Bab 6 - Antara Pekerjaan dan Menggagalkan Rencana

MOBIL SUAMIKU DI GARASI BU LURAH 


PART : 6


Yuk, tekan tombol berlangganan sebelum membapca. Jangan lupa follow akun juga yaa🥰


Tanganku bergetar semakin hebat dan dada bergemuruh. Kulirik Mas Ramlan yang sudah berlayar dalam mimpinya, dengan sudut mataku yang mulai mengembun.


Tega sekali dia menyakitiku seperti ini. Mendua hati dengan wanita yang terpaut usia enam tahun darinya. 


Lurah Marni memang wanita mempesona kendati berusia hampir empat puluh tahun. Selalu berpakaian dinas ketat dan rok di atas lutut. Ia berpisah dari suaminya yang kabarnya pengusaha besar. 


Suaminya itu pula yang membantu Marni untuk memperoleh jabatannya saat ini. Dan entah apa permasalahan yang memicu, hingga akhirnya mereka berpisah.


Aku tersentak dari lamunan dan kembali ke alam sadar. Tidak bisa dibiarkan. Meski pun nanti pernikahanku ini pun berujung hancur, setidaknya mereka harus menerima pelajaran dariku. 


Bisa-bisanya mereka nekat bermain api, sementara mereka tahu, camat yang tengah menjabat saat ini adalah abang kandungku.


Tunggu saja. Pelan tapi pasti, akan kubuat pembalasan untuk Mas Ramlan dan Lurah Marni. 

Tidak perlu terburu-buru. Toh, sudah tidak ada yang bisa diselamatkan. Perempuan itu sudah mengandung anak dari suamiku.



__




Matahari bersinar terang dan masuk melalui celah korden kamar, membuatku terpaksa memicingkan mata karena silau.


Jam di nakas menunjukkan pukul delapan. Mas Ramlan sudah tidak ada di sebelahku. Apa dia sudah berangkat? Mengingat pesan Lurah Marni yang menyuruhnya datang lebih awal.


Drrrttt. 


Gawai di nakas bergetar. Notifikasi pesan dari Joko--orang suruhan Bang Rizal masuk. 


[Selamat pagi, Bu. Saya dan Iwan sedang mengikuti mobil Pak Ramlan dan Bu Lurah Marni ke luar kantor setelah absen]


Tanganku menari di atas keyboard layar ponsel, untuk membalas pesan Joko.


[Ke mana mereka?]


[Belum tahu, Bu. Cuma melihat jalannya, ini menuju ke arah Bandung.]


[Ikuti saja terus. Dan informasikan ke saya.]


[Baik, Bu.]


Kuhela napas panjang. Badai resah meliputi hati dan perasaan. Apa mereka mau check in hotel atau merancang pernikahan? Atau ….


Berbagai macam terkaan menari dalam pikiran. Belum bayangan pergumulan liar mereka di video itu kembali berputar di pelupuk mata. 


Kugelengkan kepala agar bayangan permainan kotor itu enyah dari bayangan. 


"Mamaa …."


Aku terhenyak karena panggilan Shafa yang baru saja bangun dan merangkak memelukku.


Senyum simpul terukir di wajah, melihat putri kecilku itu kemudian berdiri untuk menciumku.


"Mama, cucuuu," Shafa menatapku gemas.


"Shafa mau susu?"


Shafa mengangguk.


"Ya sudah, Shafa tunggu sebentar di sini. Mama buatkan susu untuk Shafa dulu."


Shafa kembali mengangguk, lalu memeluk guling kecil berkepala monyet kesayangannya.


Aku melangkah ke ruang kecil, tempat pakaian dan koleksi sepatuku, Mas Ramlan dan Shafa disimpan. Di sana pula ada meja kecil, untuk meletakkan semua keperluan Shafa. Termasuk susu dan dispenser kecil.


Tak sengaja, tanganku menyenggol sesuatu hingga jatuh menggelinding ke lantai.


Segera kucari benda jatuh tadi. Dan alangkah terkejutnya diri ini, begitu mengetahui benda yang jatuh tadi adalah cincin pernikahan kami. Astaga, Mas Ramlan mencopot cincin pernikahan kami dari jarinya? Betapa perih dan teririsnya hati ini. 


Kutatap bayangan diri di cermin lemari,******pipi yang mulus dan tak pernah absen dari skincare jutaan rupiah. Aku tidak jelek. Hampir tidak ada perawatan yang kulewatkan. 


Begitu pun dengan tubuh. Pola makan yang sangat kujaga, agar tidak kelebihan berat badan. Penampilan pun selalu fashionable. 


