Bab 7
“Hai, kalian udah sampe duluan ternyata,” tegur sang pemilik suara serak basah – Meri. Dia turun dari mobil plat merah, menandakan itu mobil dinas, dan Meri menggunakan mobil dinas untuk kebutuhan pribadi?

Naka, ini bisa jadi targetmu selanjutnya. Ada yang pake mobil dinas loh ini.

Aku berdeham memberi kode pada Mas Tama. Kulirik sekilas ternyata ia memperhatikannya juga. 

“Iya, Mer.” Irma menyambut dengan cium pipi kiri dan kanan. Aku tersenyum hendak menyambut dengan gaya yang sama namun Meri malah mundur, tertawa sumbang, dan memperlihatkan gesture tubuh jijik.

“Hehe … aku gak terbiasa untuk cium orang miskin, takut pindah kuman.” Tatapanku langsung berubah tajam mendengar kalimat menohok keluar dari bibir tebal itu. Ternyata uang dan jabatan suaminya sudah mempengaruhi gaya hidup Meri. Heh, orang kaya baru. Pamer saja terus, begitu kena tulah nangis. 

Bibirku tertarik membentuk senyum miring. Meskipun tadi sempat panas tapi aku masih harus mengontrol dengan mengingat hal-hal baik. Tapi yang membuat aku heran kenapa orang yang kaya raya tidak sombong sedangkan orang kaya setengah-setengah malah sombong dan suka pamer ke sana ke mari, apa mereka tidak malu jika bertemu dengan orang kaya sesungguhnya?

Heh, bagaimana kalau ada Tommy di sini ya? Haha … pasti kena mental. Adik sultanku tidak akan membiarkan orang lebih sombong daripada dia. Ah, pingin rasanya aku seret mobil sport terbaru yang dia beli kemarin ke sini untuk pamer pada mereka, tapi sayang aku tidak bisa mengemudi. Sedih sekali!

“Iya, aku orang miskin yang gak bisa naik mobil dinas di hari sabtu, apalagi hanya ke kondangan,” sindirku padanya. Tertawa ngejek. Sesekali aku memang harus membalas dengan setimpal agar mereka tidak terlalu merendahkan orang lain.

“Kalau iri bilang, Bos,” sahut Irma dan disambut tawa renyah oleh Meri. Ternyata sindiranku tidak mempan bagi Meri, apa mereka tidak mengetahui apa hukuman jika menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi?

“Kamu harus sabar, Wa. Bentar lagi kalau calon suamimu kerja, kamu juga bisa punya mobil sendiri jadi gak perlu sirik lagi ataupun harus rental mobil biar keliatan eksis.” Kata-katanya begitu tajam apalagi saat melihat mobil Avanza yang tadi kutumpangi.

Akupun tersenyum anggun padanya meskipun ingin sekali rasanya aku cabik-cabik mulut pedas dari kedua wanita di depanku itu.

“Iya, tadi sebelum ke sini aku memang rental mobil dulu. Maklumlah, gak punya mobil sendiri.”

Iya, gak punya. Maksudnya gak punya yang merk ini. Adanya mehong semua. Takut kalian ileran. Meskipun suamiku kombes yang pendapatannya sudah diukur oleh negara tapi dia putra sulung dari salah satu pengusaha terkaya di Asia. Lahir saja sudah bergelimang harta. Apalagi untuk membeli mobil, dia cukup mampu, tidak seperti kalian. 

“Calon suami? Siapa, yang mana?” tanya Meri celingukan. Kekepoannya sudah mendarah daging.

“Calon suamiku. Kenalin ini Mas Tamam.” Aku menarik tangan Mas Saitama agar mendekat. Tersenyum bangga memperkenalkan pria tampan nan baik hati ke depan mereka. Kalau saja bisa aku ingin memperkenalkan bukan lagi calon tapi pak suamiku tercinta.

Meri ogah-ogahan berjabat tangan dengan Mas Tama, mungkin karena dikira dari kalangan menengah ke bawah jadi semua di matanya kuman. 

“Kapan kalian nikah?” tanya Meri menatap kami.

“Doakan secepat mungkin. Ngumpul uang dulu,” jawab Mas Tama yang kuangguk setuju. 

Meri membulatkan bibirnya seraya mengucapkan kata O. 

“Suamimu mana? Apa dia gak datang?” tanyaku padanya. Sedari tadi aku melihat dia turun dari mobil sendirian, tidak berdua dengan sopirnya yang membantu membukakan pintu. 

“Mas Har lagi gak enak badan. Sebenarnya aku males sih datang ke resepsi Ana. Ya, gimana ya, kurang cocok aja gitu. Tapi demi teman, aku rela meninggalkan Mas Har.” Meri mulai mengepak sayap sombongnya lagi. Padahal pertanyaanku bisa dijawab dengan singkat, tapi dia malah ngaur ke arah yang tidak jelas. Intinya sekali saja tidak merendahkan orang tidak bisa, apa dia akan panas dingin kalau tidak mengeluarkan virus kesombongannya? 

“Duh, kayaknya kita kelamaan deh di parkiran. Yuk kita masuk!” ucap Irma.

Mas Tama hendak berjalan mengikuti mereka, tanganku langsung mencekalnya. “Mas, otakmu masih baik-baik saja kan?” bisiku serius.

“Apanya?” Ia mengernyit kening.

“Itu omongan mereka Mas bisa menerima kan? Otak Mas masih baik-baik saja gak? Perut juga gak mules kan?” cerocosku yang langsung jidatku mendapat sentilan dari tangan Mas Tama.

“Kamu ini ada-ada saja. Ngomong sudah seperti mereka juga. Lain kali jangan terlalu berbaur sama mereka!” tegur Mas Tama. Aku malah cengengesan.

“Tapi Mas lihat ‘kan mobil yang dipakai Meri tadi?” Mas Yuda mengangguk. “Mobil dinas seharusnya tidak beroperasi ke kondangan seperti ini, apalagi suaminya gak ada, apa gak keliatan banget dia mau pamer? Bisa-bisa kena hukuman loh.”

“Kita kesampingkan dulu masalah mobil dinas. Biar nanti Naka sama bawahannya yang ngurus. Kita harus fokus sama misi utama kita. Bagaimanapun ini menyangkut semua orang,” ujar Mas Tama dengan serius. Akupun mengangguk paham. Kali ini masalahnya lebih rumit daripada hanya sekadar mobil dinas. 

Belum kaki kami melangkah masuk tiba-tiba saja mataku menoleh ke arah sumber suara. Mendadak telingaku jadi lebih tajam dari biasanya. Mendengar suara mobil yang sport saja aku langsung menoleh. Secara ini bukan acara untuk kalangan menegah ke atas, tapi sudah terdengar suara mobil mewah. 

“Mas, lihat itu!” Aku menarik tangan Mas Tama, menunjukkan ke arah dua orang yang sedang turun dari mobil sport itu dengan lirikan mata dan diapun mengikutiku.

“Dia yang kita cari, Saitama.”