10
Jangan lupa berlangganan dan follow akun saya, biar dapat notif tiap update bab baru.


Ada yang Aneh Denganku


"Ehm … tanda itu--"



"Ekhem, ini Sayang." Pak Arik meletakkan satu buah gelas di hadapan istrinya. Untunglah laki-laki itu segera datang di saat aku kebingungan. Ia menatapku seolah bertanya ada apa, tapi aku tidak bisa menjelaskan bagaimana menjawabnya, karena Alisa tidak melepaskan tatapannya dariku sedetik pun.  



Entah apakah Pak Arik sengaja atau tidak, ia selalu mengajak Alisa ngobrol sepanjang sarapan berlangsung. Bahkan ia selalu mengubah topik saat Alisa kembali membahas malam pertama kami, dan caranya itu ternyata berhasil membuat Alisa melupakan pertanyaannya tersebut. Aku tak peduli jadi terabaikan dan seperti angin lalu yang tidak dianggap oleh mereka saat mereka bicara tidak melibatkanku, yang jelas ada kelegaan karena telah terbebas dari pertanyaan menjebak Alisa.


***


"Dari mana dapat baju ini?" Aku dan Alisa berada di dalam kamar. Ia memintaku berberes karena kami akan segera pulang ke rumah saat ini juga. Yaitu ke rumah yang disediakan Alisa untukku tinggal sementara ini.



Sorot matanya mengarah ke pakaian yang saat ini kukenakan.



"Oh, ini … beli Kak," jawabku ragu.



"Saya lupa bawa pakaian ke sini dan--"



"Dan itu memang disengaja," sela Alisa membuatku terdiam dan menatapnya penuh keheranan.


Alisa menyeringai. 


"Aku sengaja membawamu ke sini buat menikah, dan sengaja pula tidak memberitahukannya padamu. Aku yakin kamu pasti akan bertanya panjang lebar, dan aku malas menjawabnya." Alisa berjalan menuju sudut kamar. 


"Malam tadi tidak terjadi apapun 'kan diantara kalian berdua?" tanya Alisa yang berdiri di depan lemari pakaian. Ia membukanya dan menyorot tatapannya ke dalam lemari tersebut dengan menaikkan satu alisnya.



Aku tidak bisa berkutik karena tebakannya benar. Itu pasti karena jumlah pakaian kurang bahan yang ada di dalamnya tersebut masih lengkap. satupun tidak keluar, dan masih tergantung rapi di sana. Seharusnya kuambil satu dan meletakkannya asal saja, seolah pernah dipakai. Lagipula aku tidak menyangka Alisa akan datang sepagi ini. Sedari awal ia datang, juga sudah menelisik penampilanku. Mungkin memastikan penampilanku ini apakah ada yang perubahan atau tidak setelah melewati malam yang sering disebut orang, malam pertama. Nyatanya tidak.



"Kamu tidak bermaksud ingin menjadi nyonya Arik seutuhnya kan?" Tuduhannya membuatku melongo.



"Apa?" jawabku menautkan kedua alis.



"Kalau tidak ingin dituduh begitu, maka cepat selesaikan tugasmu. Tidurlah dengan suamiku dan berikan kami anak."


"Setelah itu, urusan kita selesai," lanjutnya menatapku galak.


Tidak semudah itu Bu Alisa terhormat. Aku bukan pelac*r yang bisa "main" cepat dengan lelaki manapun. Aku punya hati dan rasa, dan aku mengandalkan keduanya untuk melakukan hubungan tersebut. Lagipula aku belum pernah melakukan yang begituan seumur hidupku. Jadi tolong maklumi dan beri aku waktu. 


Sayang perkataan itu hanya mampu kurangkai dalam hati, tapi tidak mampu terungkap lewat lisan.



"Maaf, malam tadi aku kelelahan, dan tidur lebih awal. Mungkin karena itulah Pak Arik--"



"Jangan panggil Pak Arik, dia bukan atasanmu, tapi suamimu saat ini. Panggil saja namanya seperti aku memanggilnya."



"I--iya," jawabku. Semoga Alisa tidak marah kalau dia tahu aku sudah memanggil suaminya dengan panggilan mas, bukan nama seperti yang ia sebut. 



"Ya, aku ada meneleponnya tadi malam dan ia menyelamatkanmu dengan berbohong padaku."



Jadi benar tebakanku kalau yang dibahas mereka malam tadi soal itu.


"Kamu ingin cepat terbebas bukan dari perjanjian ini?" Alisa menatapku, dan kujawab dengan anggukkan kepala.


"Karena itulah jangan pernah menunda hubungan tersebut."


"Bagaimana? Sudah beres?" Pak Arik menyela pembicaraan kami. Ia sudah berdiri di depan pintu, dan menatapku dan istrinya secara bergantian. Lagi-lagi kedatangan Pak Arik menyelamatkanku dari omelan istrinya. Aku tidak tahu apakah ia mendengar pembicaraan kami atau tidak.


