Part 4
Saya kangen pada Dio, saya menelponnya berkali-kali tetap tak diangkat. Padahal panggilan terhubung.
Apakah Dio mencoba lari dari tanggung jawab?
Sejak tahu sedang hamil, saya tidak pernah lagi masuk kuliah. Saya tak mau ketahuan sedang mengandung. Sebisa mungkin menghindar dari teman-teman kampus dan keluarga, meski orang tua masih rajin mengirimkan uang. Uang itu saya pakai untuk bertahan hidup. Saya juga terus menerus mencari tempat persembunyian baru agar tidak terdeteksi. Berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain.
Saat itu saya benar-benar sendiri. Saya tidak pernah menyangka kalau mengandung anak ternyata bisa sepayah itu. Tiap pagi saya seperti orang masuk angin, panas-dingin, gemetaran lalu tiba-tiba mual dan akhirnya muntah-muntah.
Dio bahkan jauh, setelah tahu saya mendapatkan tempat tinggal yang lebih layak, dia kembali sibuk menjalani masa pendidikan sebagai calon pelaut di Samarinda.
Saya merasa sedikit cemas, masih pacaran saja Dio sudah begitu sibuknya, apalagi nanti kalau dia sudah ikut kapal pesiar, sebagaimana yang dicita-citakannya.
Setiap akan keluar rumah saya harus memakai pelindung wajah agar tak dikenali oleh siapa pun. Ini sangat merepotkan. Tak mengapa jika Dio mau diajak mengobrol. Dia seperti orang yang mencoba menghindar.
Tinggal di tempat baru tanpa kenalan otomatis tidak bisa seperti dulu. Dulu saya bebas jalan ke mana saja, benar-benar sesuka hati. Semoga saja perjuangan dan pengorbanan saya ini tidak disia-siakan oleh Dio.
Saya seperti orang pesakitan. Kepada kampus saya mengambil cuti dan pada teman-teman saya bilang ada urusan keluarga si kampung.
"Jangan-jangan Tutut dah mu merried ya."
Salah seorang teman menggoda.
"Paan sih, gak lah." Elak saya.
Sejak hari itu hidup saya berubah seratus persen.
"Dio kamu ke mana aja sih."
Saya menyerang Dio dengan pertanyaan yang penuh kekhawatiran.
"Lagi di tengah laut sayang. Maaf ya."
"Tapi ada jaringan loh, hanya gak diangkat."
"Iya, itu pas mau tak angkat telepon dah terputus, swlalu begitu. Mana gak ada pulsa buat nelpon balik."
Saya bergegas ke counter mengisi nomer Dio dengan pulsa seratus ribu. Saya berharap alasanny jujur. Bukan upaya untuk menjaga jarak. Di sisi lain saya senang. Saya berusaha percaya pada Dio. Perasaan saya sedikit lebih tenang.
Hari demi hari usia kandungan saya terus bertambah, sementara Dio semakin sulit dihubungi. Kalau pun berhasil ditelepon dia tidak seramah saat berada di samping saya. Suaranya terkesan emosional dan tidak seperti Dio yang saya kenal. Dio bahkan tidak pernah menanyakan kondisi bayinya. Saya merasa dia berubah total. Saya tidak menemukan Dio yang hangat, yang kerap membuat saya melayang-layang saking bahagianya. Saya rindu kata-kata cintanya yang membius.
Apakah saya masih bisa bersabar?
Bersambung...