Part 5. Pagi Pertama

Semua sudah berkumpul di meja makan. Sarapan pagi pertamaku di rumah ini. Entah kenapa wajah umi terlihat suram, membuatku merasa sedikit tak nyaman.


Abi mulai mengambil nasi, mbak Ami menyodorkan mangkuk sayuran kepada umi. Tanpa bicara umi menyendok sayur beserta lauk untuk abi.


Setelah mbak Ami mengisi piring mas Ridwan, suaminya, aku mengambil piring di hadapan mas Kholik. Ku isi dengan nasi, kemudian oseng buncis juga ayam goreng. Tak lupa sambal kutambahkan di samping potongan ayam.


"Hei … Nur, Kholik nggak bisa makan pedas." Tangan mbak Ami cekatan mengambil piring kosong.


Aku hanya melongo saat dia menyerahkan piring kosong kepadaku.


"Wis, itu buatmu aja. Ini ambilkan yang baru," lanjutnya.


Mas Kholik hanya tersenyum tipis. Memang suamiku itu irit bicara. Mungkin karena dia sadar kalau senyumnya teramat manis, hehe.


Ku lirik umi yang mendengus kasar. Abi tetap cuek menikmati hidangan di depannya.


"Libur berapa hari kamu Lik?" tanya mas Ridwan.


"Semingguan paling mas," jawab suamiku.


"Halah, ngapain libur lama-lama. Besok kerja ya bisa to Lik?" ucap umi.


"Ya bisa Mi, tapikan masih pengen nemenin cah ayuku ini lo Mi," sahut mas Kholik. Tak lupa tangannya menowel daguku. Aku hanya tersipu.


"Ck … kaya sinetron aja." Umi berdecak.


"Biarin to Mi, kaya nggak pernah muda saja. Dulu umi malah minta di temenin hampir setengah bulan to," ujar abi.


Umi langsung mencubit lengan abi. Kami pun tak bisa menyembunyikan tawa.


"Apa sih abi ini. Ya beda to, dulu aku masih ting ting. Nggak kaya si Nur ini."


Deg. Aku melongo. Ini maksudnya apa ya?


"Umi ngomong apa sih?" tanya mas Kholik.


"Ngomong apa gimana? Nggak perlu to umi jelaskan di sini?" seru umi.


Mbak Ami dan suaminya beringsut meninggalkan ruang makan. Beruntung keduanya sudah selesai sarapan. Mungkin mereka enggan ikut campur dalam pembicaraan ini.


"Sudah umi bilang dari dulu kan Lik, kamu itu cuma kudung,"


"Kudung apa lagi umii …," suamiku mencoba menahan diri untuk tidak bersuara keras.


"Ya mana ada jaman sekarang, perempuan baru kenal kok tiba-tiba minta dikawinin." Aku tak tau arah perdebatan mereka. Aku bergantian menatap umi dan mas Kholik. Sementara abi terdengar menarik nafas.


"Mi, jangan bahas ini lagi. Nur sudah sah jadi istri Kholik. Umi harus ridho dan ikhlas." Kata-kata abi semakin membuatku bingung.


"Berkali-kali sebelum mereka nikah umi sudah bilang nggak srek bi. Tapi anakmu ini ngeyel terus."


"Mi, sudah ya …,"


"Bi, harus berapa kali aku bilang. Laila, Sarah, Hikmah, sudah ku pilihkan perempuan baik-baik. Tapi si Kholik ini tetap kekeh milih si Nur. Hah, entah kena pelet atau apa," ucap umi seolah aku tak ada di ruangan yang sama.


Mas Kholik meremas tanganku keras. Secara tak langsung aku mulai******perdebatan mereka. Hatiku sakit. Pagi pertama di rumah mertua. Kenapa seperti ini?


Umi beranjak dari tempat duduknya.


"Dah, habiskan itu nasinya. Jangan kebiasaan menyisakan makanan di piring."


Eh, barusan umi bilang apa? Aku disuruhnya untuk menghabiskan makananku? Tenggorokanku saja seolah terganjal batu. Bagaimana aku bisa menelan.


"Dek, maafkan kata-kata umi tadi ya," bisik suamiku.


"Biarkan saja umi ngomel. Memang sudah tabiatnya begitu. Kamu perlu berusaha keras mengambil hatinya ya Nur. Dan kamu Kholik, jaga hati istrimu," kata abi sebelum beliau beranjak.


"Iya bi," jawab suamiku. Ucapannya pelan namun tegas.


"Ada apa to mas? Apa yang aku nggak tahu?" tanyaku pelan.


"Nanti mas cerita di kamar ya dek. Habiskan dulu itu nasinya."


"Nggak selera lagi mas," sahutku malas.


"Hmm, ya sudah. Yok beresin. Disini yang selesai makan paling akhir yang harus beresin meja," ucap mas Kholik.


Aku terkikik geli. Baru tau aturan makan di rumah ini.


"Dek, sabar ya … ngedepin umi. Mas akan di sampingmu terus." 


Aduh mas … meleleh boleh?


🌷🌷🌷