Perjodohan
Sekeras apa pun Naomi ingin bertahan, takdir tetap tak bisa diubah. Yang pergi akan meninggalkannya sedangkan yang sudah digariskan datang akan menemuinya.

Mata Naomi masih sembab ketika ia berkaca. Riasan tipis yang ia kenakan tak mampu menyembunyikan kegalauan pada wajah gadis itu.

“Jangan cemberut seperti itu, kamu harus terlihat bahagia, Sayang ... Mama dan Papa sudah memilihkan calon terbaik untukmu. Kami yakin dia orang yang pantas dibandingkan mantan pacarmu itu …”

Sarah bahagia mendengar putrinya sudah putus dengan lelaki yang tidak ia suka, karena itu ia ngotot melakukan pertemuan keluarga malam ini. Lelaki yang hendak dijodohkan dengan Naomi adalah putra dari sahabatnya sendiri.

“Senyum, dong …” Kedua tangan wanita itu menangkup pipi Naomi dan menghadapkan wajah cantik itu ke arahnya. “Nah, gitu … kan jadi lebih manis!” pujinya ketika kedua sudut bibir Naomi tertarik ke atas. 

“Ngomong-ngomong, kalian pernah ketemu, lo …” Naomi menatap tak percaya ke arah mamanya. Wanita itu tersenyum lembut dan mengelus lengannya. “Penasaran, kan? Kita turun sekarang, ya?”

Naomi mengangguk ragu, mengikuti mamanya turun ke lantai satu. Meskipun tidak terlalu jelas, ia bisa melihat sebagian wajah lelaki yang diyakini sebagai calonnya itu dari ujung tangga. “Kayaknya, aku belum pernah ketemu sama dia, Ma. Wajahnya asing.”

“Ya, jelas dong … kalian kan ketemunya pas umur dua tahun.” 

“Ih, Mama!” sebal Naomi, mencubit lengan mamanya.

Sarah tertawa kecil. “Udah, ah … yuk, ke sana!” Mereka pun kembali berjalan mendekati ruang makan. 

“Ah, itu dia … anak gadisku yang cantik.” Hiro Takashi menyapa Naomi dan istrinya ketika kedua wanita itu tiba.

Naomi tak berani mengangkat wajah namun merasakan beberapa pasang mata terus mengawasi gerak-geriknya. Ia duduk dengan canggung sambil tetap menunduk.

“Naomi, kamu cantik sekali … Lebih cantik dari mamamu waktu masih muda,” puji seorang wanita yang Naomi yakini sebagai calon ibu mertuanya. 

Naomi menegakkan kepalanya pelan-pelan sambil tersenyum. “Makasih, Tante.”

“Tidak salah kami memilihmu untuk putra kami, kalian benar-benar cocok.” Suara berat itu menimpali komentar wanita tadi. 

Semua orang tertawa sebagai basa-basi perkenalan itu, kecuali wajah dingin yang berhadapan tepat di depan Naomi.

Gadis itu tersentak ketika mata mereka bersirobok. Naomi mengira lelaki yang akan dijodohkan dengannya berwajah oriental seperti kebanyakan pria Jepang lain, tapi ia salah. Calon suaminya sama sekali tidak memiliki wajah Jepang. Sama sekali tidak mirip Mackenyu Arata seperti Naito. Eh, mengapa pula wajah pria genit itu terlintas di otaknya?

Naomi mencoba mengulum senyum pada pria tampan bermata amber itu namun tidak mendapat reaksi apa pun. Pria itu menyorot dingin. Bibir tipisnya tak bergerak walaupun Naomi yakin bila lelaki itu tersenyum sedikit saja, pasti ketampanannya akan bertambah berlipat-lipat.

Akhirnya, gadis itu memilih menunduk lagi, mendengarkan setiap percakapan yang berdengung di sekitarnya. Ia terlalu takut atau bahkan akan pingsan bila kelamaan memandang pria yang begitu menakutkan.

“Ayo, kita langsung makan aja, keburu dingin!” seru mama Naomi, mempersilakan tamunya menikmati hidangan. 

Mereka kemudian sibuk dengan menu masing-masing sambil mengobrol banyak hal meskipun lebih banyak membahas tentang bisnis.

Dari pembicaraan yang beraneka macam itu, Naomi mengetahui bahwa calon suaminya bukanlah keturunan Jepang. Ia anak tiri Hiroshi Naoki, calon ayah mertuanya. 

Nama pria itu, Daniel Arga Sanjaya. Sejak lulus SMA melanjutkan pendidikan di Swiss – negara asal almarhum ayah kandungnya. Ia pulang untuk melanjutkan memimpin perusahaan ayah tirinya yang bergerak di bidang otomotif.

“Wow, hebat sekali kamu, Nak Arga!” Hiro terlihat bangga ketika mendengar profil calon menantunya, tapi tidak dengan Naomi yang menganggap informasi itu seperti angin lalu. 

