3. Aroma Narasumber

Suasana studio 3 ATV masih cukup lengang. Siang ini dan besok adalah weekend, yang berarti bukan jadwal Cantika membawakan acara Selamat Pagi Dunia. Acara Siang Masih Semangat berpindah set ke lobi sejak 2 minggu yang lalu. 

Agenda Cantika datang ke stasiun televisi pemegang rating pertama selama 8 tahun terakhir ini, adalah satu undangan meeting, yang mau tak mau harus ia hadiri sebagai salah seorang anggota tim kreatif. Ide brilian yang keluar dari otak seorang almamater Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Indonesia ini, cukup mengantarkan Selamat Pagi Dunia meraih penghargaan sebagai acara berita terbaik 2 tahun terakhir. 

Tangan halus Cantika mengusap lembut dinding koridor yang tiap hari ia susuri. Telunjuk lentiknya mengukir garis khayal, sejalan langkah kaki yang terus mengayun. Hanya karyawan bagian penyiaran, yang masih sibuk di bilik, tepat di depan monitor masing-masing. Hiruk pikuk lenyap untuk beberapa saat, hingga live nanti malam tayang kembali. Rumah kedua yang telah Cantika tempati selama hampir 15 tahun belakangan. 

"Kita bisa undang saksi ahlinya kalau mau. Teleconference aja. Butuh waktunya nggak banyak, tapi gue harap Mbak Tika sama Mas Adya bisa nembak tetap sasaran."

"Nggak segampang itu. Saksi ahli biasanya juga akan bungkam, apalagi baru sidang pertama. Undang pengacara dua belah pihak lagi aja gimana?" bantah Cantika, yang mendadak tidak ingin memperumit urusan pekerjaan. Urusan hati saja sudah ruwet bak benang kusut.

"Itu udah kemarin. Gue nggak mau, Mbak. Leher gue bisa digorok bos duluan, sebelum gaji gue kepotong!" 

"Psikolog gimana?"

Ketua tim kreatif menolak. Jessi memimpin diskusi panjang tentang topik talkshow yang selalu tampil sebagai segmen utama berita. Hari Senin akan digelar sidang kedua kasus pemerkosaan berbuntut mutilasi korban yang adalah kekasih tersangka. Berita memuakkan yang mau tak mau harus selalu Cantika sampaikan di depan jutaan pasang mata pemirsa. Agar mereka awas bahwa kejahatan selalu mengintai di setiap kesempatan yang ada. Namun, sebrilian-briliannya ide Jessi dan anggotanya, jika tak lolos restu Bapak Produser, yang adalah seorang jurnalis kawakan Indonesia, juga terancam 99% akan gagal tayang.

"Jangan nyari susah deh. Senin itu lusa."

"Ya. Dan besok lo bisa datengin atau telepon minimal narasumbernya, Mbak." Jessi menyodorkan selembar profil seseorang ke meja depan Cantika. "Ini dokter forensiknya. Kalo dilihat dari tahun lulus sih, dia seangkatan adek lo, Mbak. Bisa lah lo lobi dikit-dikit. Pake link teman."

Cantika menghembuskan nafas kasar. Atas nama segala kebaikan di dunia ini, bolehkah kali ini saja ia menjadi tidak baik? Lagipula, ini bukan tugasnya. 

"Giliran lobi-lobian begini, kenapa harus gue? Henry aja kali. Lo berani banget sih nyuruh-nyuruh orang tua!" tepuk Cantika di lengan Jessi. Tepukan lembut yang sama sekali tak ada rasa. Teguran tajam berbalut senyum manis, yang hanya dan akan selalu Jessi anggap sebagai gertakan kakak pada adiknya. 

Jessi mulai melancarkan jurus mautnya. Mengambil sebelah lengan perempuan cantik di samping, yang kerap kali tak sanggup menolak apapun demi kepentingan Selamat Pagi Dunia. Menggelayut manja di sana.

"Karena gue percaya lo sanggup, Mbak. Dokter satu ini agak beda." Tak lupa, kedua mata turut berkonspirasi. Menampilkan puppy eyes berkaca-kaca. "Pleaseeeee ... !"

"Dan lo anggap gue pawangnya narasumber-narasumber 'beda'?" 

Pertahanan terakhir Cantika sebelum terjerat.

"Yapp, tull!!"

Terpujilah segala tindak-tanduk Cantika Aasiya Sudjatmiko. Ia tak pernah bisa menolak permintaan orang-orang tersayangnya demi kepentingan yang kiranya akan membawa kebaikan. Termasuk, jika harus mengorbankan jam tidur dan masa penyembuhan luka hati. Ia akan melakukan apapun. Memberdayakan segala yang ada. Kecuali, satu hal. 

