Perjanjian

Setahun yang lalu, Rika menahan tangis di depan kuburan papanya. Tiba-tiba saja Papa meninggal karena serangan jantung. Bukan hal yang mengejutkan, karena Papa sudah memiliki penyakit jantung koroner karena penyempitan jantung oleh tumpukan lemak. 


Papa obesitas, sama seperti Rika dan mamanya. Sudah beberapa kali Papa berhasil menghindari kematian, tetapi akhirnya kalah juga karena memang sudah tiba waktunya. Sebenarnya itu bisa menjadi alasan Rika untuk diet dan dia pun pernah melakukannya. Masalahnya, selalu saja berhenti di tengah jalan karena Rika tak tahan melihat godaan makanan. 


Rika dan mamanya berpelukan, setelah jenazah Papa dikubur. Tubuh Mama juga sudah mengurus akibat diabetes sejak lima tahun lalu. Mama menggenggam tangan Rika. 


"Untung Mama punya kamu, Sayang. Jadi Mama tak sendirian," ucap Mama, getir. 


"Iya Ma, Mama juga semoga sehat terus ya. Jangan tinggalkan Rika sendiri…." Rika menangis lagi dalam perjalanan pulang. Mamanya pernah kritis dua bulan hanya di tempat tidur akibat gula darahnya melesat. Seluruh tubuh Mama jadi lemas dan tidak bisa bangun. Kepalanya pusing luar biasa. 


"Papa meninggalkan wasiat untukmu. Sudah tentu semua harga peninggalan kami akan menjadi milikmu. Akan tetapi, Papa berpesan agar kau bisa memilih pendamping hidup yang benar." 


Ucapan Mama membuat Rika berpikir. Sudah tentu ia menginginkan pendamping hidup yang benar, tapi siapa yang mau menikah dengan gadis bertubuh gendut seperti dirinya? Jangankan suami, pacaran saja dia belum pernah. 


"Kalau kamu mau menikah nanti, kamu harus membuat perjanjian dengan suamimu," kata Mama. 


Rika pun memikirkan perjanjian apa yang harus ia buat nanti kalau sudah ada lelaki yang mau menikahinya. Mama sudah membantunya memikirkan soal isi perjanjian. Tinggal calon suaminya saja yang belum.


Tiga bulan setelah kematian Papa, Rika juga harus kehilangan Mama. Mama tidak lagi bisa bertahan dari penyakit diabetesnya. Rika pun tinggal sendiri. Hanya memiliki seorang teman setia sekaligus sekretarisnya, Intan. 


Kemudian tiba-tiba Toni datang ke dalam hidupnya. Berlagak seperti seorang lelaki yang jatuh cinta. Mendekati Rika dengan gigih, meskipun Rika tidak langsung menerimanya. Rika sangat waspada terhadap orang-orang yang mendekatinya karena dia mewarisi harta yang banyak. 


"Kok aku nggak yakin ya sama cowok itu, Kak." Intan sudah pernah meragukan ketulusan Toni. 


"Kenapa enggak? Kayaknya dia beneran baik." Rika sudah dimabuk cinta oleh Toni. Bagaimana tidak? Selain tampangnya lumayan, Toni juga sangat menyangjungnya. Baru ini itu Rika mendapatkan perhatian yang manis dari seorang lelaki. Sejak mereka bertukar nomor telepon, Toni sering sekali meneleponnya melebihi jadwal minum obat dalam sehari. 


Toni sering mengirimkannya cokelat dan kue-kue dalam kemasan yang cantik-cantik. Sebenarnya Rika bisa membelinya sendiri tapi kalau dibelikan lelaki yang dicintainya rasanya akan lebih membahagiakan. 


Rika mengingat momen-momen saat bersama dengan Toni dan belum menikah. Sebelum menikah,  Kehadiran Toni menggantikan rasa kehilangannya ditinggal orangtua. Hidupnya tak terasa sepi lagi, meskipun dulu sudah ada Intan. 


Setelah maju mundur, akhirnya Rika menerima lamaran Toni dan mereka pun menikah. Akan tetapi, sebelum menikah, Rika sudah mengajukan surat perjanjian pernikahan yang harus ditanda tangani oleh Toni.


Malam ini, Rika akan mengingatkan lagi soal surat perjanjian itu. Ia sengaja memesan banyak makanan dan minuman yang digelar di atas meja makan. Sebagaimana biasanya Toni sering melakukan hal itu untuk menyenangkannya. 


"Wah, ada apa ini istriku?" Toni terbelalak melihat kemewahan yang tersaji di atas meja makan. 


"Ayo duduk, suamiku. Kita nikmati makan malam yang romantis ini." Rika memandang senyum manisnya. 


"Baik, sayang." Toni pun duduk di hadapan Rika. 


Rika mengambilkan setumpuk makanan untuk Toni.


"Eh, jangan banyak-banyak! Kamu tahu kan lambungku kecil?" Toni berteriak.


"Lalu siapa yang akan menghabiskan makanan-makanan ini?" Rika memandang Toni, tajam.


"Siapa lagi kalau bukan istriku tercinta." Toni tertawa. 


"Kaupikir lambungku sebesar lapangan bola?! Kau harus memakannya juga!" Rika balas berteriak. 


Saat itulah Toni sadar, sepertinya Rika akan membahas suatu hal yang serius. 


"Ada apa, sayang? Apakah kau sedang datang bulan?" Toni mencoba meredakan emosi Rika. Sepertinya Rika masih terganggu oleh Anya. Dugaan Toni benar, karena tidak lama Rika menyebut nama Anya. 


"Anya itu mantan pacarmu, kan?" Rika memicingkan mata.


"Ah, aku sudah tidak bisa menyembunyikannya lagi. Kamu tahu kan aku memang tidak bisa berbohong." Toni menghela napas panjang. "Dia memang mantan pacarku, tapi aku tak melakukan apa-apa dengannya di belakangmu. Dia hanya kuminta menggantikanmu kalau aku sedang ada undangan." 


"Ya, karena kau malu padaku! Apa kau sudah lupa dengan surat perjanjian kita?" Rika berusaha menggali ingatan Toni.


"Tentu saja aku ingat dan aku sudah menghapalnya. Kalau kau tak percaya, tanya saja kepada Anya. 


"Baiklah. Nasi sudah menjadi bubur. Aku hanya mau mengingatkanmu bahwa kalau kau selingkuh, maka kau tidak akan mendapatkan apa pun dari harta gono gini." Rika menyesap minumannya usai mengatakan hal tersebut. Dibilang harta gono gini juga sebenarnya tidak tepat, karena semua harta itu adalah hartanya. Toni sama sekali tidak berkontribusi apa-apa. 


Toni menelan ludah. "Iya, sayang. Aku hapal itu." 


Masih panjang isi surat perjanjiannya. Sampai-sampai Toni tidak membaca semuanya. Ia hanya langsung tanda tangan, karena ingin segera menikahi Rika dan hidup enak. Ia pikir akan cepat menghabisi nyawa Rika dengan membuatnya bertambah gendut. Ia luput membaca poin terakhir dari surat perjanjian itu: 


"Jika istri meninggal atau menghilang secara tidak wajar, maka suami tidak bisa menjual harta benda istri. Penggunaan selanjutnya diatur oleh sekretaris pribadi yang telah ditunjuk."




*Jangan lupa subscribe, love, dan komentar yaaaa.