PYMB 1

Part 1

"Pokoknya kamu gak usah takut, kalau memang nanti hamil, saya pasti tanggung jawab. Percaya sama saya." Dio membelai anak rambut saya sembari membisikkan kalimat itu membuat jantung ini berdebar tidak karuan.

Maafkan Ratu Pak, Mak!

Kata-kata Dio membuat saya merinding. "Please pakai pelindung ya Dio, saya beneran takut kalau sampai hamil."  Saya memohon pada Dio. 

"Tidak perlu. Saya sangat ingin punya bayi." Tegas lelaki yang baru saya kenal selama dua bulan itu.

"Tapi, Dio." 

Dio tidak menghiraukan saya, kami sudah terlanjur kerasukan setan.

Ini kali pertama kami melakukannya. Sengaja betul Dio menyewa penginapan yang cukup jauh dari tempat saya ngekost. Sebenarnya saya takut, apalagi orang tua telah mewanti-wanti untuk selalu menjaga kehormatan di mana pun berada.

Sejak hari itu, saya tidak bisa berhenti memikirkan Dio. Anak asal Samarinda yang tengah berkuliah di akademi kelautan itu membuat pikiran saya begitu sibuk.

*** 

Pertama kali saya bertemu dengan pemuda yang bernama lengkap Dio Agung Gamelar itu di tempat karaoke. Saat itu saya sedang ke toilet untuk buang air kecil, tiba-tiba dua orang pemuda berandal yang bau alkohol mencoba mengganggu saya. Beruntung Dio datang tepat waktu dan menyelamatkan saya. 

"Anak mana, Dek? Sendirian aja." 

Salah satu dari pemuda itu bahkan dengan lancang menyentuh tangan saya. 

"Jamgan sentuh-sentuh sing, rese banget sih." 

"Sok jual mahal. Ngamar yuk!" 

Saya melayangkan tangan hendak menampar pria lancang itu tapi tangan saya terlalu kecil. Dengan mudah dia menangkap dan memelintir tangan saya ke belakang punggung, membuat saya meringis. Benar-benar pemuda gak ada akhlak. 

"Woy, lepasin gak?" Teriak seorang cowok yang tiba-tiba datang. 

"Mau sok jadi pahklwan ka...."

Belum selesai bicara, pemuda itu sudah kena bogem mentah dan langaung ciut. 

"Maaf Mas, kami cuma pengen kenalan saja kok."

"Bacot, pergi sana sebelum kuptahkan leher kau."

Keduanya pun lari terbirit-birit.

Saya sangat shock, Dio memapah saya kembali ke Room yang saya sewa. Di sana ada satu teman saya yang sudah teler.

Dio beeusaha menenangkan dan menghibur saya dengan menyanyikan lagu-lagu yang sedang populer.  Suaranya gila sih, sopan banget masuk ke kuping. 

"Saya antar kalian pulang ya." Dio memawarkan bantuan. 

Saya langsung mengangguk mau.

Terus terang saya begitu gembira, ada cowok ganteng, suara bagus, baik lagi. Ngerti banget apa yang dimau sama cewek. Ini sih kesan pertamanya betul-betul menggoda. 

Sebuah mobil berplat kuning dengan body berwarna biru tosca berhenti di depan tempat hiburan. Rupanya taxi yang dipesan oleh Dio sudah datang. Dio membukakan pintu dan mempersilahkan kami naik. Dio terus memancarkan pesonanya membuat saya yang masih berada di bawah pengaruh alkohol semakin mabuk.

Mobil kami meluncur deras, air jatuh satu persatu dari langit. Menciptakan titik-titik air di kaca mobil. Saya menguap berkali-kali. Tiba tiba saja perasaan ngantuk menyerang. Saya menjatuhkan kepala ke dada Dio. Awalnya saya hanya pura-pura tertidur. Saya masih bisa merasakan kekagetan Dio saat kepala saya bertumpu di dada bidangnya. Ini salah satu keterampilan yang saya punya, membuat cowok yang saya taksir jatuh hati. Sampai akhirnya saya ketiduran benaran.

Mantan saya cukup banyak. Salah satu yang paling berkesan bernama Pian. Dia anak seorang tauke. Memiliki badan gembul dan bermata sipit. Ia punya toko kelontongan. Ia selalu punya uang di sakunya. 

Pian kerap mengajak saya main ke kontrakan temannya. Pemilik kamar adalah orang miskin yang berjuang keras agar bisa tetap kuliah. Untuk makan dan bayar biaya kuliah, dia terpaksa menjadi pemulung di subuh hari. Ia memilih subuh agar di jalanan dia tidak bertemu dengan teman-teman atau dosen sekampusnya. 

Setiap kali berkunjung ke kontrakan Bimba, saya membawakannya seporsi bakso. Kak Bimba sangat suka pedas. Dia tidak pernah memolak bakso yang saya bawakan. Pian juga tak lupa membawakannya minuman bersoda yang dicomot dari warungnya. 

Saya menyodorkan uang 20 ribu dan memintanya pergi bermain game atau ke mana pun dia mau, misal ke warnet. Lagi-lagi ia tak menolak. Sementara kami memakai kamarnya bersenang-senang. Suatu hari sang pemilik kamar pulang tanpa kami sadari. Biasanya jam segitu dia masih asik bermain playstation. Tidak ada angin tidak ada hujan pintu yang memang sengaja tidak ditutup, terbuka. Dia mendapati saya dan Pian sedang bercumbu di kamarnya. 