"Sudah. Tidak banyak yang dibawa Luna," tatap Alisa padaku. "Ayo kita pulang!" Alisa menghampiri suaminya dan menggandengnya keluar dari kamar ini. Pak Arik hanya menatapku sebentar, sebelum meninggalkanku sendiri.


***


Sepanjang perjalanan aku memejamkan mata seolah tertidur. Pak Arik yang menyetir mobil, ditemani Alisa yang duduk di sampingnya. Perjalanan dari hotel ke rumah kuperkirakan memerlukan waktu sejam. Mungkin mereka membawaku dan memilih hotel tersebut untuk menjaga kerahasiaan pernikahan ini dari orang luar. 



"Aku berangkat kerja dulu ya," pamit Pak Arik setelah mengantarkan kami sampai depan rumah. Ia mengecup mesra kening istrinya di depan mataku. Tidak ingin menyaksikan kemesraan suami-istri tersebut, aku bergegas membuka pintunya dan berniat turun dari mobil.



"Tunggu Lun, kamu tidak ingin berpamitan juga dengan suamimu?" Alisa melemparkan pertanyaan yang mengagetkanku.


"Hah?" seruku terhenti menarik handle pintu mobil.


Berpamitan? Memangnya aku harus pamit bagaimana? 


"Rik, cium juga kening istrimu itu biar adil. Kan sekarang istrimu tidak hanya aku, tapi ada juga Luna," tukasnya melihatku cuma diam. Aku sampai membulatkan mata, melongo karena kaget mendengar pernyataan Alisa barusan. Aneh, aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Alisa tidak konsisten dalam bersikap. Di satu sisi ia tadi marah dan menuduhku ingin merebut suaminya, dan di sisi lain, ia yang mendorongku dan Pak Arik untuk lebih dekat seolah mengizinkan kami untuk selayaknya menjadi suami-istri sungguhan.



Pak Arik tanpa sungkan memajukan badannya ke arahku yang duduk di kursi belakang. Entah kenapa badanku pun refleks maju juga dengan menundukkan pandangan. 


Cup! Sebuah kecupan singkat mendarat di keningku. Ini kali kedua ia mengecup keningku dan rasanya masih sama, hatiku selalu berdebar saat terjadi sentuhan diantara kami. Namun aku menyangkal kalau itu perasaan suka, apalagi cinta. Jujur, mungkin ini karena untuk pertama kalinya aku disentuh lelaki lain.


"Aku pamit," ucapnya datar, tidak ada kemesraan sama sekali, kemudian ia menyunggingkan senyum. Sayang senyum itu bukan untukku, melainkan untuk Alisa yang duduk di sampingnya. Aku bergegas turun untuk menghindari perasaan aneh yang muncul di hati.


"Lun!" Aku menoleh ke belakang. Alisa memanggil.


 "Bersiaplah karena sejam lagi kita akan pergi." Aku yang sudah berdiri di depan pintu kamar, hanya mampu menganggukkan kepala, isyarat setuju. Semua hak berkeinginan sendiri sudah hilang sejak mengikat janji dengannya. Sekarang, Alisa-lah yang mengatur hidupku. Aku harus bagaimana dan seperti apa, semua atas perintahnya.


***

Salon? Aku bertanya dalam hati kala kami telah sampai di sebuah bangunan bernama Linka Spa & beauty.


"Kita harus merawat diri agar suami tidak pernah berpaling. Harus selalu ada budget untuk yang satu ini, dan ingatkan Arik untuk selalu mentransfer bulananmu." Lagi-lagi Alisa bersikap baik padaku. Ia menggandeng erat tanganku layaknya seorang saudara. 


Kami disambut ramah oleh karyawan salon tersebut. Alisa bahkan memesan paket khusus treatment untukku. Aku ingin menolak, tapi tidak bisa. 



"Selesai. Bagaimana hasilnya? Mbak suka?" tanya karyawan salon tersebut padaku, setelah melewati rangkaian perawatan dan diakhiri dengan mengubah tatanan rambutku. Kulihat sosok baru di depan cermin.



Cantik. Aku memuji diri sendiri. Itu seperti bukan diriku. Dari rambut, make up, sampai pakaian yang kukenakan telah mengubah wujudku dalam sekejap.


Aku menganggukkan kepala. Karyawan salon itu tersenyum senang. 


"Suka kan?" tanya Alisa setelah kami berada di dalam mobil.


"Terima kasih Kak, tapi kenapa Kak Alisa tidak ikut treatment?"


"Aku sudah sering. Baru tiga hari yang lalu ke sini. Salon ini langgananku. Nanti juga bakal jadi langgananmu."



Aku hanya tersenyum tipis. "Itu tidak mungkin, Kak. Harganya terlalu mahal."



"Tidak. Aku yakin kamu ke sini lagi," ucapnya begitu yakin.


