"Hari yang buruk. Uh!"
Dara melempar butir kacang asal. Dia sudah sampai apartemen. Tadi dia langsung memesan taksi dan langsung pulang. Capek. Apalagi hari ini cukup menyebalkan. Sebelah kakinya nangkring di ranjang. Asal kalian tahu saja, Dara rebahan di lantai. Memang sama sekali tak menampakkan kalau dia itu wanita berada yang kecantikannya menjadi idaman setiap wanita. Dara yang dulu aslinya memang tomboy. Makanya sifat aslinya nongol pas dia di rumah atau sedang sendirian. Selain itu, mana pernah dia menampilkan sisi lain dirinya itu. Harus jadi wanita elegan dan memukau. Itu prinsipnya. Jika kalian bertanya, berapa sih usia Dara? Maka jawabannya dua puluh lima. Masih muda kan?
Sejenak kemudian gadis cantik atau jelek itu merenung.
"Apa gue buka penyamaran aja ya? Sebel gue dihina jelek terus. Huh!"
Bagi Dara, anti mendapat hinaan. Baginya kesempurnaan adalah nomor satu. Kecuali untuk urusan cinta. Dia akui, nol besar dalam masalah itu. Kebanyakan orang mendekatinya karena kecantikan dan hartanya saja. Tidak ada yang benar-benar tulus padanya. Jujur saja, sebenarnya Dara ingin menangis tiap kali mengingat urusan cintanya yang selalu sial. Tapi dia pikir lagi untuk apa. Baru saja dia memutuskan untuk melajang seumur hidupnya, eh, malah dijodohin dengan pria angkuh itu.
"Mana kayak bongkahan es kutub gitu. Ya Tuhan... sebenarnya gue berhak ngerasain cinta gak sih?" keluhnya. Menutup wajahnya dengan kedua belah tangannya. Pasti karena dia jelek, makanya sifatnya dingin begitu.
Tapi, tunggu!
Bukannya ini kesempatan baik. Dia bisa melihat seberapa jauh pria itu akan bertahan dengannya.
"Coba lihat saja, apa dia betah dengan wajah jelek gue? Hmm... sepertinya seru." Bibir mungilnya terulas lebar. Memang pemikiran gadis ini seringkali diluar nalar.
Cklek!
Dara tersentak, buru-buru membenarkan posisinya. Terlanjur, Dirga sudah melihatnya. Namun seperti tak terjadi sesuatu, pria itu melangkah santai, melewati dirinya yang kini menunduk kalem. Huft, untung saja riasannya belum dia hapus.
Matanya membulat saat dengan santainya Dirga membuka kemeja kerjanya tepat di depan matanya.
"Woy! Lo bego apa gimana sih! Ada gue disini," pekiknya menutup mukanya dengan tangan. Dirga cuek saja.
"Ini kamarku. Apa masalahmu?"
Pria itu bahkan sudah bertelanjang dada. Mengabaikan protes Dara. Mengambil kaosnya di lemari. Lalu memakainya. Dia melirik Dara yang masih menutup wajahnya kaku. Sebelah sudut bibirnya tertarik. Menghampiri gadis itu dan menarik tangannya.
"Eh! Apaan! Jangan macam-macam lo!" Dara masih menutup matanya. Dirga tak memperdulikannya. Hobi sekali pria itu menarik-nariknya. Dara rasa mereka keluar dari kamar. Entah kemana Dirga membawanya.
"Sekarang kamar lo disini," ujarnya, melepaskan tangan Dara. Mata bulat itu mengerjap. Sebuah kamar dengan nuansa yang sama dengan kamar utama. Apalagi kalau tidak berwarna putih dan hitam. Tidak begitu luas, tapi rapi.
"I-ini kamar gue?" ulangnya memastikan. Dirga mengangkat sebelah alisnya.
"Terus, kenapa tadi malam kita tidur seranjang dodol!" kesalnya. Tahu begini kan tadi malam dia tidak perlu menahan mati-matian riasannya. Yang mengakibatkan dua jerawatnya nongol.