Ia sangat marah. Kami buru-buru meminta maaf dan tidak akan mengulanginya lagi. 

Di dunia ini ada dua tipe pria. Pertama pria yang harus kau temui, kedua pria yang sebaiknya jangan pernah kau temui lagi. Pemilik kamar ini adalah tipe pria kedua. Saya malu padanya.

Suatu hari orang tua Pian nyamperin saya. Ketika itu Pian mengajak saya ke rumahnya. 

Tante begitu baik, dia menyuguhkan kue-kue dan membuatkan minuman. Tapi saya tidak menyangka di balik kebaikan yang ia tonjolkan rupanya ibunda Pian punya satu permintaan pada saya.

"Tante mohon sama kamu, jauhi Pian. Dia harus fokus sekolah. Dan saya tahu kamu juga harus fokus kuliah kan?" 

"Tapi Tante, apakah Pian tahu soal ini."

"Tolong bantu, Tante ya." 

Ibunda Pian memegang kedua tangan saya memohon.

"Iya, Tante. Saya akan berusaha." 

"Nak Ratu harus tahu, sejak bergaul dengan lawan jenis, anak Tante jadi semakin nakal. Uang dalam laci selalu saja diambilnya. Saya mohon dengan sangat pergilah dari hidup Pian."

Saya membuat Pian cemburu. Saya dan Kak Bimba bersekongkol. Untuk terakhir kali saya meminta bantuan Kak Bimba, saya membayarnya 200 ribu. Kami pura-pura pacaran.

Pian sangat marah bahkan menghapus pertemanan kami di sosmed.

Jika sedang dalam masalah, barulah saya teringat pada kedua orang tua. Masih teringiang pesan mereka kala saya akan pergi ke kota menuntut ilmu. 

"Tolong kuliah yang sungguh-sungguh di kota ya, Nak. Hanya kamu satu-satunya alasan kami masih semangat menjalani hidup."

Saya mengangguk mendengarkan pesan mamak dan bapak. "Iya, Mak. Tapi tolong transferannya jangan telat-telat ya, kalau perlu lebihin biar saya longgar di kontrakan."

"Yang penting Ratu baik-baik di sana, bisa jaga diri, ya, Nak."

Tak lama setelah putus dengan Pian, saya bertemu Dio. 

"Sudah sampai Dek." Suara berat pak sopir membuyarkan ingatan saya akan Pian dan orang tua di kampung.

"Pinjam ponsel kamu." Dio agak bingung tapi tetap menyerahkan ponselnya. Saya lantas memberinya nomer saya. Tak lupa saya memintanya memberikan nomernya juga.

Sejak hari itu, kami bertukar kontak dan menjadi akrab. Kami sering melakukan pertemuan-pertemuan daqdakan. Awalnya hanya seminggu sekali. Lama kelamaan tiga kali seminggu lalu sekali sehari. Kami saling berbagi cerita saat sedang makan malam di luar. Kami juga minum-minum sampai sedikit mabuk. Dio membawa kebahagiaan baru dalam perjalanan masa muda saya yang jauh dari orang tua.

Saat menikmati secangkir sarabba, Dio cerita kalau dia anak ke tiga dan punya dua kakak perempuan. Mendengarnya saya merasa langsung klik. Saya pikir kami punya kesamaan. Sama-saka anak bungsu. Saya juga anak ketiga dengan dua kakak laki-laki. Bedanya Dio mengaku sangat menyayangi kakak-kakaknya sedangkan saya sebaliknya. Saya membenci kedua kakak saya. Membicarakannya saja saya langsung murung. Sejelek itu.

Dio hanya tertawa saat saya menceritakan bagaimana nakalnya kedua kakak saya itu. Raja itu pemakai, setiap dituduh kalau dia narkobaan, tidak pernah mau ngaku. Padahal nyata-nyata dia menyimpan barang haram itu di rumah. Pangeran, Kakak saya yang satu lagi sering bikin drama. Ngaku dirampok padahal pelakunya teman sendiri yang dibayar. Orang tua sampai harus menjual kebun untuk mengurus dua bocah itu.

Hampir setiap ada waktu senggang saya dan Dio memanfaatkannya dengan baik. Kami menciptakan memori indah. Nonton bareng, dengar lagu bareng dan berkeliling kota Daeng. Suatu waktu kami jalan-jalan ke Pantai Losari. Di waktu lain kami mengunjugi Tanjung Bayam, berenang di laut dan naik banana boat. Kami juga kulineran, menikmati makanan khas kota Makassar, ada coto, pisang epek, pisang ijo, pallu butung, juga es campur dan aneka jajanan lainnya. Kadang juga hanya nongkrong ngopi-ngopi di Circle K sambil melihat mobil berlalu lalang. Rasanya dunia hanya milik berdua. 

Laki-laki yang saya harapkan bisa menjadi sahabat seumur hidup.

Setiap kali bertemu Dio, dia selalu meminta jatah. Saya menolak dengan halus. Saya harus menyelesaikan kuliah dahulu baru boleh menikah.

Tapi bukan Dio namanya kakau tidak bisa membujuk saya. 

"Sayang, kamu tidak usah takut, saya akan tanggung jawab jika kamu hamil. Saya sangat ingin punya anak." 

Lagi-lagi itu yang dia katakan.


BERSAMBUNG...