"Sial. Dia ninggalin gue sendirian," umpat Dara.
Dia bangun tidur mendapati apartemennya sepi. Tentu saja Dirga sudah berangkat tadi. Hari ini dia tidak ke salonnya. Dan untuk kedepannya mungkin dia tidak ke salon dulu. Untuk urusan salon, dia serahkan pada Nana.
"Ah, gue ada ide." Senyum smirk terulas di bibirnya.
"Tapi, gue kan gak tahu alamat kantor Dirga," keluhnya menyadari sesuatu. Jelas saja, mereka memang belum kenal. Rencananya dia mau membuat malu Dirga. Tentunya dengan datang ke kantor pemuda itu dengan penampilan buruknya. Biarin. Biar cowok itu malu dan segera ada alasan mereka bertengkar. Sepertinya seru.
"Nanya tante Windi aja deh."
Dia scrool gawai mahalnya. Mencari kontak mama mertuanya. Lalu menghubunginya.
"Halo sayang." Suara lembut mertuanya itu terdengar.
"Ha-halo tan..."
"Loh, kok tante sih. Panggil mama dong. Kan sekarang saya mama kamu."
Dara nyengir.
"Hehe. Iya ma."
"Nah, gitu dong. Ada apa sayang? Apa Dirga kasar sama kamu?"
"Eng...gak m-ma."
"Syukurlah kalau begitu."
"Emm... ma."
"Iya. Gimana sayang?"
Dasar Dara nekat. Rupanya dia sudah bertekad menjalankan rencana konyolnya.
"Alamat kantor Dirga dimana ya ma?"
"Alamat? Memang Dirga ke kantor?"
"Iya ma. Tadi Dara kesiangan. Jadi lupa gak bawain bekalnya. Hehe."
"Astaga, anak itu. Padahal udah mama larang jangan ke kantor dulu. Ngeyel memang."
Oh, jadi cowok itu dilarang ke kantor hari ini? Haha, kenapa dia malah bersyukur ya. Setidaknya dia jadi ada agenda seru hari ini. Apalagi kalau bukan niatan mempermalukan suaminya sendiri.
"Ya sudah. Nanti mama kirim alamatnya."
"Iya ma. Makasih."
"Iya sayang. Ya sudah ya, mama lagi di butik."
"Iya ma."
Telepon dimatikan. Tak lama sebuah chat masuk. Rupanya mama Windi sudah mengirim alamatnya.
"Siap jalankan rencana!"
Dara bergegas berdandan.
-----------
Dengan menaiki taksi- hal yang dibencinya, karena seumur hidup baru kali ini naik taksi- akhirnya sampai juga Dara di kantor Dirga. Dia berhenti sejenak. Memandangi bangunan tinggi menjulan di depannya itu. Di tangan kanannya tercangking tas bekal.
"Hebat juga dia ternyata," gumamnya. Dengan percaya diri, Dara melangkah memasuki area kantor Dirga. Banyak pasang mata yang menatapnya aneh. Tak jarang juga merendahkan. Bisik-bisik dengan teman di sampingnya. Bodo amat. Dia tahu dirinya dari dulu pusat perhatian. Eh! Lupa. Sekarang masih pusat perhatian sih. Tapi karena dia jelek.
"Ruangan pak Dirga dimana?" Tanyanya to the poin pada karyawan di meja resepsionis.
"Maaf, mbak ini siapa ya? Apa ada janji sebelumnya dengan Pak Dirga?"
"Memang harus, ada janji?"
"Benar mbak."
"Saya gak ada janji dengannya."
Karyawan itu mengerutkan dahinya. Kaget dengan jawaban spontan Dara. Tapi buru-buru menguasai dirinya. Ingat, dia harus profesional. Meski dengan wanita menyebalkan ini.
"Wah. Kalau begitu, maaf mbak. Tidak bisa. Harus ada janji terlebih dahulu."
Brak!
Karyawan itu terjengit. Dara memukul mejanya. Sontak mereka yang ada disana juga sontak menatapnya. Sigap mengambil ponsel mereka masing-masing. Wah, bakal ada berita heboh nih. Pikir mereka.
