Arogan
LOVE ME, SERSAN


Dia melamarku!

Laki-laki arogan itu melamarku dengan cara yang arogan. Sialnya aku menerima. Tepatnya tidak bisa menolak.

“Bu guru, besok Nadin merayakan ulang tahun di sekolah. Bu guru temenin, ya,” pinta gadis mungil usia lima tahun itu.

“Di sekolah? Pagi berarti, ya?” tanyaku. 

Ya, iya lah pagi. Anak TK sekolahnya, ya, pagi.

“Iya,” jawabnya.

“Kalau pagi, gak bisa, Sayang. Bu guru kalau pagi ngajar di sekolah, Bu guru,” balasku meminta pengertian. Dia adalah siswa bimbingan les privatku. 

“Terus Nadin sama siapa, dong, besok? Ayah gak bisa nemenin.” Anak ini mulai menangis. Aku mulai kelabakan. Mencari cara membujuknya.

Aku cuma guru les. Seharusnya hanya bertugas mengajarinya calistung. Namun, aku selalu dilibatkan dalam setiap pelik masalah rumah tangga ini. 

Nadin seorang anak dari tentara yang setiap waktunya tidak bisa diprediksi. Lima menit menentukan, begitulah ucapannya yang sering aku dengar. Dia tidak bisa memastikan apakah akan punya waktu untuk anaknya besok, karena meskipun sedang libur, jika tiba-tiba ada panggilan dari atasan, harus segera dipenuhi. Istri pertamanya adalah senjata. Perintah atasan harus dijalankan tanpa membantah. 

Sudah satu tahun aku membimbing anak ini, jadi sedikit tahu seluk beluk keluarganya. Ibunya memutuskan pergi dan menikah lagi. Kenapa mereka bercerai, aku tidak tahu dan tidak mau tahu. 

Laki-laki itu sangat menyayangi putrinya. Ini adalah satu-satunya hal positif yang aku tangkap darinya. Selebihnya, yang kutahu dia laki-laki paling menyebalkan karena sikap arogan dan pengatur. Apapun akan diberikan untuk Nadin.  Jika dia mengatakan tidak bisa pada gadis kecil itu, berarti memang tidak bisa. Bukan sekedar alasan. 

“Nadin masuk dulu, ya. Sama Eyang di dalam. Ayah mau bicara sama, Bu guru.” Tiba-tiba lelaki yang baru saja kupikirkan itu telah berdiri di dekat kami. 

Gadis kecil yang sebenarnya sangat menggemaskan itu berlalu dengan air mata mengurai di pipi. 

“Bisa 'kan, besok temani anak saya ulang tahun di sekolahnya?” tanyanya to the point, dengan wajah datar tanpa ekspresi. Sorot mata tajam dan dingin. Tidak terukir satu senyum pun di bibirnya. Tidak ada raut yang menggambarkan bahwa dia sedang meminta tolong. Yang ada justru aku menangkap dia sedang memerintahku. Dasar arogan.

Aku menghela napas. Kesal. Dia memang arogan. Apa pun keinginannya harus dituruti. Seolah aku ini bawahannya. Padahal aku adalah guru anaknya. Yang seharusnya dia hormati. Bukan diperintah seenaknya. 

Untung saja honor yang dia berikan lebih besar dari orang tua siswa lain. Jika tidak, aku enggan menerima Nadin sebagai bimbinganku. Aku mata duitan, ya? Ya, iya lah. Karena aku sedang bekerja, bukan sedang beramal atau menjadi sukarelawan.

“Gak bisa, Pak. Kalau pagi saya mengajar,” sahutku sambil menahan diri agar tidak terpancing emosi oleh sikap arogannya.

“Hanya satu hari, apa gak bisa ijin?” Seharusnya itu susunan kalimat tanya, tapi dia lontarkan dengan nada memerintah supaya aku ijin.

“Gak bisa seenaknya ijin, Pak. Kecuali hal darurat dan penting.”

“Kamu pikir anak saya tidak penting?” Aku tersentak. Masyaa Allah. Suaranya pelan, tapi terdengar dalam menekan. Ada nada marah atau tersinggung di dalamnya.

