#Putri_Kedua_Kyai
#Nisrina
"Kau berulah apalagi? Nisrin?" Pertanyaan dosen penilai membuat dahiku berkernyit. Berulah? Aku sungguh tidak tahu apa jawaban dari pertanyaan itu.
"Kenapa bisa sampai nilaimu tidak disetorkan ke kampus? Kau tidak melakukan tugas jaga?"
Aku bahkan tak tahu kapan hari Minggu dan bukan hari Minggu saat itu. Mengingat seniorku yang bernama Mardiantoro itu selalu memberikan jam-jam padat saat aku ko-ass.
"Mungkin ada kesalahan, dok." Berusaha memberikan pembelaan sejujur-jujurnya, aku menjawab pertanyaan dokter dengan sesuatu yang tak pasti.
"Saya juga sudah mengikuti ujian performa mini-CEX, Dok. Setahu saya, Dokter Azwar sebagai ketua tim penguji merasa puas dengan hasil jawaban saya. Bahkan saat membaca hasil foto rontgen di stase Radiologi pun terbilang lancar, Dok." Dokter pembingbingku menarik kacamata di matanya dan memindahkan ke kepala. Dipijatnya cerukan mata di dekat kedua hidungnya, beliau terlihat lelah. Kemudian kacamata itu dipakainya lagi.
Aku tetap bersabar menunggu bagaimana reaksinya atas jawabanku. Hal ini sungguh membuatku frustasi, bayangkan saja, dua tahun menjalani ko-ass, bahkan aku masih membayar biaya kuliah karena meskipun kita sudah bertugas di rumah sakit sebagai dokter muda tapi kita masih terhitung di bawah naungan fakultas kedokteran dan masih berstatus mahasiswa. Sangat membuatku frustasi juga, harusnya semua tahapan yang kulalui ketika ko-ass sudah selesai dinilai, semua tes sudah kujalani termasuk tes di akhir ko-ass dimana aku harus menilai, menganalisis dan mengamati pasien langsung serta meresepkan obat kepadanya sesuai hasil diagnosa-ku. Istilah kedokterannya metode mini clinical evaluation atau mini-CEX.
Namun, hasil ujianku ditangguhkan dan aku gagal ikut ujian kompetensi dokter bersama teman-teman seangkatan.
Ayolah, Nisrin. Bisa ujian lagi nanti. Begitu terkadang aku menghibur hatiku, tapi ujian kompetensi sudah kayak UN, yang tidak sembarangan diselenggarakan. Semua diselenggarakan serentak seluruh negeri. Dan, itu sebentar lagi.
Dosenku melihat wajah letihku dari ujung kacamatanya lalu berujar, "baik. Akan kuuruskan. Kau sangat berpotensi Nisrin. Tetapi terkadang kau terlalu polos dan disepelekan orang."
Aku menyetujui hal itu dalam hati. Kupandangi wajah dosen pembimbingku yang luar biasa sabar. Dulu, masih kuingat saat materi FAAL alias fisiologi tubuh beliau memberikan nilai sempurna kepadaku ketika tes OSCE yaitu ujian di setiap akhir blok. Sebuah sistem ujian yang hanya dipakai di fakultas kedokteran.
"Kelak jika kau sudah menjadi dokter beneran, semua pasienmu akan senang tapi tidak dengan rekan sejawatmu." Pak dosen membenarkan letak tumpukan proposal di depannya lalu menyudahi konsultasiku detik itu juga.
"Kau terlalu banyak protes ini-itu. Kau juga selalu mengupayakan yang terbaik untuk semuanya, Nisrin. Dan bapak bangga dengan sikapmu ini." Meskipun aku masih kurang puas dengan jawaban beliau tapi terasa seperti sedikit oase di antara teriknya hatiku.
Lesu, melangkah keluar ruangan itu dengan menundukkan kepala, kucoba mencari setitik semangat yang masih menyala di hatiku. Angin bertiup ke mukaku, menerpa kerudung krem di kepala dan bayanganku teringat dengan syair puisi Mas Jamal yang dituliskan di lembaran pertama buku Sobotta-ku. Tepat saat aku melihat langit yang biru di sela liuk pohon sukun besar di depan kantor fakultas.