"Terserah aku."
Makin kesal Dara dibuatnya. Dia mendengkus. Melangkah pelan, mengitari kamar barunya. Hm... memang tak sebagus dan selengkap kamar utama, tapi setidaknya ini lebih baik. Daripada harus sekamar dengan beruang kutub itu.
"Hmm... bagus," ujarnya. Menghempaskan pantatnya di ranjang empuk barunya.
"Dan mulai sekarang jangan pernah masuk ke kamarku."
Dara manggut-manggut. Menjebikkan bibirnya.
"Tidak masalah."
"Kalau begitu, pindah barang-barangmu sekarang juga."
"Sekarang?"
Dara menatapnya tak percaya.
"Ya. Kapan lagi? Ya sekarang lah."
"Haish! Bisa gak sih ntaran aja. Gak sabaran banget," sungutnya.
"Gak. Cepat pindah atau selamanya bajumu di dalam sana, dan kamu tidak bisa mengambilnya?"
"Hish! Iya... iya. Nyebelin."
Dara bergegas bangkit dari ranjang, melewati Dirga dengan bersungut-sungut. Mengambil barang-barang miliknya dengan pengawasan beruang kutub itu tentunya.
Satu koper besar. Dan pria itu sama sekali tak membantunya. Memang tak ada hati. Keras seperti batu. Dingin seperti es kutub utara. Dengan susah payah Dara menyeret koper besarnya. Padahal kamarnya tak jauh, tapi tetap saja dia lelah. Sudah lama dia tidak angkat beban seperti ini. Keringat sebesar jagung menghiasi wajahnya. Ayolah, jangan sampai riasannya luntur. Dia letakkan koper itu di sudut kamarnya. Beres-beresnya nanti aja deh.
"Hah! Capek!" ujarnya menghempaskan badannya di ranjang. Padahal Dirga masih disini. Bersidekap menatap tingkah gadis aneh itu.
"Mulai besok ikut ke kantor," ucapnya singkat.
"Apa!" Dara terjingkat. Reflek bangun dari posisinya.
"Kenapa? Kau istriku kan? Sudah seharusnya mendampingi suami."
"Ta-tapi..."
"Gak ada tapi-tapian. Mulai besok dan seterusnya ikut aku ke kantor," ucapnya tanpa penolakan. Langsung keluar dari kamar Dara.
Apa ini? Gila! Sehari saja di kantor dia sudah muak dengan hinaan, eh ini malah setiap hari.
Argh! Nyesel. Niat mempermalukan, malah sial sendiri.
"Nyebelin! Nyebelin!" Umpatnya. Memukuli ranjang tak bersalahnya.
"Dasar arogan. Pemaksa."
Dara berguling-guling di ranjang miliknya. Lama-lama dia capek sendiri. Dan malah kebablasan tidur.
-----------
Bau harum masakan membuat Dara terbangun. Bersandar di headbordnya. Matanya mengerjap pelan sembari mengumpulkan nyawanya. Sedikit pusing akibat tidur sore.
"Emm, siapa yang masak?" gumamnya. Perutnya keroncongan. Ia baru ingat, dia hanya makan sarapan tadi pagi yang dia beli di restoran. Sekalian bawain bekal untuk Dirga. Alasannya, karena dia tidak bisa masak.
Aroma harum makin menguar. Membuatnya terpancing untuk menghampiri. Dengan rambut acak-acakan, dia keluar kamar. Tapi tak berapa lama terburu kembali lagi. Yang dilihatnya di dapur adalah Dirga. Dan dia lupa belum memakai riasan penyamarannya.
"Duh, mana laper banget lagi," keluhnya. Mengusap-usap perutnya. Bau lezat makanan memaksanya menelan air liur.
Tok! Tok! Tok!
Jantungnya terasa mau copot. Itu pasti Dirga. Buru-buru dia baring lagi. Pura-pura masih tidur. Selimut menutupi badannya.