Memilih jodoh. 

Cantika punya radar kuat dalam permainan bertema merah jambu tersebut. Ia tahu persis mana lelaki yang harus diterima, ditolak, atau layak untuk dicoba dulu. Yang terakhir, bukan lantaran salah pilih. Ia hanya sedang ... kehabisan ide dan stok sabar. Berteman setan, menantang Tuhan, dan menjemput dosa.

--------

"Permisi." Seseorang di balik meja administrasi mendongak dari duduknya ketika mendengar sapaan. "Bisa bicara dengan Dokter Athar, Mbak? Saya Cantika, teman beliau."

Perempuan setinggi 177 sentimeter beralaskan kitten heels warna putih susu, untuk ke sekian kalinya menyambangi Instalasi Kedokteran Forensik Rumah Sakit Samanhudi. Namun kali ini bukan untuk berburu berita. Mengikis waktu bengong memikirkan jodoh, Cantika menerima tawaran Jessi demi melobi narasumber untuk acara beritanya sendiri.

"Ini ... Mba..mbak Cantika yang di tivi itu? Pembaca berita?" Binar mata yang selalu Cantika dapatkan dari orang-orang yang mengenalnya dari layar kaca.

"Iya. Tapi saya ke sini bukan untuk liputan. Saya ada perlu sama dokter—"

Pintu sebelah meja administrasi terbuka. Tak perlu memberi sapa, karena deritan adu alas pintu versus lantai keramik, cukup memekakkan telinga. Mengganggu percakapan antara fans bersama seorang idola yang tak pernah mau dianggap sebagai ratu panggung. 

Rambut gondrong berombak setinggi bahu diikat asal tidak masuk sempurna ke dalam headcapPria berbadan tinggi tegap berbaju scrub warna hitam, dibalut apron medis dari bahan plastik, keluar dari sana dengan mata mengernyit. Sepasang alis tebal tampak mempesona di balik kacamata. Sarung tangan latex masih membalut sempurna. Kedua kaki besar ukuran 44 lelaki itu beralaskan sandal jepit warna putih. Cantika terperanga sekaligus menutup hidung. Bau anyir menyeruak dari udara yang mengalir melalui pintu.  

"Ah, sorry. Bau ya?" 

Lelaki itu mendekat usai menutup rapat pintu.

Cantika hanya bisa mengangguk. Ia terbiasa bertemu kasus-kasus dengan korban meninggal yang mulai berbau busuk. Namun, tidak pernah jika orangnya masih bernafas dan berdiri gagah di depannya. Pun para dokter di circle Cantika tak ada yang sewangi ini. Tampang boleh sebelas dua belas jika dibandingkan dengan aktor Hollywood. Aroma? Maaf, Cantika belum bisa memasukkan akal. 

Bagaimana bisa ia percaya diri sekali menemui mantan si Ratu Kecantikan dari seluruh wanita cantik di negeri, dalam keadaan sebau itu? Andai Cantika tahu, lelaki di depannya juga merasa tak enak hati. Bagaimana tidak? Pria itu ingat betul kakak sahabatnya, sekaligus anak dari dosen kala ia dulu menempuh pendidikan S1 Kedokteran, mengajaknya bicara dalam situasi yang tak pernah ia persiapkan sama sekali. Ini pertemuan pertama sejak terakhir Muhammad Athar Pahlevi lulus dari menjadi seorang dokter umum 9 tahun lalu.

"Dokter Athar bukan?" senyum Cantika menampilkan lesung. Rasa tak nyaman membuatnya mundur 1 langkah dengan gerak-gerik tak kentara. 

"Kak Cantika kan? Kakaknya Rara?" 

"Iya. Yang kemarin minta nomor dokter dari Baron. Bisa kita bicara?"

Keantusias akan rencana pembicaraan yang akan terjadi, amat tersirat dari sepasang bola mata si pria. Cantika merasa lampu hijau mulai menyala. Tidak, setelah pemuda usia 32 tahun di depannya, mengutarakan jawaban yang membuat Cantika harus melengos jengah dalam pikirannya sendiri. 

"Tunggu 2 jam ya? Saya baru mau mulai otopsi." Athar sesuka hati menyuruh perempuan cantik itu menunggu selama 2 jam? Di depan kamar mayat?

"Helga? Tolong ambilkan tas saya. Bawain masuk ya?" Admin yang ternyata bernama Helga barusan, langsung melaksanakan titah sang dokter. "Maaf ya, Kak Cantika?"

"Nggak papa. Take your time. Saya telepon aja ya nanti?"

"Gimana enaknya aja."

-----------------

-----------------