_
Tasalniy habiybaty
Malfarqu bainy wa bainassama'?
Annaki in dlohikat ansiy ilassama'
_
Duhai, Dinda. Tanyailah aku
Apa bedanya diriku dengan langit? (Bertanyalah seperti itu)
(Maka jawabanku adalah) Bedanya, saat kau tersenyum, maka aku lupa akan biru dan indahnya langit.
_
Lirih, kugumamkan lagi syair itu. Ketika aku jatuh cinta dengan lagu-lagu hepi Nancy Ajram, Mas Jamal menghempaskanku agar tetap mencintai Nizar Qabbani.
Saat aku berpaling menyukai musik band kotak alih-alih musik nasyid dan qasidah di antara santri-santri Abah, Mas Jamal menjejalkan puisi Nizar Qabbani agar aku bisa memaknai nelangsa dengan sukacita.
"Tidak suka, bukan berarti harus membenci, kan?" katanya suatu ketika, lewat surat yang diselipkan di antara atap jendela kamarku.
Dia, benar. Aku membenci dua musik itu karena Saphira mahir di sana. Tak jarang aku melihat sendiri sanjung puja puji Abah untuknya. Sementara di sisi lain, aku membawa pulang sertifikat penghargaan dari kampus sebagai peserta didik paling rajin dan paling berbakat.
Kugumamkan kembali syair itu, untuk melunakkan hatiku agar tidak terlalu larut dalam kebencian yang tak berujung.
Senyum mengembang di wajahku. Benar, catatan Mas Jamal dalam buku Sorbatta milikku itu mampu menjadi mood booster terbaik hari ini. Disaat yang sama pula aku merasa bersalah kepada Mas Rangga. Buku itu adalah buku anatomi tubuh pertama yang diberikannya kepadaku. Bukan buku baru, tapi buku itu nyaris tanpa coretan. Entah bagaimana cara lelaki itu bisa mengenal dan memahami anatomi tubuh manusia yang rumit itu dengan gemilang. Sementara aku selalu menentengnya kemanapun dan membacanya berkali-kali demi bisa hapal di luar kepala. Sorbatta Rangga dan puisi Nizar Qabbani yang dituliskan Mas Jamal di halaman pembukanya. Aku suka membaui kertas Sorbatta karena ada ketulusan di sana.
Pemberian itu adalah usaha Mas Rangga untuk menunjukkan bahwa dia memiliki perasaan terhadapku. Aku tahu itu, tetap saja, meskipun aku tahu pesona Mas Jamal masih belum bisa teralihkan. Mungkin karena aku memang terlalu polos. Mencintai siapapun yang hadir dengan hangat pertama kali dalam kesunyian hatiku. Hampir saja kupencet panggilan ponsel ke nomor Mas Jamal dan menumpahkan segalanya.
Namun, langit mendadak mendung. Dan kekhawatiran lain menyeruak lubuk hatiku. Alih-alih memenuhi undangan teman-teman makan geprek yang tak habis-habis karena sibuk ngobrol, aku mempercepat langkahku menuju fakultas Teknik dan memeriksa apakah montir yang memperbaiki motorku sudah selesai.
Jauh di ujung mataku, di sela rintik hujan yang mulai turun, terlihat Mas Rangga duduk berjongkok di dekat motorku. Wajahnya coreng moreng, rambutnya mulai basah karena curah hujan. Dia, bahkan tersenyum puas saat motorku berhasil distarter olehnya. Dia memegang starter di sebelah kanan, mengegasnya dengan perlahan lalu melihat ke arahku. Mata kami bersirobok dan dia tersenyum dengan manis ke arahku.
Bodohnya aku. Senyumnya menular ke wajahku.
***
"Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un." Serempak orang-orang di luar ruang gawat darurat rumah sakit mengucapkan kata itu.
