Bagi-bagi Seragam Kebaya
Assalamualaikum teman-teman, bertemu lagi dalam karya baru saya yang berjudul 'Hanya Aku Yang Tak Diberi Seragam Nikahan'. Jika berkenan, mohon klik subscribe untuk mendukung cerita ini, ya teman-teman. Salam sukses selalu untuk kita semua.
________________________________________________

Part 1

"Ini untuk Mbak Dewi, ini untuk Mbak Ela, nah ... yang terakhir untuk Mbak Puspa." Niken, adik iparku yang minggu depan akan menikah, memberikan satu per satu seragam kebaya untuk dipakai di hari bahagianya itu.

Mbak Niken, Mbak Dewi, serta Mbak Ela, menerima seragam mereka dengan penuh suka cita. Sedang aku, seakan dianggap sebagai makhluk tak kasat mata hanya bisa menonton saja.

Sesaat kemudian, tampak tangan Mbak Dewi, menyenggol lengan Niken. Tatapannya bertemu denganku, Mbak Dewi langsung menunduk dengan wajah tak nyaman, sementara Niken langsung menatap janggal padaku.

"Oh iya, Mbak Laras nggak usah tersinggung, ya. Seragam ini hanya untuk keluarga inti saja, jadi maaf kalau Mbak Laras nggak kebagian," ujar Niken.

Aku hanya tersenyum tipis, sembari menekan denyut nyeri dalam hati. Keluarga inti, Niken bilang. Padahal posisi Mbak Dewi, Mbak Ela dan Mbak Puspa sama halnya denganku. Kami sama-sama menantu di keluarga Budi Santoso, yang tak lain adalah bapak mertuaku, ayah dari Mas Danang, suamiku.

Jadi apa bedanya aku dan ketiga iparku tersebut? Bedanya adalah karena suami-suami mereka orang sukses. 

Ya, di antara lima bersaudara dengan Niken menjadi anak bungsu serta perempuan satu-satunya, hanya Mas Danang lah yang kehidupan ekonominya pas-pasan.

Ketiga saudara laki-lakinya sukses merantau di pulau seberang, lantas membangun usaha sendiri di kota ini. Sedang suamiku hanya pekerja serabutan yang penghasilannya tak tentu. 

Sesekali aku membantunya berjualan untuk menambah penghasilan, namun Mas Danang keberatan dengan alasan takut Syafia putri kami yang baru berusia tiga tahun, tak ada yang mengurus.

"Jangan tersinggung loh, Ras. Jangan iri sama kami bertiga. Ya, selain karena alasan keluarga inti, juga karena kami menyumbang dalam acara pernikahan Niken. Kalau kamu kan ... ah, isi sendiri, deh!" celetuk Mbak Puspa yang disambut cengiran lebar oleh Niken.

Aku sama sekali tak tersinggung oleh ucapan iparku barusan. Bukan karena sabarku seluas samudera, melainkan karena aku telah mati rasa.

Bukan sekali dua kali mereka menyakitiku lewat kata-kata, melainkan ini sudah entah yang ke berapa kalinya. Aku sudah tak kuasa lagi menghitung berapa banyak parutan hati yang tercipta akibat lisan tajam mereka.

"Iya, Mbak Puspa benar. Kalau mau dapat seragam, minimal ya nyumbang apa, kek." Niken menimpali.

"Maafkan Mbak, Niken. Bukan Mbak tak mau menyumbang, tapi kamu kan tahu kalau Mas Danang__"

"Halah! Sudah ... sudah, kalau emang dasarnya mental miskin ya miskin aja terus. Selalu mengaku susah dan kekurangan, punya uang pun pasti ngakunya tak punya. Jadi jangan baper ya, kalau cuma Mbak Laras yang diperlakukan berbeda," potong Niken sebelum aku sempat menyelesaikan kalimat.

Hatiku bertambah nyeri, tapi masih kutahan dengan mengucap istighfar dalam hati. Tak ada gunanya aku mendebat ipar-ipar kaya-ku yang maha benar itu.

Aku pun memilih ke dapur untuk membantu di sana, ketimbang kumpul di depan hanya untuk dijadikan bahan hinaan oleh manusia-manusia tak berhati itu.

"Sudah dicoba seragamnya, Ras?" tanya ibu mertua saat aku tengah sibuk mengupas rempah yang akan dibuat bumbu masakan.

"Laras nggak dapat, Bu." Aku menjawab apa adanya. Ibu Mas Danang yang juga ibu mertuaku itu seketika mengerutkan dahinya.

"Nggak dapat gimana, Ras? Niken bilang kalau hari ini bagi-bagi seragam kebaya untuk kamu, Puspa, Ela dan juga Dewi," ujar ibu mertuaku kemudian.

Tiba-tiba aku merasa tak enak hati, apalagi, beberapa tetangga mertua yang ikut rewang juga tampak menatap ke arahku. Seketika saja, aku langsung menjadi pusat perhatian.

"Ya sudah, deh. Kamu lanjutin ini saja, biar Ibu yang tanya sendiri ke Niken." 

Ibu berlalu ke depan, meninggalkanku dengan perasaan yang semakin tak nyaman. Aku takut akan terjadi keributan nantinya hanya gara-gara seragam kebaya keluarga tersebut.

Tak berselang lama, ibu kembali dan mengajakku keluar dari dapur dan menemui ipar-iparku tadi. Saat tiba, kulihat wajah mereka semuanya tampak memerah.

"Dengar ya Niken, Laras ini juga kakak ipar kamu. Kalau yang lain dikasih, kenapa Laras enggak? Daripada nanti nggak kompak, ada yang pakai seragam ada yang enggak, mending nggak usah pakai semua!" 

Suara ibu terdengar memenuhi ruangan. Baik Niken maupun iparku yang lain tak ada yang bersuara. Namun dari lirikan tajam mata Niken, aku tahu adik iparku itu tampak sangat benci dan marah padaku.

"Gimana, Niken? Bisa kamu cariin satu lagi nggak, seragam untuk Laras? Kalau nggak bisa, lebih baik sini, Ibu tarik semua seragam kebaya yang sudah kamu beri ke Ela, Dewi dan Puspa!" Suara ibu bernada tegas.

Jangankan Niken dan yang lainnya, aku saja mengkeret tak berani mengangkat wajah.

"Iya ... iya! Besok aku cariin satu lagi buat Mbak Laras!" Niken menyahut sambil mendecak kesal.

"Bagus. Ingat ya, Ibu paling nggak suka kalau kalian nggak kompak. Kita ini satu keluarga. Satu sakit yang lain juga ikut merasakan sakit. Jangan ada yang merasa lebih tinggi dari yang lainnya. Jaga nama baik keluarga!"

Setelah memberi wejangan singkatnya, ibu kemudian berlalu kembali ke dapur. Tinggal lah aku bersama ipar-iparku yang kini menatap penuh benci. Terutama Niken, dia seolah ingin menelanku hidup-hidup.

🍁🍁🍁

Jangan lupa tinggalkan jejak berupa love, rating, subscribe serta komentarnya ya, teman-teman.
Lope.❤