Part 5
Jangan lupa klik berlangganan dulu, ya readerku sayang
Biar bisa dapat info saat novel ini diupdate

_____________


Gladis bangkit. Melipat mukena dan meletakkannya di meja kecil. Setelah itu ia melangkah ke dapur. Haris mengekor di belakang. 

Dengan cekatan, Gladis membuatkan teh hangat untuk suaminya. Kemudian ia mengeluarkan bawang merah, bawang putih, cabai dan juga terasi dari wadah. Dalam sekejap perempuan itu telah menyiapkan bumbu untuk membuat sarapan. 

Tak butuh waktu lama, dua porsi nasi goreng sudah ia hidangkan di meja. Dilengkapi dengan telur mata sapi, bawang goreng dan acar timun, menu itu terlihat menggoda bagi Haris. 

"Makasih, Cinta. Kamu memang paling mengerti aku."

Gladis hanya tersenyum. Dalam hati ia bertanya, apakah sekarang kamu hanya butuh masakanku, Mas? Haris tak tahu, saat ini hari Gladis teramat perih. Suaminya bercinta dengan wanita lain, tapi saat lapar datang padanya. 

Keduanya makan dalam sunyi. Sesekali Haris meraih tangan Gladis, lalu meremasnya sambil tetap mengunyah makanan. 

Saat nasi goreng di piring Haris dan Gladis hanya tinggal beberapa suap, Arneta keluar dari kamar. Dengan rambutnya yang mengembang ke atas seperti singa, ia melangkah mendekati meja makan. Melingkarkan tangan di leher Haris dari arah belakang, Arneta menciumi rambut lelaki itu. 

"Sayang, kenapa nggak bangunin aku?"

"Kayaknya kamu nyenyak banget tidurnya, jadi kubiarin aja."

"Duh, sweet banget. Kamu takut aku masih capek karena semalam, ya?"

Haris mengangguk. Seulas senyum yang tidak menyentuh matanya ia berikan pada Arneta. Sekilas ia melirik Gladis yang memandang mereka dengan tatapan tak suka. 

Istri kedua Haris itu mulai jengah melihat adegan di depannya. Ia segera menghabiskan sarapannya, lalu bangkit menuju wastafel. Dari ujung mata ia bisa melihat, madunya hanya mengenakan kemeja milik Haris. 

Genderang perang telah ditabuh, pikirnya. Maka ia pun bersiap melancarkan serangan dan memasang perisai pertahanan. 

"Eh, Dis. Kamu mau kemana? Nasi gorengnya masih ada, kan?"

Gladis menghentikan langkahnya. Ia menoleh, lalu memandang Arneta sambil tersenyum.

"Aduh, maaf, Net. Nasi di magic com tinggal sedikit tadi. Pas untuk aku dan mas Haris aja. Kamu bikin sendiri, ya?"

"Aku nggak bisa bikin nasi goreng."

"Gampang. Nanti aku kasih tahu caranya."

"Tetap aja susah. Lagipula kamu bilang nasinya habis, kan?"

"Ya, masak lagi aja. Berasnya banyak, tuh. Tinggal cuci, colokin kabelnya, deh."

"Ah, nyusahin. Gimana nih, Mas?" rengek Arneta pada Haris. 

"Ya, kamu tinggal ikuti petunjuk Gladis aja, lah. Biar lama-lama pintar masak juga."

"Ah, udah aku makan ini aja."

Arneta menarik piring milik Haris, lalu memakan nasi goreng yang hanya tinggal tiga sendok. Gladis geleng-geleng kepala melihat tingkah madunya. Ini baru permulaan, pikirnya. Kau akan mendapat yang lebih lagi nanti. 

Selesai mencuci piring bekas makannya, Gladis beranjak ke kamar tidur. Masih didengarnya suara Haris yang menenangkan Arneta. 

"Gladis pelit banget, sih. Masa bikin sarapan cuma dua. Memangnya aku dianggap apa?"

"Sudahlah. Kamu dengar sendiri tadi kenapa dia hanya masak sedikit."

"Aku masih lapar, Mas. Mana cukup tiga sendok begini."

Gladis berhenti di depan pintu kamarnya. Ia menoleh ke arah ruang makan dan berseru.

"Di meja dapur itu ada telur mentah. Kamu bisa goreng sebentar. Jangan lupa masak nasinya dulu kalau mau kenyang."

Arneta mencebik. 

"Mending aku go food aja nanti di kantor. Kamu orderin ya, Mas?" ujar perempuan itu sambil kembali bergelayut manja di bahu suaminya. 

Gladis tahu, Arneta sedang ingin membuatnya cemburu. Maka ia pun memilih masuk ke dalam kamar untuk bersiap. Ada berbagai rencana yang telah disusunnya hari ini, untuk membuat Arneta mundur dari gelanggang pertarungan. 

Dalam waktu setengah jam, penampilan Gladis sudah berubah. Ia memakai setelan kantor lagi seperti dulu. Wajahnya pun telah dipoles dengan ayu. Tidak tebal, tapi terlihat elegan dan menambah aura kecantikannya. 

Mengambil tas mewah yang belum lama dibelinya, ia segera melangkah keluar. Tak lupa disambarnya kunci mobil yang ada di meja. Ia hampir bertabrakan dengan Haris di depan pintu. 

"Dis, kamu rapi sekali. Mau kemana?"

"Om Dev minta aku datang ke kantor, Mas. Kamu mau bareng?"

"Eh, ng-nggak kayaknya. Neta minta ditungguin. Dia belum mandi."

"Kalau gitu, aku berangkat dulu, ya? Mobil kubawa. Kamu nggak apa pakai motor aja, kan?"

"Eh, gi-gitu, ya? Pakai motor? Oke. Nggak apa."

"Apa? Kita pakai motor? Bisa kotor rambutku nanti, Mas!" seru Arneta yang tiba-tiba muncul di dekat mereka. 

Gladis melirik madunya yang baru selesai mandi dan masih mengenakan handuk. Seperti dugaannya, rambut Arneta basah. Sekali lagi, ada perih di hati Gladis. Segera ia mencium punggung tangan suaminya, lalu melangkah ke pintu depan. 

"Hei, Gladis. Kamu aja yang pakai motor, dong. Kamu sendirian, kan? Sementara aku dan Mas Haris berangkat berdua. Jadi biar kami yang bawa mobil."

Gladis menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke belakang.

"Maaf, ini mobilku. Kamu mau pakai mobil? Beli aja dulu. Assalamualaikum."

Arneta terpana mendengar jawaban Gladis. Ditatapnya punggung perempuan itu yang langsung menghilang di balik pintu. Ia langsung menghentakkan kaki ke lantai dan berteriak. 

"Kamu ini gimana, Mas? Masa diem aja digituin? Itu mobil kamu, kan? Harusnya kamu yang pakai. Bukan Gladis."

"Itu memang mobil Gladis," jawab Haris datar.

"Ya, tapi kamu yang beliin buat dia, kan? Kamu juga berhak buat pakai, dong."

"Nggak, Net. Mobil itu dibeli Gladis saat kami belum menikah. Bukan aku yang belikan."

"Hah? Jadi kita beneran naik motor ke kantor? Gimana dengan rambutku? Dandananku?"

"Udah, cepatlah berkemas. Kita telat."

***

Ditunggu komennya ya
Jangan lupa tap love di bawah ya
Salam sehat