“Bu-bu-bukan be-gi-tu, Pak.” Nah, kan? Aku menjadi gugup, takut, dan seperti terhipnotis untuk tunduk padanya. Begitu takut ia marah, padahal dia siapa? Seharusnya dia menghormatiku. Guru anaknya. Meskipun Cuma guru les. 

“Alasannya akan kurang kuat, Pak. Saya dan Nadin tidak ada hubungan apapun kecuali guru dan murid. Orang akan memandang, tidak ada kepentingan saya untuk menemaninya merayakan ulang tahun di sekolah dan meninggalkan tanggung jawab,” tuturku panjang lebar. Semoga dia mengerti. 

“Kalau begitu bolos saja. Tidak usah ijin!” titahnya. Gila! 

“Saya bisa dipecat nanti, Pak,” timpalku cepat. 

“Ya, sudah! Berenti saja sekalian!” Dia emosi. Kenapa jadi dia yang emosi? Harusnya aku!

“Pak, pekerjaan itu penting untuk saya. Tidak mudah mencari tempat kosong untuk guru honor seperti saya,” tukasku kesal. Seenaknya dia bicara. Aku mendengkus kasar. Kalau dia mau memberiku makan, it's okay. Honor dari anaknya privat, mana cukup untuk hidup sebulan. 

“Sepenting apa?” tanyanya datar. Dingin menusuk. Melihat ekspresinya membuatku emosi dan terus mengumpat, “Dasar manusia arogan!”

“Sepenting hidup saya yang butuh makan,” sahutku asal. 

“Hanya masalah makan? Saya akan memberimu makan. Besok temani anak saya,” ucapnya memerintah. What? Dasar manusia arogan! Sombong! Angkuh! Pengatur! Napasku serasa ngos-ngosan menahan kesal dan emosi. Bisa-bisanya dia merendahkanku seperti itu. Memberiku makan? Walaupun sebelumnya aku bilang it’ s okay kalau dia mau memberiku makan, tapi bukan berarti itu harus jadi kenyataan. Astagfirullah ....

“Bapak tidak berhak mengatur saya seperti itu! Bapak bukan orang tua atau suami saya yang ....”

“Ya, sudah! Kalau begitu saya akan jadi suami kamu. Kita menikah malam ini!”

“Hah?” 

“Jika orang tuamu tidak bisa datang. Yakinkan mereka agar mau mengalihkan hak wali kepada pihak hakim. Ini hanya peresmian agar saya berhak memintamu menemani Nadin besok. Setelah malam ini, kita akan menikah lagi nanti. Saat itu, baru membawa orang tuamu.”

Aku melongo. Ini apa, sih? Dia ingin menikahiku, tapi tidak melamarku sebagaimana harusnya orang-orang melamar.

“Will you marry me?”

“Mau kah kamu menikah denganku?” 

Jadi melamar itu ada tahap menanyakan kesediaan. Kemudian ada tahap menanti jawaban. Sedangkan dia? Tidak ada pertanyaan bersedia atau tidak. Tidak ada kesepakatan. 

Semua sepihak darinya. Secara sepihak dia bilang akan jadi suamiku, tidak bertanya kesediaanku apakah mau menjadi istrinya. Secara sepihak melarangku memberitahu orang tuaku. Secara sepihak pula menentukan pernikahan malam ini.

“Aku antar pulang ke kos. Ambil semua barangmu.” 

Aku terdiam. Masih kesal, kaget, bingung, marah, dan entah apa lagi perasaan yang ada di dalam hati. Yang jelas aku tidak habis pikir. Benakku belum bisa mencerna.

“Ayo!” titahnya yang telah berdiri dan membawa kunci mobil. Seperti terhipnotis, aku menurut mengikuti langkahnya. Masuk ke dalam mobil ketika ia membukakan pintu. Menyebutkan alamat ketika ia bertanya di mana kosku.