Abah menangis di dekat ranjang ibuku, sementara aku menunggu dan mengintip di luar dengan dua mbak santri yang mendadak berubah wajahnya. Mereka juga menitikkan air mata saat memelukku.
"Ning, yang sabar. Ya? Insyaallah Ibu husnul khatimah."
Aku mengeja kata-kata dua mbak santri itu. Tubuhku lemas lalu merosot dan tak sadarkan diri. Hingga beberapa saat berikutnya aku terbangun di dalam ruang IGD tertidur dengan posisi yang bersisian dengan ibuku.
"I-bu." Terbata, aku memanggil namanya.
"I-bu."
"Kau akan tinggal dengan Abah, Nak. Kau akan baik-baik saja." Abah memelukku, pertama kali, juga terakhir. Karena selepas dia mengucapkan janji itu tak pernah lagi kumerasakan pelukannya yang dulu. Aku bahkan sudah lupa bagaimana hangat pelukan itu.
Sadar bahwa aku membayangkan masa lalu, aku mencoba kembali menatap senyum Mas Rangga di kejauhan. Rasanya, kehangatan yang sempat kulupa datang kembali ketika ada seseorang yang memperhatikanmu dengan tulus.
Sehangat inikah rasanya jika Abah yang tersenyum ke arahku?
***
Tiba di rumah dengan basah kuyup. Aku menolak uluran tangan Mas Rangga untuk mengantarku. Ketika gelegar petir datang, aku memutuskan meninggalkan fakultas teknik dan menyetop mobil seorang kawan. Meskipun demikian, aku harus basah ketika berjalan dari arah depan gang pondok hingga ke rumah Abah.
Tak ada sambutan hangat kala aku menjejak di atas lantai ubin lawas yang cantik itu. Beberapa anggrek yang bernaung di dekat pohon mangga samping rumah seolah sibuk mengagumi keindahannya sendiri. Sayup-sayup terlihat bisik manja Saphira kepada Abah, meminta untuk dibelikan ronde hangat di ujung gang.
Saphira menolak jika Mas-Mas yang membelikan, harus Abah yang ke sana dan membeli bersamanya. Niat hati berbalik lewat ke belakang tapi sayang, Abah dan Saphira sudah membuka pintu lebih dulu. Di tangannya sebuah payung besar bertuliskan nama pesantren siap dibuka di pinggir teras.
Kami bertiga saling bertatapan.
Tepat di belakangnya, Bunyai Maryam berdehem.
"Abah, cepat berangkat. Nanti keburu rondenya habis."
Saphira tersenyum manis mendengar pembelaan ibunya.
"Cepat masuk." Itu saja yang diucapkan Abah, sebelum dia berlalu bersama Saphira memakai payung lebar itu berdua. Mataku mendadak berair, mungkin bekas tetesan air hujan di atas kerudungku yang baru mencair atau memang mataku basah karena air mata. Sesuatu di hatiku terasa pedih atas semuanya.
Bunyai Maryam kemudian menutup perlahan pintu itu. Tanpa suara. Aku berbalik ke belakang lalu sengaja menyembunyikan tangisku dengan air hujan yang kian deras menitik di antara titik-titik talang tempat jatuhnya air dari atas genteng.
Kemudian ingatanku kembali mengingat saat itu. Dulu ....
"Bagaimanapun, dia harus memanggil Saphira sebagai kakak. Walaupun lebih tua dia beberapa bulan." Bunyai Maryam berdiskusi dengan suaminya di meja makan. Aku yang mendengar ucapan itu hanya bisa diam dan menangis dalam hati. Sementara cecak di dinding dekat kamarku seperti berteriak menyoraki kemalanganku.
Apakah setiap mereka yang menjadi ibu tiri itu berat jika menyayangi mereka yang terlahir tidak dari rahimnya? Ada yang tidak, kan?
Kasih dukungan ben semangat melanjutkan lah ya. Sepuluh ewu jempol ya, piye? Tinggalkan jejak. Monggo ?