Senja semakin memudar ketika Naomi sudah jauh dari tempat tinggal Imam. Ia tidak langsung kembali ke hotel dan memilih jalan-jalan di Merlion Park. Gadis itu butuh udara segar agar paru-parunya yang sesak kembali tenang.
Usai melaksanakan salat maghrib di sekitaran sana, Naomi duduk menikmati lautan yang terhampar di hadapannya.
Pantulan lampu dari gedung Marina Bay Sand tampak menyilau di permukaan laut yang tenang, sedangkan patung Merlion di lain sisi berdiri gagah, menyemburkan air yang tak henti dari mulutnya.
Pandangannya mengedar sesaat, menembus kegelapan yang seolah tak berujung pada sudut tertentu. Mungkin di sanalah posisi pulau Batam berada, tempat di mana ia pernah menikmati senja bersama Imam ketika mereka liburan di Jembatan Barelang.
Malam kian menanjak namun banyak turis berdatangan. Mereka berfoto, mengambil video, atau hanya sekadar duduk-duduk sambil mengobrol santai.
Walau keramaian menyelimutinya, hati Naomi terasa sepi, sesepi kuburan di malam hari. Air hangat terus mengalir lembut dari kedua ujung mata.
Sesering apa pun ia menghilangkannya, Naomi tak kuasa menghentikan derasan peluh yang tak bekesudahan itu.
Beberapa pengunjung mulai n sambil berbisik-bisik. Sesekali ada yang menunjuk ke arah Naomi, menatap simpati.
Saat itu otak Naomi benar-benar bebal. Tak mampu menepis mendung kesedihan yang menggumpal. Ia tidak peduli dengan perkataan orang-orang di kanan kirinya.
Meskipun Naomi masih merasakan sakit yang luar biasa, tapi gadis itu tidak bisa mengelak dari takdir yang sudah dikehendak-Nya.
Naomi harus mulai mengerti bahwa Imam hanyalah seseorang yang mampir sebentar, tak bisa dipaksa untuk tetap tinggal ...
***
Naomi memandang ke luar jendela kafe, menatap kosong lalu lalang orang di jalan. Ia sengaja memalingkan wajah untuk menghindari tatapan menusuk dari Rara, sahabatnya, yang sedari tadi tak henti menginterogasi.
Sejak seminggu lalu gadis itu sudah tiba di kota tempat kelahiran ibunya. Ingin menenangkan diri, menyepi di desa bersama neneknya yang tinggal sendirian.
Naomi adalah satu-satunya cucu perempuan di keluarga besarnya. Dan itulah yang membuat neneknya sangat memanjakan gadis itu.
Bus Mustika jurusan Jogja-Semarang menepi di depan Mal Artos. Kornetnya turun mencari penumpang sambil berteriak-teriak, namun hingga sepuluh menit ngetem, hanya dua pengamen yang menaikinya.
Banyaknya orang yang telah memiliki kendaraan pribadi mengakibatkan transportasi umum di Kota Magelang semakin kekurangan penumpang. Angkutan yang biasa penuh dengan anak sekolah pun kini sering terlihat kosong melompong.
Anak-anak itu lebih suka memakai motor, atau diantar jemput oleh orang tuanya menggunakan kendaraan roda dua tersebut. Selain karena hemat uang, pun tidak banyak waktu yang terbuang.
“Naomi?!” gertak Rara dengan suara lebih keras.
Shintya, salah satu sahabat Naomi yang lain hanya bisa menahan napas mendengar Rara yang dirasa sedikit berlebihan.
Mereka sedang berada di kafe yang cenderung tenang tapi Rara tanpa malu berteriak seperti orang kesurupan. “Apa lo masih mengharapkannya?!”
Sejak tinggal di Jakarta, Rara terkena virus bahasa ibu kota. Waktu pertama kali Naomi dan Shintya mendengarnya mereka terbahak karena logat Rara masih terdengar medok. Sekarang, semedok-medoknya Rara berucap, tidak berpengaruh pada suasana hati Naomi.
Karena tidak terdengar jawaban dari sahabatnya itu, Rara melanjutkan, “Lupakan kutu busuk itu, Naomi. Lo nggak bisa terus-terusan kayak gitu ... Lo masih punya masa depan panjang. Sia-sia jika waktu lo dihabisin buat mikirin orang yang nggak mau sama elo!”
Telinga Naomi memanas mendengar kata “nggak mau” di akhir kalimat Rara. Hatinya berdesir ngilu, entah karena marah atau malu mengakui dia bukanlah orang yang diinginkan Imam.
