Besok, Aku Akan Mati

Apa yang kau harapkan dari raga kosong tanpa hati di dalamnya? Kebahagiaan mutlak atau kesemuan yang mengerogoti setiap tetes kebahagiaan yang tersisa? Kata orang, hati seseorang itu bisa menjadi sekeras batu dan dapat dihancurkan bila setiap harinya kau siram dengan air cinta. Akan tetapi, apa yang akan terjadi jika batu itu dihantam palu setiap hari? Tentunya hancur lebur, tak bersisa, bukan?

Katanya ... cinta adalah tentang memberi tanpa mengharapkan imbalan, lalu apakah nama dari perasaan ingin memiliki walau kau tahu tak ada lagi hati di dalam raga itu? Tak ada kata yang mampu menjelaskan arti dari kata cinta. Yang pasti, perasaan itu tak 'kan membuatmu merasa hancur dan terluka, bukan? Bentuk cinta bukan hanya mempertahankan, melainkan melepaskan.

Dita tersenyum tipis melihat dress selutut berwarna peach dengan beberapa hiasan mutiara di bagian leher, kalung bermata satu yang tampak serasi dengan gaun tersebut diletakkan di samping.

"Pakailah ini saat kita makan malam nanti."

Tulisan itu Dita temukan saat membuka kota beludru merah yang berisikan gelang mutiara. Indah, namun semua itu hanya tampak luarnya saja, sama seperti dirinya. Kosong dan tak lagi bermakna di mata lelaki itu.

Dita berjalan ke arah kamar mandi. Ia harus segera bersiap sebelum suaminya mengutus seseorang untuk menjemputnya. Dita meringis saat membuka pakaian yang membalut tubuh, lengannya terasa sakit bukan main. Ia menatap miris pantulan diri pada cermin di hadapannya. Ia tak kuasa menahan air mata yang mulai membasahi pipinya, lalu mengusap kedua lengannya secara bergantian, lebam biru terlihat jelas di kulit putihnya yang pucat.

Kedua kaki Dita terasa lemah, ia tersungkur di lantai, dan meraung. Bukan hanya raga yang tersakiti, namun hatinya ikut hancur lebur. Tamparan pertama yang ia terima dari Aditya terjadi karna lelaki itu cemburu melihat Liam yang mengantarnya pulang, lalu esok harinya bukan hanya tamparan yang ia terima, akan tetapi lelaki itu menendang tubuh kurusnya. Hal itu terus terjadi, semakin hari semakin parah. Lelaki itu bahkan berusaha tak memukul wajahnya, agar tak ada yang mengetahui sikap buruknya.

Selalu ada yang pertama untuk segala hal, begitupun dengan alasan pertama Aditya menyakitnya, cemburu buta. Kedua, ketiga, dan seterusnya, Aditya tak lagi memerlukan alasan untuk menghancurkan Dita.

Setiap harinya Dita selalu berpikir. Mungkin, esok ia akan mati.

***


Jalanan menuju restoran yang tampak seperti rumah pribadi itu dihiasi lampu-lampu kecil. Terlihat homey dan romantis di saat bersamaan. Balkon kayu restoran disulap menjadi tempat yang sangat pas untuk menyantap makan malam. Sepasang kursi, meja penuh makanan, bunga-bunga indah yang berada di pagar balkon, dan juga lampu remang membuat tempat itu sempurna.

Lelaki di samping Dita menggengam tangannya erat, takut-takut wanita itu akan terjatuh karna jalanan yang tak rata menuju restoran. Senyum indah ia persembahkan pada wanita itu, namun sayangnya, wanita di sampingnya tak menunjukkan ekspresi apa pun. Tatapan matanya terlihat hampa, hanya lelaki itu yang terlihat hidup.

"Bagaimana kerjaanmu hari ini, Sayang?" tanya lelaki itu, begitu mereka sudah menempati tempat duduk yang ada di balkon.

"Lumayan," jawab Dita tanpa melihat lelaki di hadapannya.

Lelaki itu menyentuh wajah Dita, sontak Dita menjauh, membiarkan tangan lelaki itu mengantung di udara, lalu lelaki itu tersenyum tipis dan menarik tangannya kembali. "Kamu cantik banget malam ini. Dress itu cocok banget sama kamu."

Tubuh Dita bergetar setiap lelaki itu menyentuhnya, tak ada lagi kehangatan yang dulu dirasakannya. Berada di dekat lelaki itu membuatnya selalu bersikap was-was.

"Besok kita ke rumah papa."

Dita mengangguk.

"Apa kamu udah memikirkan ucapanku, Dita?"

Dita menautkan alisnya. "Yang mana?"

"Resign dari kerjaanmu."

Dita tahu apa yang Aditya coba lakukan, mencoba memutus semua hubungannya dengan dunia luar agar ia bebas meremukkan wanita itu. Selama ini, Aditya telah menjauhkannya dari keluarga dan juga teman, dan sekarang lelaki itu mau merampas seluruh kebebasannya.