Aku Anindyaswari. Seperti nama orang Jawa, tapi Melayu tulen Kalimantan Barat. Satu tahun lalu, menyelesaikan pendidikan S-1 di kota Khatulistiwa ini. Dengan alasan pekerjaan, aku memutuskan tetap tinggal di kota ini dan menunda pulang ke kampung halaman. 

Barangkali, takdir akan membuatku tetap tinggal di sini selamanya.
Bab
Sinopsis
1
Arogan
2
Setialah Padaku
3
Hari Pertama
4
Nurin
5
Bagian 5
6
Sersan Kusuma
7
Berdua Denganmu
8
Masa Lalu
no_image no_image
9
Perjalanan
no_image no_image
10
Bertemu Orangtua
no_image no_image
11
Kelam
no_image
12
Nikah Kantor
no_image
13
Sersan_Kusuma
no_image
14
Permintaan Nurin
no_image
15
Satu Kali Lagi
no_image
16
Praduga
no_image
17
Lelah?
no_image
18
Korem
no_image
19
Tamu Tak Diundang
no_image
20
Syarat
no_image
21
Jangan Pernah Letih Men...
no_image
22
PoV Kusuma
no_image
23
Cemburu Lagi
no_image
24
Tanya
no_image
25
Cerita Anin
no_image
26
Pra Tugas
no_image
27
Tugas
no_image
28
Memulai Sendiri
no_image
29
Permintaan Ilham
no_image
30
PoV Ilham
no_image
31
Meskipun Jauh
no_image
32
Bagian 32
no_image
33
Antara Suka dan Duka
no_image
34
Gugur Bunga
no_image
35
Dejavu
no_image
36
Bagian 36
no_image
37
Bagian 37
no_image
38
Epilog
no_image
39
Bagian 1 Season 2. Fare...
no_image
40
Bagian 2 Season 2. Jang...
no_image
41
Bagian 3 Season 2. Sela...
no_image
42
Bagian 4 Season 2. Baga...
no_image
43
Bagian 5 Season 2. Mint...
no_image
44
Bagian 6 Season 2. Lati...
no_image
45
Bagian 7 Season 2. Tema...
no_image
46
Bagian 8 Season 2. Ada...
no_image
47
Bagian 9 Season 2. Saya...
no_image
48
Bagian 10 Season 2. Amb...
no_image
49
Bagian 11 Season 2. Ban...
no_image
50
Bagian 12 Season 2. Ada...
no_image
51
Bagian 13 Season 2. Rid...
no_image
52
Bagian 14 Season 2. Mer...
no_image
53
Bagian 15 Season 2. Kam...
no_image
54
Bagian 16 Season 2. Say...
no_image
55
Bagian 17 Season 2. Vs...
no_image
56
Bagian 18 Season 2. Pel...
no_image
57
Bagian 19 Season 2. Nyo...
no_image
58
Bagian 20 Season 2. Ten...
no_image
59
Bagian 21 Season 2. Kar...
no_image
60
Bagian 22 Season 2. Ten...
no_image
61
Bagian 23 Season 2. Had...
no_image
62
Bagian 24 Season 2. Seb...
no_image
63
Bagian 25 Season 2. Ten...
no_image
64
Bagian 26 Season 2. Tan...
no_image
65
Bagian 27 Season 2. Per...
no_image
66
Bagian 28 Season 2. Ked...
no_image
67
Bagian 29 Season 2. Ins...
no_image
68
Bagian 30 Season 2. PoV...
no_image
69
Bagian 31 Season 2. Ser...
no_image
70
Bagian 32 Season 2. Pes...
no_image
71
Bagian 33 Season 2. Den...
no_image
72
Bagian 34 Season 2. Pem...
no_image
73
Bagian 35 Season 2. Sud...
no_image
74
Bagian 36 Season 2. Men...
no_image
75
Bagian 37 Season 2. Sam...
no_image
76
Bagian 38 Season 2. Bad...
no_image
77
Bagian 39 Season 2. Per...
no_image
78
Bagian 40 Season 2. PoV...
no_image
79
Bagian 41 Season 2. PoV...
no_image
80
Bagian 42 Season 2. End
no_image
81
Bagian 43 Season 2. Ext...
no_image