Tapi … meskipun gadis itu sudah tidak diinginkan, apakah ia tidak boleh masih berharap? Bukankah takdir itu bisa diubah dengan doa? Mungkin saja saat Naomi terus meminta Imam menjadi jodohnya Tuhan akan mengirimkan lelaki itu kembali padanya, kan?
“Dengarkan aku!” Rara mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arah Naomi. Tangan gadis berjilbab hitam itu sigap memutar kepala Noami menghadap ke wajahnya. “Pikirkan semua kejelekan tentangnya. Dengan begitu, lo akan semakin benci dan lebih mudah melupakannya, oke?”
Naomi tetap diam. Shintya di sampingnya malah menggeleng-geleng, tidak setuju dengan saran Rara. Dia tahu hati Naomi terlalu lemah untuk dipaksa melupakan seseorang yang sangat dicintai.
Naomi bukanlah robot yang bisa diatur semaunya. Tidak ada tombol-tombol yang bisa membuat gadis itu mengubah perasaan dari baik ke buruk, atau sebaliknya dari buruk ke baik dalam waktu singkat.
“Sudahlah, Naomi butuh waktu untuk menenangkan diri. Kita nggak boleh maksa.” Shintya angkat bicara kemudian menoleh ke arah Naomi. “Ada baiknya kamu tau hal ini lebih cepat, Naomi. Itu berarti kamu selamat dari pembohong seperti dia,” ucapnya lembut.
“Tul ... Heran deh, kenapa lo sekarang jadi bucin banget …”
“Rara!” bentak Shintya, melotot.
Rara memalingkan muka ke arah lain. “Apa, lo?!” serunya kepada seorang anak kecil di samping meja mereka yang sejak tadi memerhatikan mereka.
“Rara, kamu udah nggak waras, ya? Kamu nakutin anak itu. Nggak lucu, tau!” Shintya menimpuk Rara dengan tas tangan miliknya.
“Siapa juga yang bilang lucu.” Rara mengangkat bahunya sebentar.
“Gimana kalau mamanya marah?”
“Biarin!”
Shintya mendesah kesal. “Dasar, tukang ngeyel!”
Kedua orang yang bersitegang tadi kemudian memilih sibuk dengan menu mereka lagi. Naomi sendiri sama sekali tidak berniat mencicipi kue di hadapannya. Pikirannya masih berputar tentang Imam, Imam, dan Imam …
Ia tidak bisa membohongi diri sendiri karena hingga detik ini pun dirinya masih mencintai Imam.
Tapi Shintya benar. Setidaknya ia tahu lebih cepat jika lelaki itu memiliki wanita lain di hatinya. Dengan begitu, Naomi bisa terhindar dari luka yang mungkin lebih parah.
Tiba-tiba Naomi duduk menegak dengan mata melebar ketika otaknya teringat sesuatu. Rara dan Shintya pun menolehnya bersamaan. “Oboeta!” ucapnya sebelum kedua sahabatnya itu bertanya.
“Mau ke mana?” Rara bertanya ketika Naomi berkemas.
“Ke rumah Imam,” balas Naomi cepat sambil meletakkan lembaran merah di meja. “Aku pergi dulu dan jangan ikuti aku!”
“Hei hei hei, ih … dasar Naomi!”
“Bukankah Imam di Singapura?” Shintya ikut memandangi tubuh Naomi yang semakin menjauh,
“Sudah pulang, katanya mau tunangan,” sahut Rara. Kedua orang itu saling menatap dan mendesah bersamaan, berharap semua akan baik-baik saja.
***
Oboeta! Bentuk biasa atau kamusnya adalah oboeru yang artinya teringat.
Dalam percakapan tadi Naomi refleks berkata “Oboeta!” – aku baru ingat, kira-kira begitu artinya, ya …
Lalu, kenapa akhirannya jadi –ta, karena ini bentuk lampau.
Pada umumnya, setiap bahasa ada kalimat bentuk sekarang, lampau, atau yang akan datang.
Untuk lebih mudahnya present, past, dan future. Dalam bahasa Jepang pun demikian. Nah, biar jelas saya kasih contoh;
- Tempe wo tabemasu (bentuk sopan), tempe wo taberu (bentuk biasa) = saya makan tempe.
- Tempe wo tabemashita (bentuk sopan), tempe wo tabeta (bentuk biasa) = saya baru saja makan tempe.