"Aku tetap pada pendirianku. Aku mau tetap kerja." Dita menantang mata Aditya, ia dapat melihat amarah di sana. Lelaki itu menggengam erat pisau di tangan kanannya, sembari mengeraskan rahang.

"Pikirkan lagi, Dit. Aku mau kamu fokus ke keluarga kecil kita."

Dita menunduk dan melanjutkan kegiatan makannya. Dulu, ia sempat berpikir ingin mengabadikan seluruh hidupnya untuk Aditya, namun sekarang Dita menyesali semua keputusannya, termasuk membuka hati untuk lelaki itu.

"Aku kasih kamu waktu buat berpikir, Dita."

Dita menghentikan gerakan tangannya dan menoleh ke arah Aditya. "Aku merasa sesak napas dengan sikapmu ini, Dit."

Aditya tersenyum miring. "Apa maksudmu, Dita. Aku mencintaimu."

"Mengekang kebebasan seseorang adalah caramu menunjukkan cinta?"

"Aku nggak pernah mengekangmu."

Dita terseyum miring. "Melarang keluarga dan temanku ke rumah, selalu ikut setiap aku bertemu orang, dan mulai mengatur cara berpakaianku. Apa semua itu bukan mengekang?"

Aditya menggenggam kedua tangan Dita yang berada di meja. "Aku mencintaimu. Kamu milikku dan aku nggak mau ada yang menganggu kita."

"Apakah cinta itu, Dit?"

Dita mulai bertanya-tanya arti cinta yang sempat Aditya perkenalkan padanya. Ia sendiri tak lagi merasakan perasaan indah itu.

"Memilikimu adalah cinta, Dita."

Dita tahu, tak ada gunanya membicarakan cinta dan juga kebebasan pada Aditya. Dita melanjutkan makannya dan mendengarkan Aditya yang sibuk bercerita tentang keseharian. Sekilas, tak terlihat perbedaan di hubungan mereka, seperti pasangan normal pada umumnya.

***


Perlahan, Dita mulai kehilangan dirinya sendiri. Tak ada lagi tawa, kepercayaan diri, dan juga sikap mandiri yang selama ini selalu ia tunjukkan. Tatapan hampa, wajah datar, dan juga tak banyak bicara adalah dirinya yang sekarang. Dita tak lagi berani dekat dengan lawan jenis, walau sekedar bertegur sapa, ia tak ingin mereka terkena sial darinya.

Alunan musik pop terdengar ke penjuru ruangan, aroma kopi menyerebak, memenuhi indera penciuman ketika pintu kaca dibuka. Dita mengarahkan padangan ke sekeliling dan tersenyum tipis saat menemukan Sandra yang sudah menunggunya. Wanita berambut ikal itu melambaikan tangan sembari tersenyum saat tatapan mata mereka bertemu.

Dita memeluk erat tubuh sahabatnya. Mereka duduk berhadapan. "Aku pikir, kamu bakalan nggak datang lagi hari ini."

"Aku pasti datang."

Sandra menatap Dita meneliti. "Kamu lebih kurusan, Dit. Wajahmu juga pucet banget. Kamu sakit?"

Dita menggeleng. "Aku baik-baik aja."

"Oh ya, pesananmu," ucap Sandra sembari mengeluarkan amplop coklat dari dalam tas tangannya, "Tapi untuk apa KTP palsu ini? Sekarang nggak mudah membuat KTP palsu gini, Dit. Apa kamu mau kabur? Dari siapa?"

"Sandra ... tolong percaya aku."

"Aku selalu percaya sama kamu. Kamu ada masalah? Aditya?"

Dita mengigit bibir bawahnya kuat, hingga terluka, membuatnya meringis perih. "Jangan sampai dia tahu akan hal ini, San."

"Apa Aditya melakukan sesuatu? Kalian terlihat baik-baik aja dan selalu romantis. Apa pernikahanmu bermasalah?"

Ingin rasanya Dita mengadu, tetapi ia tahu jika semua itu akan membuat Sandra dalam masalah. "Aku mau hidup, Dit."

Sandra menautkan kedua alis. "Aku beneran nggak ngerti."

Seorang lelaki yang tiba-tiba datang dan tersenyum pada Sandra menyelamatkan Dita dari penjelasan yang sulit untuk diungkapkannya.

"Oh ya, kenalin Dita. Ini pacar baruku, Daniel."

Dita dan Daniel saling berjabat tangan. "Syukurlah kalau kamu udah move on," ucap Dita begitu Daniel duduk di samping Sandra.

"Oh please, Dita. Kamu pikir aku se-menyedihkan itu?"

