanya. Jika tadi Niken, maka sekarang Mas Fikar yang juga merupakan suami dari Mbak Dewi.
"Bercanda, Bu," sahut Mas Fikar cengengesan.
Bahkan anak kecil pun tahu, mana candaan yang pantas dan tidak untuk dilontarkan terhadap saudara kandungnya sendiri. Tapi, sepertinya Mas Fikar perlu belajar adab dan etika untuk membenahi kelakuannya.
"Ya sudah, kalian hati-hati di jalan, ya. Tunggu sebentar, Laras." Ibu menahanku, kemudian membuka dompet yang dipegangnya. Aku tahu maksud ibu, maka aku pun buru-buru menolak sebelum beliau menyampaikan maksudnya.
"Nggak usah, Bu. Nggak usah," ujarku menolak.
"Buat jajan Syafiah, Ras. Apa salah kalau Ibu memberi cucu sendiri?" Ibu menatapku tajam.
"Udahlah Ras, terima aja. Kalau miskin ilangin aja malunya, daripada lapar!" celetuk Mas Fikar lagi. Rupanya sejak tadi dia masih di situ dan belum beranjak pergi.
Nyes ... nyeri terasa hingga ke ulu hati mendengar ucapan abang iparku yang seolah mati akal itu. Di mana perasaan lelaki yang seorang pengusaha sukses toko meubel itu?
"Jaga mulutmu, Fikar!" bentak ibu keras.
Kurasakan Syafiah merapatkan tubuh mungilnya padaku. Anakku ketakutan melihat neneknya memarahi om-nya.
"Ini, ambil buat Fiah beli jajan, ya." Tak mempedulikan penolakanku, ibu mengulurkan dua lembar uang seratus ribuan pada anakku.
Syafiah mendongak menatapku, seakan meminta ijin apakah dia boleh menerima uang pemberian dari neneknya. Pelan, kuanggukkan kepala, dan binar di mata anakku pun seketika berpendar.
Kumaklumi, sebab Syafiah memang baru pertama kalinya memegang uang sebanyak itu. Selama ini, uang jajan yang selalu kuberi paling hanya selembar dua ribuan, atau paling banyak, lima ribuan.
Bukan karena aku dan Mas Danang pelit sebagai orangtua, namun memang hanya segitulah kemampuan kami sebagai orangtua.
"Bilang makasih sama nenek, Nak," perintahku pada Syafiah.
Dengan malu-malu, gadis kecilku itu berterima kasih pada neneknya. Begitu pun diriku, mengucapkan terima kasih pada ibu mertua.
Mas Danang sendiri sudah tampak jengah tak betah berlama-lama di sini akibat lisan tajam saudara-saudaranya. Maka kami pun segera pamit undur diri pada ibu.
"Ras, jangan diambil hati, ya. Ibu minta maaf mewakili Niken dan Fikar," bisik ibu lirih saat memelukku.
"Iya, Bu. Laras nggak ambil hati, kok. Laras pamit, ya Bu. Besok pagi-pagi Laras ke sini lagi buat bantu-bantu," jawabku.
Kuukir senyum agar raut bimbang di wajah Ibu menghilang. Wanita berhijab itu balas tersenyum serta melambai pada Syafiah yang sudah lebih dulu naik ke boncengan motor bersama Mas Danang.
Saat melewati jalanan menuju luar gang, motor kami berpapasan dengan mobil Mas Fikar yang ditumpangi Niken, serta ketiga iparku.
Mas Danang membunyikan klakson seraya berhenti menepi. Namun jangankan membalas, membuka jendela mobil saja mereka enggan.
🍁🍁🍁
Jangan lupa bantu subscribe ya, teman-teman.