Setelahpulang dari rumah sakit. Terlihat, Ibuk sedang menunggu sambil mondar-mandir di teras sambil gendong Melvin yang sedang menangis.
"Nah ini dia baru datang. Kemana aja, jemput anak aja sampai berjam-jam!" bentaknya dengan nada tinggi.
Saat ingin mengatakan kalau kami baru datang dari rumah sakit. Sambil menggelengkan kepalanya, Melva menarik tanganku, lalu menaruh satu jari ke mulutnya.
"Jangan katakan apapun sama, Nenek," bisiknya, aku mengangguk gadis kecil di belakang itu tersenyum sambil menunjukkan kedua jempolnya.
"Lihat Melvin dari tadi nangis terus, di kasih sufor juga gak mau," aku hanya diam mendengarkan semua keluhan Ibu terhadap Melvin yang rewel.
"Percuma bicara, dasar wanita tuli. Dosa apa yang Hendra lakukan sampai punya istri tak berguna seperti ini" kata-katanya begitu menusuk.
Sekarang aku baru sadar sama seperti, Melva, Ibu dan Mas Hendra juga mengetahui jika pendengaranku rusak tapi mereka seolah tidak peduli, mereka membiarkanku menderita sendiri padahal semua ini terjadi karena ulah Mas Hendra.
"Maaf, Bu. Sini," aku mengambil, Melvin dari tangan, Ibu. Tangisannya mulai mereda saat aku mencium memeluknya dengan cinta.
"Jadi, Mama itu yang becus. Jangan bisanya ngeluarin terus," sindirnya sambil masuk ke dalam rumah. Aku hanya bisa menarik nafas mendengar semua yang Ibu katakan.
Sebenarnya aku gak mau menitipkan Melvin pada Ibu, hanya saja tidak ada pilihan karena tidak mungkin membawa Melvin kerumah sakit.
Sudah bisa aku bayangkan kemarahan yang akan berujung pertengkaran antara aku dan Mas Hendra jika Ibu sampai mengetahui kalau aku baru datang dari rumah sakit untuk memeriksakan pendengaran.
Biarlah Ibu dan Mas Hendra tidak perlu tau karena itu tidak akan menambah kepedulian mereka terhadapku.
"Diana, cucian sudah numpuk, lekaslah cuci!" Teriak Ibu dari ruang keluarga.
"Baik, Bu. Sebentar lagi. Nunggu Melvin tidur," sebenarnya aku ingin marah pada wanita itu, di rumah ini aku bagai pembantu yang tak bergaji. Rasa tidak ikhlas selalu menghampiri namun selalu berhasil aku rubah menjadi sebuah kebaktian.
Setelah Melvin tertidur aku langsung melaksanakan perintah.
Seandainya punya pilihan, lebih baik aku pergi dari rumah ini membawa kedua malaikat kecilku jauh dari orang-orang yang hanya bisa memberinya trauma, tapi mau pergi kemana? Sedangkan di kota ini tidak ada sanak saudara ataupun teman yang bisa aku kunjungi untuk di mintai tumpangan sementara.
Suatu hari nanti jika waktunya telah tiba dan Mas Hendra belum bisa memperlakukanku sebagai istri yang dia cintai, saat batas kesabaranku telah habis mungkin itu waktu yang terbaik untuk keluar dari rumah ini bersama Melva dan Melvin.
Terlihat dari pintu luar gadis kecilku dia terlihat sibuk dan serius mengerjakan tugas sekolahnya. Aku mendekat mengelus rambutnya yang licin dia tersenyum saat menyadari kehadiranku dan Melvin duduk di sampingnya.
"Melva. Boleh Mama nanyak sesuatu?" tanyaku.
"Hmmm."
"Melva tau dari mana kalau telinga, Mama sakit?"
"Dari Google" jawabnya tanpa melihat ke arahku.
"Emang Google tau kalau, Mama, sedang sakit?"
Kali ini Melva berbalik dia menatap sambil tersenyum, "Google gak tau kalau, Mama sakit. Google hanya memberi tahu penyebab Mama tidak bisa mendengar panggilan Melva dengan jarak yang begitu dekat sejak Ayah menampar Mama waktu hari itu. Kata google pendengaran, Mama terganggu."
Ternyata anakku pintar, dia lebih peka.
"Melva dapat dari mana uang sebanyak itu?"
"Semua uang yang Mama kasih, Melva tabung karena Melva tau suatu hari nanti kita pasti membutuhkannya."
"Di sekolah Melva gak jajan?"
Melva menggeleng. "Melva kan sudah makan banyak di sebelum berangkat, jadi gaka akan lapar, di sekolah Melva juga banyak minum jadi tetap segar. Kata Bu Guru menabung itu pangkal kaya, kalau kita punya banyak uang kita bisa melakukan apapun termasuk membebaskan Mama dari Ayah."
Penjelasan Melva membuatku sok. Bagaimana bisa anak berusia 10 tahun bisa bicara begitu jika tidak ada yang mengajarinya.
"Siapa yang ngajarin Melva bicara seperti itu? Jawab, Nak. Siapa!? Mama gak mau, Melva berkata kayak gitu lagi, itu gak benar." Melva menunduk dia terlihat sedih, segera aku memeluknya.
"Rumah ini bagai Neraka buat Mama. Ayah sering mukulin Mama. Nenek suka nyindir, Mama. Disini gak ada yang sayang sama, Mama. Melva sedih setiap kali lihat, Mama menangis karena, Ayah."
Butiran bening mulai mengalir deras mendengar perkataan, Melva. Tuhan telah memberiku seorang malaikat kecil berhati mulya. Yang aku sesali kenapa malaikat kecil ini harus mengalami semua ini sehingga ada rasa benci untuk Ayahnya.
"Jangan nangis lagi, Ma. Disini ada Melva yang sayang sama, Mama."
"Bagaimana, Mama bisa menghentikan deraian air mata yang mengalir deras melihat ketulusan Melva untuk, Mama."
Sentuhan jari mungilnya mengukir senyum di bibirku saat melihat senyum dan genangan air mata yang dia tahan agar aku tidak lagi menangis.
BRAAK!!!
Terdengar pintu di tendang begitu keras Mas Hendra sudah berdiri di depan pintu dia terlihat marah. Melva yang kaget langsung berdiri.
"Ayah! Sudah pulang, ada apa?"
"Apa yang, Mama lakukan!!?"
"Maksudnya? Mama gak ngerti."
Tampa bicara Mas Hendra langsung menarik paksa lenganku keluar dari kamar.
Melva hanya diam, dia terlihat marah sambil mengikuti kami.