3. Pisah



"Maaf. Bukan bermaksud begitu. Aku hanya ingin jujur. Karena seperti yang kamu katakan, sekali berbohong, pasti akan ada kebohongan-kebohongan lainnya. Iya, kan?"

Ayumi mengangguk. Lelah, sungguh jiwa dan raganya terasa begitu lelah. Ingin rasanya ia menjauh dan menenangkan diri di tempat asing yang tak ada siapa pun mengenalinya. 

Keheningan pun menyelimuti suasana malam itu. Suara detak jam dinding dan jangkrik di luar sana terdengar jelas. 

"Mas, aku tahu kamu masih punya hati untuk bisa berpikir tanpa ada ego sedikit pun. Lihat aku, Mas." Ayumi berkata setenang mungkin, setelah jeda hening cukup lama. 

Nugrah menurut. Kini mereka saling pandang. 

"Tolong sedikit saja pikirkan perasaanku. Jika kamu masih menginginkan dia, maka lepaskan aku. Jangan buat anak-anak alasan untuk bertahan. Kamu berhak punya pilihan, begitu pun aku. Aku tak sekuat itu untuk bisa menerima dipoligami. Kita bisa pisah baik-baik dan tetap jadi orang tua untuk Rayhan dan Maulana." 

Panjang lebar Ayumi menjelaskan dengan intonasi setenang mungkin. Ia rasa masalah seperti ini harus dimusyawarahkan baik-baik dan tak perlu sampai beradu urat leher. 

Nugrah berkali-kali menghela napas. Terdengar cukup mengganggu di telinga Ayumi. Lama sekali, sampai ia berubah posisi duduk. Berkali-kali ia mengusap wajahnya kasar dan memijit keningnya.

"Apa ... apa kamu tidak apa-apa?" Akhirnya Nugrah menyahut. 

"Justru aku tidak baik-baik saja jika dipoligami. Hidup hanya sekali, terlalu berharga kalau untuk menangisi kepergian suami ke rumah istri mudanya." Meskipun suara itu lembut sekali, tetapi ada sindiran halus yang ditunjukkan agar Nugrah tertohok. Dan benar saja, jawaban Nugrah selanjutnya ternyata sesuai harapannya. 

"Baiklah jika itu maumu. Kita pisah secara baik-baik. Anak-anak kita asuh bersama, aku akan tetap mencurahkan kasih sayang pada mereka. Aku akan tetap rutin memberimu jatah bulanan. Jangan sungkan untuk mengatakan jika ada keperluan tambahan," ucap Nugrah dengan bahu lunglai. Terdengar berat seperti sangat terpaksa. 

Entahlah, pikiran Ayumi benar-benar berkecamuk. Ia tak ingin ge-er menganggap Nugrah masih menginginkannya. Ayumi hanya mengangguk dengan senyum tipis. 

"Ayumi, kamu kuceraikan," imbuh Nugrah lagi dengan mata berkaca-kaca. 

Perpisahan. Sebaik apa pun itu, tetaplah menyakitkan meskipun tanpa kebencian di hati mereka. Ayumi hanya ingin menyelamatkan hatinya agar tak terlalu terperosok dalam jurang kesakitan terlalu dalam. Ia berhak menentukan pilihan hidupnya, bukan?

"Terima kasih, Mas," ucap Ayumi masih tetap tersenyum. Tetapi, ia tak ingin berlama-lama di kamar ini, gegas kakinya melangkah keluar, air mata yang mati-matian ia tahan luruh saat langkah telah sampai di kamar putranya. Di balik pintu, tangisnya pecah seketika. Ia membekap mulutnya agar suara itu tak terdengar. Buliran air mata yang jatuh melewati sela jemari lentik itu akhirnya reda usai melewati ratusan menit. 

Ayumi berusaha keras memunguti puing-puing hatinya yang berserakan. Bibirnya berkali-kali mengucap istighfar. Meskipun ia yang meminta cerai, tetap saja, ternyata lebih sakit dari yang ia bayangkan. Namun, ia harus baik-baik saja. Ada dua malaikat kecil yang memerlukan kedua tangannya. Mereka adalah hidupnya. Ia tak boleh tumbang hanya karena cinta dan perasaan. Ada yang lebih penting dari itu semua. 

Ayumi memandangi kedua putranya yang tengah tidur dipisahkan oleh guling. Ia berjalan mendekati keduanya.  

"Maafkan Bunda, Nak. Maafkan, Bunda ... kita pasti kuat ...."

***

Setelah malam itu, Ayumi dan Nugrah tak pernah lagi terlibat obrolan panjang. Nugrah memilih tinggal di rumah orang tuanya yang sebelumnya kosong sejak ibunya meninggal dua tahun silam, sedangkan bapaknya Nugrah telah berpulang sejak ia remaja. Sementara Ayumi tetap tinggal di rumah itu bersama kedua anaknya. 

"Tinggallah di sini, rumah ini milik kamu dan anak-anak. Aku yang akan tinggal di rumah ibu, takutnya kamu gak nyaman ada aku di sini." Begitu ucapan Nugrah keesokannya setelah kata talak terucap. 

