MOBIL SUAMIKU DI GARASI BU LURAH
PART : 7
POV RAMLAN
"Pak Ramlan!" panggil Bu Marni yang baru sebulan ini menjabat sebagai Lurah dan aku adalah sekretarisnya.
"Ya, Bu."
"Tolong ke ruangan saya sekarang, ya," titah lurah wanita bertubuh semok itu.
"Baik, Bu," Aku beranjak meninggalkan komputer di hadapanku dan bergegas berjalan menuju ruangan Lurah Marni.
Hampir saja bola mata ini ke luar dari sarangnya, saat melihat Bu Marni mengangkat sebelah kaki dan menopangkannya di atas paha kanan yang putih mulus nyaris tanpa cacat.
"Ramlan, silakan duduk!"
Aku terkesiap malu. Mati aku! Jangan sampai Lurah Marni menyadari aku tengah memperhatikan paha mulusnya tadi.
"Baik, Bu," Aku segera menarik kursi dan meletakkan bokong di atasnya.
Lurah Marni berjalan menghampiri tempatku duduk dengan selembar kertas di tangannya.
"Ini adalah data-data warga yang akan diserahkan hari ini ke Bansos, Pak," Lurah berusia hampir empat puluh tahun itu menunduk di sampingku.
Lagi-lagi aku harus meneguk ludah, saat menoleh dan mendapati belahan dada yang terlihat, karena dua buah kancing atas yang terbuka atau sengaja dibuka. Entah lah. Yang pasti aku cukup menikmatinya meski akhirnya segera kupalingkan wajah.
"Kenapa, Pak Ramlan?" tanya Lurah Marni heran.
Aku menggeleng. "Tidak apa-apa, Bu."
Sepertinya Lurah Marni menyadari arah tatapanku tadi, dan langsung mengancingkan baju batiknya.
"Maaf maaf, Pak Ramlan. Sepertinya baju batik saya ini sudah minta diganti. Karena mulai terasa sempit."
Aku hanya tersenyum serba salah. Bingung hendak menanggapi apa.
"Oh ya, biasanya Bapak makan siang di mana?"
"Saya biasa makan siang di kafe yang tak jauh dari sini."
"Oh begitu. Bagaimana kalau kita makan siang bareng? Kebetulan saya sudah lapar karena tidak sempat sarapan tadi pagi."
Mataku membelalak mendengar tawaran Lurah seksi ini. Duh, bagaimana ini, aku sudah ada janji hendak makan siang dengan Elma dan Shafa. Apa kubatalkan saja?
"Ayo lah, Pak Ramlan. Jangan kebanyakan mikir. Saya yang traktir deh. Berhubung kita sekarang kan tim," bujuk Lurah Marni.
"Baik lah, Bu. Tapi, saya kabarin istri saya dulu. Soalnya tadi sudah telanjur janji mau makan siang bareng juga."
"Wah, Pak Ramlan ini sayang keluarga juga ya. Saya jadi iri."
"Memangnya suami Ibu ke mana?"
"Suami saya jarang pulang, Pak. Dan saya belum punya anak."
"Oh, maaf, Bu. Saya tidak tahu."
"Tidak apa-apa, Pak Ramlan. Yuk, kita pergi sekarang. Saya sudah lapar sekali ini."
"Baik, Bu. Saya kirim whatsapp dulu ke istri saya ya."
__
Sesampai di sebuah kafe yang menjadi langgananku untuk makan siang, segera kupilih meja yang terletak di bagian sudut.
Mataku memindai sekeliling. Huuufff, kuhela napas panjang. Untung saja, tidak ada pegawai kelurahan yang makan di sini hari ini. Biasanya, mereka juga sudah terlihat ramai nongkrong di kafe yang menjual makanan asli indonesia ini.
Segera kulambaikan tangan untuk memanggil salah satu pelayan. Kemudian memesan beberapa menu.
"Terimakasih sudah mau menemani saya makan siang, Pak Ramlan."