"Apa-apaan! Pokoknya saya mau ketemu Dirga sekarang. Kamu gak lihat, ini bekal dia ketinggalan."
"Ta-tapi mbak..."
"Saya gak mau tahu. Kasih tahu dimana ruangan Dirga. Atau saya cari sendiri," ancamnya.
"Silakan. Tapi sebelum itu... security!" Karyawan itu dengan sigap memanggil security. Dara kaget dengan kedatangan dua security berbadan kekar. Kok tiba-tiba ngeri.
"Wanita ini merusuh. Bawa pergi sebelum pak Dirga tahu," ujar karyawan wanita itu. Security dengan sigap meringkus Dara.
"Heh! Apa-apaan ini. Lepaskan! Saya ini istri Dirga, asal kalian tahu."
Tawa tertahan terdengar. Siapa yang percaya? Gadis aneh dan jelek tiba-tiba saja mengakui sebagai istri boss mereka. Setahu mereka, istri boss mereka cantik dan menarik, meski tertutup cadar. Lah yang ini... sangat jauh dari ekspektasi. Sekali lagi, karyawan wanita itu memandangi Dara lekat. Dari atas sampai bawah. Wanita berwajah aneh dengan tompel besar di pipi kanannya, tapi memakai blouse yang sama sekali gak cocok dengan wajah jeleknya. Karyawan itu tersenyum remeh. Ayolah, siapa yang akan percaya?
"Cepat bawa keluar. Jangan sampai pak Dirga tahu ada wanita gila datang ke kantor."
Security itu memaksa Dara.
"Heh! Kalian gak bisa ngusir gue. Gue ini istri Dirga, bego!" umpatnya. Tapi tenaganya kalah besar. Bodyguard itu menyeretnya keluar, sampai tas bekalnya terjatuh.
"Ada apa ini?"
Suara bariton menghentikan aktifitas mereka. Semua langsung menunduk. Termasuk security yang membawa Dara, tapi tetap saja menahan gadis itu supaya tidak lari.
"Maaf pak. Wanita itu memaksa masuk dan mengaku-ngaku sebagai istri bapak," jelas karyawan wanita itu.
Pandangan Dirga beralih ke Dara. Wajahnya cemberut. Berusaha melepaskan diri, tapi sia-sia.
"Lepaskan dia," ujar Dirga. Security itu melepaskan cengkramannya ragu-ragu. Dara menggerutu, mengelus lengannya yang memerah.
Hening. Tak ada yang berani mengangkat wajah mereka. Sudah dikatakan bukan, Dirga ini bos dingin yang meski tampan tapi mengerikan.
Srat! Dirga menarik pergelangan tangan gadis itu.
"Eh! Tunggu!"
Dirga tak memperdulikannya. Membawa gadis itu sampai memasuki lift. Cengkraman tangannya tak dilepaskan. Dara ingin mengumpat, tapi diam-diam dia takut juga. Ternyata sangarnya cowok ini mengerikan juga.
Ting!
Sampai lantai paling atas, dimana ruangan Dirga berada. Dirga menarik gadis itu, memaksanya mengikuti langkah lebarnya. Para karyawan yang disana terkejut. Buru-buru menunduk. Meski sempat membatin. Siapa gadis jelek yang dibawa boss mereka.
Brak!
Dirga membuka kasar pintunya. Menghempas tangan Dara. Tak akan ada yang berani mengintip mereka sekarang. Dara menunduk. Tak berani menatap pemuda di depannya itu. Menunduk dengan bibir mengerucut sambil mengelus pergelangan tangannya yang merah. Tadi lengan, sekarang ditambah pergelangan tangan. Huh! Niat bikin malu malah dia yang kena getahnya.
Dirga menatapnya tajam. Tangannya bersidekap. Memberi kesan intimidasi yang kuat. Tanpa sadar Dara memundurkan langkahnya. Padahal sama sekali jarak mereka tidak dekat-dekat amat.