Di pikirannya masih terbayang sosok Imam, lelaki yang sudah memenangkan hatinya namun besok akan menjadi milik wanita lain. 

“Tante berharap kamu dan Arga bisa semakin mengenal satu sama lain,” ucap wanita yang baru saja Naomi ketahui namanya sebagai Nadia. “Arga orangnya memang pendiam, jadi kamu harus banyak sabar, ya, Naomi.”

“Pendiam malah lebih bagus, Jeng … daripada banyak ngomong kayak Naomi.” Sarah menatap putrinya yang sontak cemberut ke arahnya. “Loh, emang bener kan kamu itu cerewet?” tanggapnya terhadap reaksi gadisnya. Sebagai jawaban, Naomi mencubit pinggang ibunya dengan gemas hingga membuat Nadia tertawa kecil. 

Makan malam berlangsung hangat. Kedua keluarga merasa bahagia telah membuat keputusan tepat dengan menjodohkan anak-anak mereka. 

Tak ada yang memikirkan perasaan gadis berjilbab maroon yang sedang mengaduk-ngaduk makanannya. Jika saja orang tuanya tak pernah punya hutang budi dengan keluarga itu, mungkin Naomi dengan ringan hati akan menolak hubungan ini.

Sesekali gadis itu melirik ke arah Arga yang tampak tidak peduli dengan obrolan di sekitar. Sejak tiba di ruang makan, ia belum mendengar suaranya. 

Pria itu hanya menanggapi setiap pertanyaan yang terlempar padanya dengan anggukan dan senyum samar. 

Mungkin Arga tidak suka dengan perjodohan ini, sama seperti dirinya yang sebenarnya menolak mentah-mentah.

*** 

“Apa kau tidak suka dengan perjodohan ini?” Suara itu membuat Naomi tersentak ketika ia sedang asyik menatap bulan dari balkon kamar atas. 

“Kau, kenapa bisa ke sini?” Naomi bertanya balik, heran mengapa orang asing seperti Arga dengan mudah berkenala di ruang pribadinya. 

“Aku sudah mengetuk pintu tapi nggak ada jawaban. Jadi terpaksa masuk,” jelasnya sambil berjalan mendekati Naomi. Kedua tangan pria itu dimasukkan saku ketika ia berhenti lima langkah dari gadis itu. Arga memerhatikan calonnya itu dari atas hingga bawah dengan senyum meremehkan. “Aku heran kenapa Mama ngotot ingin menikahkanku dengan wanita yang nggak punya sopan santun sepertimu, ninggalin tamu begitu saja ..."

Naomi terperangah. Bukan hanya bermuka jutek, tapi Arga juga tukang nyinyir. Mereka baru pertama kali bertemu tapi lelaki itu sudah berani berkata seperti itu? 

Ini gila!

“Yang nggak sopan itu kamu, main nylonong aja!” Sejujurnya Naomi hanya jengah berada satu ruangan dengan manusia batu seperti Arga, jadi ia mencari-cari alasan untuk memisahkan diri dari obrolan yang menurutnya tidak menarik. 

“Tante menyuruhmu turun," ucapnya seraya memutar tubuh, namun ia kembali mengahadap Naomi. "Oh, ya ... Ada lagi, kau bukan tipeku, jadi jangan terlalu berharap!" 

“Kau pikir kau pria yang sempurna, begitu?” Naomi berteriak kesal, mengiringi langkah Arga yang berjalan keluar kamar. 

*** 

Mobil sedan itu membelah gerimis dengan kecepatan sedang.

Arga menatap keluar jendela sembari menyangga dagu. “Bagaimana Naomi menurutmu?” tanya Nadia lembut. 

Pria itu melirik ibunya sekilas. “Akan kupertimbangkan,” sahutnya enteng.

Senyum Nadia pun merekah. “Mama harap kamu menyukainya.” 

***


Kali ini saya akan membagikan beberapa kata tanya dalam bahasa Jepang.

Kalau tadi Naomi bilang “Nani?!” maka dia menunjukkan keterkejutan sekaligus jengkel pada Naito yang menganggunya.

Nani sendiri berarti APA? Di kalimat tadi bisa diartikan “Apa sih?!”

Biasanya untuk menanyakan sesuatu, maka kalimat akhir dalam bahasa Jepang di akhiri dengan huru “ka”, untuk lebih sopannya dengan “desuka?” atau kalau kata kerja memakai “masuka?”

Contoh kalimat tanya, “Kore wa nan desuka?” artinya “Ini apa?”

Selain “Nan” ada kata lain yaitu:
- Dore = yang mana?
- Dare = siapa?
- Doushite? = mengapa?
- Doko = di mana?
- Nande = mengapa?
- Itsu = kapan?
- Douyatte = gimana caranya?
- Dou desuka = gimana?
- Dochira = yang mana?