Dadaku seketika berdesir tatkala lurah berkulit putih bersih itu, meletakkan tangannya di atas tanganku.
"I-iya, Bu. Sama-sama. Saya juga sangat berterimakasih karena Ibu sudah mau mentraktir saya."
"Kalau lagi berdua begini, jangan panggil Ibu lah. Kesannya terlalu formal dan tua. Memangnya saya sudah terlihat tua ya," ujarnya keberatan.
"Tentu saja tidak. Ibu masih sangat muda dan cantik. Hanya saja, Ibu kan atasan saya."
"Halah," Lurah Marni mengibaskan tangannya di depan wajah. "Itu kan kalau di kantor saja. Kalau di luar begini, anggap saja saya teman. Panggil saja Marni."
"Baik lah, Bu, eh, Marni."
Marni tergelak mendengar kegugupanku.
"Dan aku panggil kamu Ramlan ya. Biar kelihatan lebih akrab," tambahnya lagi.
"Tidak masalah, Marni," Ketegangan tadi perlahan sudah mulai mencair.
Kami makan siang dengan diselingi tawa. Marni ternyata orang yang sangat asyik dan menyenangkan.
___
"Mas, barusan Bu Lurah nelpon. Tapi, kenapa panggil kamu Sayang, sih?" tanya Elma--istriku.
Mati aku! Kenapa Si Marni sampai menelepon sih? Padahal aku sudah wanti-wanti untuk tidak menelepon duluan.
"Ah, mungkin salah sambung, Sayang. Sudah, tidak usah dipikirkan," jawabku sambil mengenakan kemeja putih. Malam ini, kata Marni rapat tentang dana Bansos dimajukan jadi malam ini.
"Kamu mau ke mana lagi, Mas? Baru juga pulang," selidik Elma lagi.
"Ada rapat dana Bansos, Sayang."
"Malam-malam begini?"
"Iya."
Elma tertunduk diam dengan Shafa--putri kecilku di gendongannya.
"Sudah lah. Jangan berpikir macam-macam. Aku tidak mungkin menduakanmu. Aku pergi dulu ya," Kulayangkan sebuah kecupan ke dahinya kemudian berlalu pergi.
Sesampai di rumah Marni, aku heran, karena tidak ada tanda-tanda keramaian pegawai kelurahan di sana. Apa aku yang datangnya terlalu awal atau bahkan sudah bubar?
Marni setengah berlari membukakan pintu untukku dengan menggunakan kimono tidur.
"Masukkan saja mobil kamu, Ramlan."
Kuturuti perintahnya dengan memasukkan mobil dan berhenti tepat di belakang mobil mini sedan milik wanita berambut panjang itu.
"Ayo, masuk," Marni menggaet tanganku hingga masuk ke ruangan bagian tengah rumahnya.
"Maaf, ternyata rapatnya besok, bukan hari ini," ujarnya manja.
"Kenapa kamu tidak bilang, Mar? Istriku sampai curiga, apalagi pas kamu telepon tadi, pakai panggil sayang segala. Kan sudah kubilang-- "
"Sssttt," Marni meletakkan ujung telunjuknya di depan bibirku.
"Jangan ngomel saja. Memangnya kamu tidak rindu padaku?"
Kalau sudah begini, lelaki mana tidak luluh. Dengan pakaian seksi menggoda, ditambah kaki yang diangkat dan ditopangkan ke atas paha yang satunya lagi.
Jujur, naluri kelelakianku tergugah melihat pemandangan di depanku ini.
Entah bagaimana mulanya, akhirnya kami membiarkan setan ikut campur tangan. Dengan kesadaran yang sudah dikuasai nafsu bej*t, aku terlena dalam perbuatan terlarang, namun aku sangat menikmatinya.
***
Hadeeeh, dasar Ramlannya juga******yaa. Pengen mutilasi deh rasanya🤣
Jangan lupa tinggalkan LOVE dan REVIEW BINTANG LIMA yaa.