Beraksi Pelan-pelan

Jangan lupa ikuti cerita dan follow akun yaa😘

PART : 3

Tanganku mengepal kuat. Lihat saja nanti, kau akan kubuat mengemis dan berlutut, karena sudah bermain-main dengan Elma Saraswati, adik dari camat yang sudah membantumu mendapatkan jabatan ini, Bang.

***

Kukembalikan gawai itu ke kantong celana jeans itu. Aku harus tetap berusaha bersikap biasa saja, kendati rasanya ingin sekali menjambak rambut Lurah Marni itu. Benar-benar wanita yang haus akan s*ks. Kabarnya ia sudah cerai dengan suaminya selama tiga tahun belakangan ini. Entah apa penyebabnya. Hanya saja kutebak paling dengan kasus dan masalah yang sama. Ia saja sudah berani menganggu suami orang sebanyak dua kali. Mungkin memang sudah menjadi sifat yang mendarah daging. Karena dulunya dia juga menjadi istri kedua dari pengusaha besar yang pantas menjadi ayahnya ketimbang suami.

Pembalasan tidak selama harus secara bar-bar. Cukup dengan tenang dan santai. Scan whatsapp Bang Ramlan sudah kupindai ke web di laptopku. Jadi, aku bisa melacak percakapan mereka dari sana. Tinggal mencari orang yang bisa disuruh untuk memata-matai gerak gerik Bang Ramlan dan Lurah Marni. Setelah itu menggerebek mereka dalam keadaan tengah bermesum. Itu sudah menjadi bola api yang siap ditendangkan, untuk membakar mereka.

Pihak instansi pemerintah tidak akan menerima laporan, jika tidak disertai bukti yang jelas. Maka, seiring kesabaran dan bergulirnya waktu, aku akan mengungkap kebusukan mereka. Sungguh laki-laki tidak tahu diri. Tadinya Ramlan Sugito itu hanyalah pegawai biasa di kelurahan. Kemudian diangkat menjadi sekretaris Lurah Marni periode ini. Siapa sangka, justru menjadi menggali lubang untuk kuburan dalam rumah tanggaku.

“Halo, Bang.”

“Halo, Adikku Sayang. Ada apa nelpon abang jam segini?” sahut Bang Rizal, abangku.

“Abang lagi sibuk gak?”

“Lumayanlah. Abang mau rapat di kantor kecamatan setengah jam lagi.”

“Dengan orang-orang kelurahan juga?”

“Tidak, dengan orang-orang kecamatan sama Dinas Sosial saja. Setelah itu, baru dengan orang-orang dari kelurahan.”

“Oh begitu. Oh ya, Bang, aku boleh minta tolong tidak?”

“Boleh saja. Apa sih yang tidak untuk adik semata wayang abang ini,” pungkasnya terkekeh.

Aku tersenyum getir.  Beruntung sekali masih memiliki abang seperti Bang Rizal. Dia benar-benar bisa menggantikan posisi Bapak, setelah Bapak meninggal ketika aku masih duduk di kelas tiga SMA sedangkan Bang Rizal masih kuliah semester empat. 

Nyaris aku putus sekolah dan kuliah Bang Rizal terhenti di tengah jalan. Tapi, ia tidak gentar dan bekerja keras untuk bisa menyekolahkanku hingga kuliah. Tak lama ia pun melanjutkan kuliahnya kembali. 

Semua pekerjaan ia lakukan, hingga akhirnya ia iseng-iseng mencoba tes masuk ASN. Hingga meski dengan perjuangan yang sulit, tapi bisa membawa Bang Rizal hingga terpilih menjadi camat.

“Hei, Dik!” Aku terhenyak dari lamunan. “Kok malah diam?”

“Hehehe … tidak apa-apa, Bang,” sahutku cengegesan.

“Tadi katanya mau minta tolong. Tolong apa, Dik?” Suara lembut Bang Rizal cukup menenangkan perasaanku saat ini.