Suara pintu dibuka. Jantungnya berdetak dua kali lipat. Derap langkah makin mendekat.
"Perempuan jam segini belum bangun juga."
Dara menahan napasnya. Ayolah, jangan sampai Dirga membuka selimut yang menutupi wajahnya.
"Hey! Bangun."
Dara pura-pura pulas. Tak menyahut.
"Kau lapar atau tidak? Hey!"
Pria itu sama sekali tak menyentuhnya untuk membangunkan dirinya. Hanya memanggilnya seolah sedang mengobrol biasa. Kaku. Cela Dara dalam hati.
"Hah! Terserahmu sajalah."
Terdengar suara langkah menjauh. Tapi bukan keluar. Seperti ke arah samping. Haish! Apa yang dilakukan beruang kutub itu.
Tak lama barulah terdengar derap langkah yang lain. Lalu beriring dengan pintu yang ditutup.
"Huft..."
Dara menghembuskan napas lega. Pria itu sudah keluar.
"Untung saja beruang kutub itu tidak tahu kalau gue cuma pura-pura tidur."
Tapi Dara penasaran, apa yang dilakukan beruang kutub itu tadi. Bergegas dia lempar asal selimutnya. Nyalang mencari hal aneh yang mungkin ditemukannya. Di atas laci. Selembar kertas ditindih stabilo. Di raihnya cepat kertas itu.
"Ada makanan di lemari makan."
Singkat padat dan jelas. Dara tersenyum tipis. Ternyata beruang itu perhatian juga. Tangannya mengelus pelan perutnya.
"Sabar ya perut. Kita tunggu beruang kutub itu semedi dulu, baru kita nikmati waktu kita."
-----------
"Woah..."
Mata gadis itu berbinar. Padahal cuma nasi goreng dan telur mata sapi. Tapi ekspresinya selalu berlebihan. Akhirnya waktu memanjakan si perut datang juga. Tadi dia sudah bergerilya. Dan sepertinya Dirga sedang di kamarnya. Jadi tanpa perlu merias untk penyamarannya, dia bergegas ke dapur.
"Enak. Pintar juga dia masak," pujinya. Manggut-manggut menikmati nasi goreng tersebut. Netranya menelusuri dapur tersebut.
"Rapi. Hmm, ternyata selain pintar merawat diri, dia juga pintar merawat apartemennya. Sama sekali tak menunjukkan kalau dia tinggal sendirian."
"Haha... gue jadi penasaran. Kenapa coba tante Windi jodohin beruang itu sama gue? Aneh. Padahal gue gak bisa apa-apa. Yaa, meski harus gue akui, gue cantik, menarik, pintar dan banyak yang dambain sih. Tapi kan tetap saja. Untuk urusan dapur, gue nyerah."
"Kalau bukan karena terpaksa juga aku tidak mau."
Dara terjingkat. Reflek menoleh, tapi secepat kilat juga menarik wajahnya. Menutupi wajah aslinya. Untung saja Dirga tak sempat melihatnya karena cowok itu berjalan ke kulkas.
Haish! Sialan. Dia dengar semuanya apa gak coba. Memalukan. Kalau bukan karena kondisi wajahnya sekarang, pasti sudah dia balas perkataan beruang itu. Tapi daripada penyamarannya ketahuan, dia menahan dirinya.
"Selesai makan, cuci piringnya. Aku gak suka ada barang kotor di apartemenku."
Tanpa menunggu jawaban Dara, Dirga melangkah pergi begitu saja. Dara menatapnya dengan gerakan meremat kasar.
"Pengen gue remet-remet tuh es kutub. Nyebelin, sumpah!" Ujarnya menyumpah-nyumpah. Menyendok sesendok nasi goreng dan menyorongnya kasar. Lagi-lagi dia mengumpat, karena ujung sendok menyodok gusinya.
"Haahhh... Dasar beruang kutub nyebelin!" teriaknya.