Setiap ada waktu luang, Nugrah selalu mengunjungi Rayhan dan Maulana, mereka bermain dan bercengkerama seperti biasa. Hanya saja, Ayumi tak pernah ikut bergabung jika anak-anak sedang bersama ayahnya. 

"Bunda, ayo sini. Main sama Ayah," ajak Maulana ketika itu. 

Nugrah datang dengan membawakan banyak makanan serta jajanan kesukaan Ayumi. 

Saat Ayumi melihat, Nugrah tersenyum simpul, seolah mendukung Maulana dan ikut menyuruh Ayumi mendekat. 

Ayumi mencelus. Mengapa Nugrah seolah membuat mereka terlihat baik-baik saja. Padahal pada kenyataannya mereka telah berpisah. 

.

Perceraian mereka sudah didaftarkan dan sebentar lagi palu akan diketuk pertanda berakhirnya jalinan kisah di antara mereka. Meskipun ada oleh-oleh dua makhluk kecil dari hasil pernikahan mereka, tetap saja, di antara mereka bukan siapa-siap lagi. Semuanya telah usai. 

"Kalian saja, makan yang banyak, ya. Bunda lagi sibuk." Ayumi berlalu sembari berpikir, apa yang akan ia lakukan. Lalu melintaslah ide, ia akan membersihkan karet di pintu kulkas yang sebenarnya tidak kotor. 

Sungguh kesibukan yang tak bisa ditunda, batinnya sembari menggelengkan kepala. 

***

Malam ini, Ayumi, Rayhan, dan Maulana tengah telentang di atas ranjang. 

Ayumi mendengarkan celotehan kedua anaknya yang asyik membahas apa saja. Tentang teman-teman di sekolah, jalan cerita kartun kesayangan, menu makanan, mainan yang ingin dibeli dan sebagainya. 

"Bunda, kenapa sekarang Ayah gak tidur di sini lagi?" tanya Lana, saat obrolan mereka terhenti.

"Iya, kenapa, Bunda?" imbuh Rayhan. 

Sebenarnya mereka telah menanyakan pertanyaan itu berpuluh-puluh kali. Tetapi, baik Ayumi atau Nugrah tak ada yang berani mengatakan bahwa mereka telah bercerai. 

"Ayah sedang sibuk di kerjaannya. Kan, lebih dekat tidurnya di rumah almarhum Nenek," jawab Ayumi. 

'Lihatlah, Mas. Bahkan mengatakan seperti ini saja. Hatiku seperti ditusuk sembilu.' 

Ia janji, pasti ia nanti akan mengatakan yang sejujurnya pada kedua permata jiwanya. Tapi nanti, bukan sekarang. 


***


Hari-hari terus berlalu, ternyata proses perceraian mereka berlangsung cepat. Terhitung tiga bulan sejak mengajukan, kini palu telah diketuk dan mereka resmi bercerai secara hukum negara.

Pria bertubuh tinggi itu duduk di sofa, ia membawakan surat cerai. Ayumi mengambilnya dan membuka isinya. 

Saat matanya tengah menekuri deretan huruf di atas kertas putih itu, Ayumi merasa, ia sedang dipandangi sejak tadi. Benar saja, saat ia mendongak, Nugrah tengah menatapnya begitu lekat.

"Ada apa, Mas?"

Nugrah tergagap. "Maafkan aku, Ayumi."

Ayumi mengangguk.

"Jika selama menjadi suamimu, aku belum bisa jadi yang terbaik. Maaf. Eng, barangkali kamu mau, aku punya teman seorang duda tanpa anak, dia sedang mencari istri." Sayu mata itu seperti menyiratkan kesedihan.

Tak habis pikir, Ayumi bingung dengan apa yang ada di kepala mantan suaminya itu. Kadang, terlihat begitu terpukul pada perceraian mereka, tetapi begitu terang-terangan mengaku mencintai perempuan lain. Dan kini, lihatlah, bahkan ia telah menawarkan pria lain untuk menjadi pendamping mantan istrinya. 

Sebegitu menyedihkannya kah dirinya di mata Nugrah?

Buru-buru Ayumi menggeleng. "Tidak. Terima kasih atas tawarannya. Kalau tidak ada keperluan lain, pintu di depan terbuka lebar." Pasalnya, kedua anaknya tengah mengaji di TPA siang ini, dan kini mereka hanya berdua saja. 

"Maaf. Aku tahu, aku laki-laki paling bodoh sedunia. Melepaskan istri sebaik kamu dan mengorbankan kedua anakku. Aku memang jahat, Mi. Kamu boleh memakiku sepuasnya. Biar hatimu puas."

Entah mengapa, meskipun Nugrah telah menyakitinya begitu kejam, Ayumi tak pernah mampu memaki ayah dari anak-anaknya itu. "Tidak. Bukankah kita sepakat pisah baik-baik? Lebih baik, urusi saja perempuan sholehah idaman kamu itu." 

Ayumi bangkit dan menuju ke bibir pintu, tangannya mengisyaratkan dengan sopan agar Nugrah segera pergi. 



Bersambung 🌹🌹