“Aku boleh minta beberapa orang-orang Abang?”

“Maksudnya?” 

Aku bisa membayangkan ekspresi Bang Rizal saat ini. Alis tebalnya pasti tengah bertaut di tengah.

“Sudah, jangan banyak tanya deh, Abangku yang ganteng. Pokoknya aku minta dua orang saja dari anggota Abang ya. Nanti ada masanya pasti akan kujelaskan ke Abang, oke?”

Terdengar suara helaan napas dari seberang telepon. “Kalau adikku yang satu ini sudah meminta, pasti susah untuk menolaknya. Tapi, janji ya, nanti kamu harus jelaskan ke abang apa maksud semua ini.”

“Beres, Bos!”

“Ya sudah, nanti abang suruh Joko dan Iwan yang ke sana ya. Sekarang atau nanti?”

“Kalau bisa sekarang.”

“Oke, kalau begitu kamu hubungi saja mereka. Kan kamu punya nomor WA mereka. Bilang saja disuruh abang.”

“Makasih ya, Bang. Abang memang abang terbaikku, deh.”

“Huum  … kalau ada maunya, baru deh muji-muji.”

“Eh, sudah dulu ya, Dik. Abang mau rapat. Orang-orang dari Dinsos sudah datang.”

Belum lagi aku menjawab, telepon sudah dimatikan secara sepihak. Kebiasaan!

Segera aku menghubungi Joko dan Iwan dan membuat janji bertemu di salah satu kafe yang tak jauh dari rumah. Kemudian aku bersiap-siap, lalu meluncur ke kafe yang berjarak sekitar lima belas menit perjalanan.

.

“Maaf, sudah lama menunggu?” tanyaku, pada dua orang yang sudah menjadi kepercayaan Bang Rizal.

“Belum kok, Bu. Kami juga belum lama sampai,” Joko yang menyahut.

Aku menarik kursi yang berseberangan dengan mereka. 

“Sudah pesan makanan?” tanyaku, ketika seorang pelayan wanita menghampiri meja dan menyodorkan daftar menu.

“Tidak usah, Bu. Tadi di kantor sudah dibelikan makanan oleh Pak Rizal.”

“Oh, begitu. Baiklah?”

Setelah mencatat pesananku, pelayan wanita itu beranjak meninggalkan meja kami.

“Begini, saya langsung to the point saja ya. Pak Ramlan, suami saya, dengan Lurah Marni ternyata … berselingkuh.”

Kedua lelaki itu lantas saling pandang, tak percaya.

“Maksud Ibu?” tanya mereka, serentak.

“Apa ucapan saya tadi kurang jelas?”

“Jelas sih, Bu. Memang saya sudah menyangka sebelumnya, jika melihat kedekatan mereka yang rasanya tidak wajar. Hanya saja, saya tidak berani berprasangka buruk. Tapi, setelah Ibu bilang begitu, ternyata benar dugaan saya selama ini,” tutur Iwan.

Orang lain saja sudah bisa menilai. Mereka benar-benar tidak bisa menjaga martabat mereka sebagai pemimpin.

“Lalu, apa yang harus kami lakukan, Bu? Memata-matai gerak gerik mereka?” tanya Joko.

Memang tidak salah Bang Rizal menghantarkan mereka untuk kutugaskan menjadi mata-mata. Mereka sudah langsung tahu dengan maksudku.

“Kalian memang jenius. Tidak salah Bang Rizal mempertahankan kalian,” Aku tersenyum puas. “Berarti kalian sudah tahu kan, apa yang menjadi tugas kalian?”

“Sudah, Bu. Nanti kami akan memberikan semua informasi tentang mereka pada Ibu,” sahut Joko.

“Bagus! Jangan lupa, sekalian foto-foto atau pun video mereka ya,” titahku.

“Siap, Bu,” jawab kedua lelaki bertubuh tegap itu, mantap.

*** 

Jangan lupa tekan Like dan Ulasan bintang lima yaa😘😘