Setelah dari salon, kami tidak pulang, melainkan singgah di sebuah butik. Aku takjub dengan isinya. Berbagai model pakaian terlihat mewah dan indah di sana, sesuai dengan harga yang ditawarkan. Ini adalah butik langganan Alisa juga. Ia membelikanku beberapa helai pakaian, tepatnya gaun pesta atau acara formal lainnya. Aku menolak, tapi dia bilang ini adalah hadiah pernikahan untukku. Sebenarnya aku takut dengan semua kebaikan Alisa. Aku takut ia semakin mengikatku dengan kebaikannya tersebut.


Sore menjelang malam, baru kami pulang. 


"Pakai yang ini, pasti cantik di badanmu?" Alisa menyodorkan sebuah dres selutut. Dres simpel motif bunga yang cocok dipakai di rumah. 


"Jangan pakai setelan piyama tidur. Arik takkan tergoda melihatmu. Kalau bisa kamu sedikit agresif, jangan pasif mengharapkan suamiku yang mulai," usulnya.



"Tapi Kak, aku--"


Alisa meletakkan telunjuknya di atas bibir, memintaku diam. Dia menolak mendengar alasanku. Aku hanya mampu mendesah pasrah. 



Setelah makan malam aku masuk kamar. Pak Arik belum juga datang. Kata Alisa sebentar lagi suaminya itu akan pulang. Paling lambat diatas jam sebelas. Alisa juga mengatakan akan menginap di sini. Aku senang mendengarnya, itu artinya Pak Arik pasti di kamar mereka, bukan ke kamarku.


Suara ketukan membuatku menegakkan badan. Dengan ragu aku beringsut turun dari tempat tidur dan membuka pintunya.


Alisa. Syukurlah bukan Pak Arik.


"Ini, aku bawakan air putih hangat. Bagus di minum sebelum tidur." Alisa membawa nampan dengan segelas air putih hangat di atasnya.


"Terima kasih," ucapku. Segelas air putih hangat tersebut kuletakkan di atas nakas.


"Diminum sekarang biar langsung tidur. Aku juga begitu setiap ingin tidur," pintanya hingga aku berjalan menuju nakas dan meraih gelas tersebut.



Airnya kuminum sampai tandas. Rasanya agak sedikit aneh, seperti bukan air putih yang biasanya kuminum. Namun masih enak diminum.


"Sini gelasnya, biar kutaruh ke dapur." 


"Kak Alisa tidak perlu repot. Aku bisa sendiri, jadi nggak enak," ucapku sungkan.



"Tak perlu sungkan, kita sudah jadi saudara. Aku hanya berharap pilihanku tidak salah karena sudah memilihmu," balasnya membuatku tertegun.


Setelahnya, aku kembali merebahkan diri ke tempat tidur. Namun entah kenapa rasanya sulit memejamkan mata. Hawa ruangan ini juga terasa jadi panas. Segera kuraih remot AC dan menurunkan suhu dinginnya. Belum sempat meraih remot, terdengar pintu kamarku diketuk kembali.



Kak Alisa, apalagi yang diinginkannya? Pikirku bergegas ingin membuka pintunya.


"Pak Arik?" gumamku lirih, terkaget dengan kedatangannya. Ia terlihat begitu berbeda. Tampak menggoda, padahal hanya mengenakan atasan kaos dan celana pendek selutut. Aku menggelengkan kepala menepis pikiran jorok dibenakku.


"Alisa memintaku tidur di sini," ucapnya berjalan cepat menghampiri tempat tidur.


Aku ingin mengunci kamar, tapi kuncinya tidak tergantung di lubang kunci. Heran, seingatku masih ada di sana.



"Nyari apa?" tanyanya kemudian.


"Kunci," sahutku bergerak tidak tenang. Rasanya gelisah. Ada sesuatu yang aneh pada diriku.


"Kamu kenapa?" Pak Arik bertanya kembali.


"Itu … anu, itu … kuncinya," aku tergagap dan sulit menjelaskan. Kucengkeram kuat lengan Pak Arik untuk mengendalikan sesuatu yang liar di dalam tubuhku. Namun karena tak kuat aku malah menariknya ke dalam dekapan.


"Luna, kamu …, kamu mau apa? Lepas, Lun. Ingat perjanjian kita, bukankah kamu ingin bebas." Pak Arik mengurai paksa pelukanku dan menarikku ke tempat tidur.


"Kamu duduk di sini, dan jangan sekali-kali mendekatiku. Gigit bantal ini kalau tidak kuat. Jangan sampai aku khilaf," ujarnya memaksa.


"Tapi Pak," bantahku.



Aku tidak mengerti apa maksud Pak Arik, yang sekarang kuinginkan adalah memeluknya dan ingin sesuatu yang lebih. 


"Sial," umpatnya pelan ketika ingin membuka pintu tapi tidak bisa dibuka. Seperti terkunci dari luar.




_______


Luna kenapa ya? Komen yuk,mau bagi komas lagi. Kalau ada yang menebak part selanjutnya dengan benar dapat komas. Apa yang bakal terjadi nantinya? Dan apa yang akan dilakukan Pak Arik?