Mereka semua tertawa. Menit demi menit berlalu, pembicaraan santai mengalir begitu saja, membuat Sandra lupa menanyakan alasan Dita meminta identitas palsu. Sedetik kemudian Sandra berpamitan untuk ke kamar mandi, meninggalkan Dita dengan Daniel. Lelaki itu ramah dan selalu mempunyai topik untuk dibagikan, membuat Dita cepat akrab meski Sandra meninggalkan mereka. Dita pun bisa tertawa karna lelucon yang lelaki itu bagikan padanya.

Daniel yang tengah bercerita tentang bagaimana caranya bertemu dengan Sandra menghentikan percakapan dan menatap ke belakang punggung Dita, membuat wanita itu mengarahkan padangan. Dita terkejut saat menemukan Aditya berdiri di belakangnya sembari menatap Daniel penuh amarah.

"Kamu siapa?"

Aditya tersenyum ramah. "Aku suami Dita."

Daniel merasa terintimidasi dengan tatapan tajam Aditya, meski lelaki itu tak berkata-kata kasar, namun Daniel tahu jika Aditya tak menyukai kebersamaan mereka. "Aku pacarnya Sandra. Daniel," ucap lelaki itu sembari mengulurkan tangannya pada Aditya. Ia tak ingin membuat salah paham.

"Aditya. Maaf, kami permisi."

Aditya segera menarik tangan Dita. Wanita itu tak ingin ada keributan, terutama di depan kekasih sahabatnya. Ia membiarkan Aditya menariknya keluar. Hanya keheningan yang menjebak keduanya di dalam mobil yang Aditya kendarai.

Selang beberapa menit, mereka tiba di rumah. Aditya menyeret Dita masuk, mengunci pintu di belakang punggung, dan mendorong Dita hingga tersungkur ke lantai.

"Kenapa kamu bisa tersenyum di depan lelaki lain, tapi nggak di depanku, Dita?"

Suara Aditya mengeras, tatapan mata penuh amarah, dan Dita tahu jika kejadian itu akan berulang lagi. "Apa yang bisa kamu lakukan untuk membuatku tersenyum, Dit? Nggak ada, 'kan!"

Aditya tertawa kecil. "Nggak ada? Aku selalu memberikan semua yang kamu mau, Dita. Perhiasan, baju mahal, membawamu berlibur kesana-kemari. Apa itu nggak bisa membuatmu tersenyum? Apa kamu mau bilang kalau kamu nggak bahagia?"

"Uang nggak bisa membuat orang bahagia, Dit. Memberiku barang-barang mahal nggak bisa membuat hatiku menghangat. Aku nggak membutuhkan semua itu."

Aditya mengeraskan rahang dan melempar vas bunga yang berada di meja dekat pintu masuk ke arah Dita. Bersyukur wanita itu selamat dari lemparan Aditya.

"Kamu bener-bener wanita yang nggak tahu diuntung! Kamu nggak akan menemukan orang lain yang mencintaimu sebesar cintaku, Dita."

Dita tersenyum miring. "Cinta yang gimana, Dit? Ini kegilaan, bukan cinta."

Aditya menendang keras tubuh lemah, Dita. "Kamu yang gila, Dita!"

"Bunuh aja aku, Dit. Bunuh!" Dita terisak. Sungguh, ia tak tahan dengan semua derita yang ditanggungnya. Mungkin, memang hanya kematian yang dapat membebaskannya.

Aditya berjongkong, menarik rambut Dita, membuat kepala wanita itu tertarik ke belakang. Sakit yang dirasakannya semakin membuat air matanya mengalir deras.

"Kamu milikku. Bahkan kematian pun nggak bisa merampasmu dariku, Dita." Senyum Aditya terlihat mengerikan, tubuh Dita bergetar hebat, dan hanya ketakutanlah yang ada di dalam matanya.

"Ini bukan cinta. Ini bukan pernikahan dan aku udah capek sama semua ini, Dit."

Amarah Aditya semakin memuncak. Kenapa wanita itu tak bisa mengerti dirinya. Yang ia inginkan hanyalah memiliki wanita itu seutuhnya. Ia tak ingin membagi wanitanya pada siapapun. Ia ingin mengurung Dita di sangkar cintanya.

"Jangan pernah meragukan cintaku, Dita." Aditya menarik lengan kemejanya sebatas siku, mengeraskan rahang, dan Dita tahu jika kali ini akan terasa lebih menyakitkan dari sebelumnya.

"Aku hanya ingin memilikimu seutuhnya. Nggak ada orang lain yang berhak menerima senyummu selain aku. Nggak ada, Dita!"

Walau sudah mengantisipasi hal yang akan terjadi selanjutnya, Dita masih tak bisa menghilangkan keterkejutan dan ketakutannya saat kaki Aditya mendarat di perutnya. Dita meringkuk, berusaha melindungi dirinya sendiri, sementara Aditya semakin kesetanan dan menendang terus-menerus hingga Dita kehilangan kesadaran karna sakit yang menyiksa.

Besok, aku akan mati karnanya, namun kematian seakan tiket kebebasan yang kuperlukan.