Dari zaman sekolah hingga kuliah, selalu menjadi pusat perhatian teman laki-laki. Bahkan tak jarang menjadi incaran mereka.


Lalu apa lagi yang kurang dari diri ini? Suamiku masih saja melirik wanita lain, bahkan yang lebih tua dariku dan dirinya.


Tok tok tok.


"Mama."


Ketukan Shafa membuatku tersentak. Astaga, sampai lupa sama susunya Shafa.


Cepat kuusap pipi yang dibasahi oleh air mata. Kemudian ke luar menemui putri semata sayangku.


Shafa dengan semangat menyedot susunya dari botol dot bergambar lumba-lumba. Kubelai lembut rambut Shafa. Tak terasa air mata menetes lagi. Ah, benar-benar perih dan sakit hati ini.


Drrrttt drrrttt.


Ponsel berdering lagi. Dan di layar ada tertulis nama Erwin. Astaga, aku hampir saja lupa. Hari ini ada meeting dengan salah satu developer property besar.


Kugeser tombol layar ke kanan. "Halo, Win."


"Kamu sudah siap belum? Hari ini kita ada meeting dengan PT. Kharisma Group lho. Jangan bilang kamu lupa," todong Erwin.


"Iya, Win. Aku lupa. Untung saja kamu cepat menghubungiku."


"Astaga, Elma. Ini sudah jam berapa? Kita meeting jam 10 lho. Ingat, klien kita kali ini tidak suka molor," imbuh sahabatku semasa kuliah itu.


"Iya iya, Bawel. Ini aku segera siap-siap."


"Ya sudah, aku jemput atau kamu bawa mobil sendiri?"


"Kamu jemput aku di rumah saja ya. Lagi males bawa mobil."


"Oke. Aku ke sana sejam lagi. Jangan ngaret!"


"Iya, Bawel."


Sambungan telepon terputus. Segera kubawa Shafa pada Siti--pengasuhnya. Kemudian, bergegas mandi.



__



Aku tengah mempersiapkan beberapa dokumen dan berkas-berkas penting yang akan dibawa untuk presentase di depan klien nanti, saat klakson mobil terdengar. Kebetulan, ruang kerja utamaku menghadap ke jalan besar.


"Tunggu sebentar! Aku segera turun," teriakku dari jendela.


Erwin mengacungkan jempolnya.


Bergegar aku menuruni tangga. Lalu mencium Shafa yang sudah dimandikan Siti. 


"Mama berangkat kerja dulu ya, Sayang. Jangan nakal sama Mbak Siti. Bye, Sayang."


Aku masuk ke mobil sedan Erwin dan disambut sebuah senyuman.


"Morning, Elma lelet."


Bibirku mencucu. Erwin selalu memanggilku begitu, karena aku pelupa dalam segala hal.


"Morning, Bawel," balasku tak mau kalah.


Erwin tergelak melihatku mencucu. "Itu bibir atau moncong bebek ya."


Mataku membulat dan melayangkan sebuah cubitan di pinggang Erwin.


"Ampun, ampuun, Elma, sakiit, tau," Erwin meringis menahankan sakit.


"Sudah, kamu buruan jalan. Nanti kalau terlambat aku lagi yang disalahkan."


"Baik, Nyonya," sarkasnya.


Mobil melaju dengan kecepatan standar. Beruntung lalu lintas tidak macet. Jadi, mungkin sekitar lima belas menit lagi, kami segera sampai.


Tring. Dering notifikasi pesan berbunyi. Pesan dari Joko.


Cepat kubuka pesan itu. Dan ada foto Mas Ramlan bersama seorang wanita berjalan menuju tempat, yang di depannya ada pamplet bertuliskan "Kantor Urusan Agama".


[Pak Ramlan dan Bu Lurah Marni hendak mendaftarkan pernikahan di sini, Bu.]


Deg. Jantungku nyaris copot. Kuteguk ludah dan berpikir keras. Bagaimana ini? Tidak mungkin aku ke sana. Proyek kali ini sangat penting untuk kelangsungan karirku dan Erwin. 


Tapi, di sisi lain, aku harus menghancurkan rencana mereka. Ya Allah, aku harus apa?



***



Yang ingin tahu kenapa Lurah Marni bisa merasa aman di Kelurahan meski hamil dan nikah siri dengan Ramlan, tunggu saja di part berikutnya ya. Akan author buka nanti satu persatu teka teki nya.


Jangan lupa tekan LOVE dan REVIEW BINTANG LIMA nya yaa. Biar makin semangat mak othor nyaaa😘😘