Kejutan
#Putri_Kedua_Kyai
#Nisrina
Part 7

___

[Kejutannya adalah ....]

[Kami sekalian akad nikah]

Tanganku bergetar, tangisku merambat di pipi. Es krim yang dibelikan Mas Rangga menjadi asin karena aroma air mata. Sedangkan keindahan danau buatan di kampusku sirna karena kedukaan dan kata-kata Mas Rangga menyelusup dalam di ruang hatiku.

"Kau tahu, Nisrin? Terkadang kita perlu menghabiskan air mata kita hari ini untuk tersenyum banyak kemudian." Mas Rangga tak menatap ke arahku. Saat aku mendengar lirih ucapannya tangisku sedikit mereda dan kulirik wajahnya yang duduk tenang di sampingku. Matanya lurus menatap riak air yang berkecipak karena batu yang dilemparnya ke dalam  danau.

"Berbicara cinta dan rasa kepadamu itu bagaikan bicara dengan batu-batu ini. Dia tenggelam di dasar dan tak akan naik lagi untuk memberikan sebuah jawaban."

Dahiku mengerut. Apa maksud ucapan Mas Rangga?

Sadar dengan tatapanku kepadanya, dia menoleh.

"Ciluk Ba! Serius amat, Lady," kelakarnya. Dia mengambil ranting pohon sekenanya lalu menepuk-nepukkannya pelan ke atas kepalaku.

"Anggap saja ini elusan penyemangat dan penenang. Bukan mahram jadi gak boleh sentuh-sentuh." Mas Rangga kembali melontarkan guyonannya yang membuat kesedihanku sedikit mereda. Sedikit saja.

***

"We will confirm your acceptance soon." Mas Yoyok, sesepuh Fakultas kedokteran yang bertugas sebagai penanggung jawab penerimaan beasiswa itu memberikan kabar bahagia kepadaku. Kami disuruh menunggu tiga jam setelah tes untuk memberikan kabar penerimaan langsung. Mengingat proses pengajuan beasiswa yang sudah sangat panjang dan lama maka setelah proses wawancara hasil harus segera diumumkan.

"Benarkah itu, Mas?"

"Iya. Aku bukan Rangga yang tukang ngibul. Mana pernah mau dia ngaku ke kamu kalau setiap semester dia beli buku dobel buatmu dan buat dia sendiri."

Untunglah, kami sedang berada dalam ruang seminar sehingga hanya ada aku dan Mas Yoyok tanpa Mas Rangga, di mana saat itulah aku tahu semua kebenaran yang disembunyikan Mas Rangga kepadaku.

"Dia, bahkan menunda masa internship-nya buatmu." Mas Yoyok menghenyakkan kesadaranku kali ini. Beritanya barusan membuatku bingung antara harus bahagia atau sedih.

"Di mana seharusnya dia di tempatkan, Mas?" tanyaku ragu-ragu.

"Sst. Rahasia, ya. Jangan bilang aku yang bocorin. Rangga tuh paling anti sobatan sama cowok yang ember."

"Mbeeer," sahutku dengan dua jempol mengarah ke Mas Yoyok.

"Puskesmas pulau Maratua di laut Sulawesi."

***

"Tak lagi nangis, deh. Kayaknya. Tuh, liat senyum-senyum sambil keluar ruang." Mas Rangga menyambutku dengan riang seperti biasa. Meskipun sejujurnya aku mengharapkan Mas Jamal yang ada di posisinya tapi itu hanya akan tetap jadi ilusi saja. Terakhir kali ini saja aku membayangkan wajah Mas Jamal, esok hari aku harus mulai melupakannya. Dia milik Safira sekarang, suka atau tidak suka.

"Iya, Mas Yoyok sudah kasih pengumuman tadi dan ... aku ...."

"Gak usah diteruskan. Aku tahu kau bakal lulus." Mas Rangga memotong kabar dariku dan dia sudah mengulurkan sebuah botol minuman berasa.

"I-ni?"

"Susah nyari bunga di sini, adanya itu. Teh dengan botol yang gambarnya bunga Chamomile. Tak payah buatku pake metik di ladang bunga, kan?"

Mas Rangga selalu punya cara untuk membuatku tersipu.

"Terima kasih." Kupegang minuman dalam botol itu dengan erat cenderung mendekapnya kemudian aku memintanya mengantarkan pulang.

"Memang kenapa kamu tadi nangis seperti itu? Panik karena ujiannya?" Mas Rangga bertanya dengan hati-hati. Aku lupa, dia tidak tahu kalau Mas Jamal menikah dengan Safira. Dia hanya tahu kalau akan bertunangan dengannya.

"Gimana gak panik. Kukira tesnya tadi adalah praktek dan lain-lain ternyata ... membuat origami kecil dari kertas dan kita harus membuatnya make Scalpel Cutting Knife. Susah kan itu?" Entah kenapa aku sangat antusias menceritakan hal itu kepadanya. Sepertinya Mas Rangga percaya kalau itu saja sebab kepanikanku.

"Aah. Harusnya sih mudah. Kau pernah memegangnya berkali-kali, kan?"

"Tapi tidak dengan memakainya membuat origami. Harus mungil lagi," keluhku.

"Karena kau bakal terbang ke Jepang. Kalau ke Rusia pasti kamu bakal disuruh bedah Serigala." Entah apa maksudnya Mas Rangga ini.

"Serigalanya Masha, Lady. Serius amat."

Sialan.

***

Hari sudah malam saat aku tiba di rumah. Suasana masih ramai dan banyak tamu hilir mudik. Sebuah kado di tanganku menggantung di antara keraguan. Memberikannya kepada Safira atau kuacuhkan saja? Kemudian jawaban itu muncul. Mas Jamal keluar dari kamar Safira diikuti Safira yang memakai mukena. Mereka, sepertinya selesai salat berdua. Kami bertatapan beberapa detik lalu kualihkan pandangan kepada Safira. Rona bahagia terpancar di sana.

"Kukira, kau akan lupa memberiku ucapan selamat, Nisrin." Safira berjalan ke arahku lalu memandang kado yang kubawa.

"Ah, iya. Sebelumnya kukira kalian hanya akan bertunangan. Tak tahunya ...." Aku tak bisa meneruskan kalimat itu.

"Mas Jamal sih, bikin bingung." Safira mendekat kembali ke arah Mas Jamal dan bersikap centil.

"Dia yang meminta sekalian akad saja."

Percayalah, ucapan Safira bagai bledek yang menyambar kewarasanku. Entah atas dasar apa Mas Jamal meminta pernikahan itu? Kurasa, semua ucapan cintanya saat itu hanya platonik saja. Gadis labil sepertiku cepat terbuai dan percaya. Kenyataannya, semua lelaki sama. Ketika disajikan cawan bergelimang madu, mereka akan menyambar tanpa berpikir menggunakan rasa.

"Benar, kan, Mas?" tanya Safira meminta penegasan. Mas Jamal mengangguk dan itu sudah cukup bagiku memperjelas posisinya sekarang. 

Bayangan Mas Rangga kemudian berkelebat lagi di benakku. "Masa lalu itu harus seperti asap. Terkadang menyesakkan, tapi kadang juga menempel saja tapi baunya menyengat. Tak ada yang baik dari asap, kecuali ... harus ditinggalkan."

Bersambung ♥️😍

Siapa yang kangen Nisrina?

Share yuuk biar banyak yang baca.