"Selamat datang, Bu kombes." Sambut Yogi dan Tommy. Mereka begitu formal, aku hanya tersenyum kecil. Acting kalian luar biasa saat menunggu berita dariku. Habis ini kegesrekan kalian kumat lagi.
"Kalian menjijil sekali," cebik Tommy.
"Loh, salah kita di mana? Gadis, eh ralat, bukan gadis lagi udah nikah, Ibu ini istri Pak Kombes, apa salahnya kalau kita bersikap formal padanya," sanggah Yogi. Si pak kompol.
"Dah, dah, aku punya kejutan untukmu," kataku langsung duduk di antara mereka dan di susul Mas Tama yang tak ingin jauh dariku. Iya, saat ini dia duduk begitu nempel denganku.
"Sebagai warga yang baik dilarang pamer!" Tommy langsung menapaki bokongnya di sela kecil antara aku dan Mas Tama.
"Tomat, sana!" Aku mendorongnya tapi ia malah tertawa tak tau malu setelah berhasil duduk. Terlalu sempit hingga aku terpaksa harus bergeser.
"Warga yang baik. Kasihani para jomlo di sekitar anda." Bibirnya menyeringai ingin sekali kujewer telinganya.
"Hadeeh, deh, deh. KAK! SAKIT" Aku tertawa melihat Tommy meringis kesakitan akibat tangan mulus Mas Tama yang menjewer kuping Tommy.
Hebat, kamu, Mas! Niat burukku terealisasi juga.
"Pindah, atau telingamu putus!" Nada suara Mas Tama dingin menguatkan ancamannya.
"Iya, iya, iya, aku pindah." Tommy terpaksa mengangguk patuh. Mas Tama dilawan, kalau sudah Mas Tama mengatakan A tidak boleh Z. Jangankan Z, B saja tidak bisa.
Naka dan Yogi asik cekikan melihat bibir mengerucut Tommy. Mengelus telinga yang merah sambil mengambil posisi duduk jauh dari kakaknya. Lirikan kesal itu sontak membuatku makin terkekeh.
"Jadi gimana, apa yang kamu dapatkan?" tanya Mas Tama. Hampir saja aku kelupaan gara-gara sikap Tommy.
"Aku ada dua berita besar, satu percintaan satu lagi identitas perempuan yang kalian cari tau itu," jawabku sembari mengeluarkan ponsel dari tas. Sikap santaiku ternyata membuat mereka kompak mengernyit bingung.
"Kisah percintaan kayaknya seru," celetuk Tommy. Dasar kang jomblo pikirannya cinta-cintaan mulu, tapi nikah kagak jadi. Asik gonta ganti pacar saja. Iya, adik iparku ini si playboy di kampusku dulu. Paling pantang lihat yang bening langsung sosor, niat awal ingin menjadikanku mangsa ke seratus tujuh daftar wanita yang pernah dipacarinya, tapi apalah daya malah dia yang kutolak didepan umum hingga membuat pesona playboy-nya melesat ke bawah.
"Tapi kurasa kali ini akan mengecewakan Pak kompol kita." Aku menyeringai membuka ponsel lalu memberikan foto yang kuambil diam-diam di sebuah restoran.
"Kenapa jadi aku?" Yogi kikuk. Tanpa basa-basi langsung kuserahkan ponsel padanya.
"Lihatlah!" kataku santai masih membuatnya mengambil ponselku dengan raut wajah bingung.
"Shit! Wanita m urahan," makinya. Rahangnya mengeras dan aku melihat ponselku hampir remuk diremas olehnya.
"Apa sih? Sini aku mau lihat!" Naka menarik ponselku dari tangan Yogi.
"Sialan si Uli. Berani-beraninya dia selingkuhi kau, Ka." Naka jugaa kaget melihat foto yang ada di ponselku.
"Sini, coba lihat! Bikin kepo aja." Sekarang Tommy yang merebut ponselku.
"Anjim ... yang sabar ya Pak Kompol." Tommy menepuk pindah Yogi memberi semangat padanya.
"Alamat jomblo lagi."
Astagfirullah, kusangka dia mau kasih wajengan ternyata malah menertawai Yogi. Gak ada akhlak si Tommy.
"Mana sini!" Sekarang diambil alih oleh orang yang paling bijak di antara para pria di depanku. Siapa lagi kalau bukan Mas Tama.
"Siapa laki-laki yang bersama Uli, sayang?"
"Entahlah, Mas. Ingat saat kamu telpon suaraku bisik-bisik?" Mas Tama mengangguk mantap. "Nah, itu aku lagi video in mereka. Mau dengar mereka ngomong apa tapi mereka ngomongnya terlalu kecil," jelasku padanya.
"Calon istriku ternyata menyukai pria lain," celoteh Tommy mulai bersenandung judul ala ikan terbang.
"SHS amat kau." Naka menyeringai menepuk pundak Yogi.
"Untung belum nikah. Jadi belum bisa disebut suara hati suami," sanggah Yogi memicing mata lalu menyandarkan tubuhnya di sofa.
"Tapi kalau dilihat-lihat wajar si Uli selingkuh, toh gaji kamu gak seberapa. Gak sampai 5 juta perbulan cukup buat apa? Mending pilih yang kaya, ya gak sih?" Aku mulai memancing situasi yang memanas.
"Kayak suamimu gaji gede aja," balas Naka membela Yogi.
"Tapi bener-bener si Uli ya. Mata duitan."
"Makanya lain kali kamu nampakin pangkatmu. Kompol loh, pasti dia langsung lari ... aa nikahin aku," ucap Tommy menyeringai.
"Pindah haluan aja, Ka. Kau cari istri sepantaran Salwa. Beda usia cuma 9 tahun masih bisa dimaklumi daripada anak mahasiswa yang masih bau kencur, setia kagak, selingkuh iya." Naka memberi wajengan lantas Yogi mengangguk lemas.
"Kita tinggalkan masalah perselingkuhan ini dulu. Sekarang langsung ke topik utama."
Keasikan gosip perselingkuhan hampir saja lupa dengan tugas utama. Aku langsung menggeser layar ponsel dan menunjukkan foto yang kuambil saat aku mengikuti salah satu teman masa SMA-ku. Kali ini aku menghubungkan ponselku ke proyektor.
Semua mata kami fokus melihat ke arah proyektor.
"Foto ini aku ambil saat dia turun di jalan sepi ... dan ini mobil yang memberi dia tumpangan masuk ke rumah mewah itu," jelasku satu persatu sambil menunjukkan foto di layar proyektor.
"Mas, coba buka wa-ku. Itu alamat rumah ini yang kukirim."
Mas Tama membuka ponselnya, dengan cepat ia melihat pesan yang kukirim tadi siang.
"Setau aku, sepupu Irma ini bukan dari kalangan orang kaya, begitu juga dengan Irma. Status sosial Irma naik setelah menikah dengan pengusaha, Intan juga gitu. Tapi yang bikin aku bingung katanya suami mereka pengusaha tapi aku sama sekali gak liat bentuk usaha seperti apa yang dijalankan."
"Kamu lihat ada suami mereka di sana?" tanya Naka dan aku menggeleng.
"Coba cek plat mobil itu!" titah Mas Tama yang langsung diangguki Naka.
"Milik Saitama."
"Dugaan kita benar, fokus kita hanya menyelidiki dari istrinya," ucap Yogi sudah mulai fokus dengan pekerjaannya.
"Aku dapat undangan pernikahan dari salah satu temanku. Gimana kalau kamu ikut sama aku, Mas?" tanyaku saat menyerahkan undangan pernikahan Ana padanya.
Aku tersenyum mengangguk mantap.