5. Akad Cinta : Tak Sengaja Berjanji
Andai jika ada kamus bahasa asmara, aku ingin tahu arti hubungan kita ini seperti apa. Karena saat aku ingin ungkap rasa kesal pada dunia, kamu jadi sasaran pertama.

🌻🌻🌻

Arta datang ke kantor hari ini. Karena acara shooting pertama akan dimulai, dia harus datang ke acara syukurannya untuk memotong tumpeng. Atasannya tidak bisa hadir karena sedang seminar ke India. Jadi dia sebagai salah satu atasan tertinggi, walau masih PLT harus hadir menggantikan.

Ketika Arta datang, semua staf masih menyiapkan acara. Arta hanya bertugas sampai film ini selesai, setelah itu dia kembali ke jabatan semula sebagai pimpinan divisi. Itu alasan kenapa gaji Arta belum tinggi.

"Pak, Anda sudah datang paling awal. Padahal staf lain masih dalam perjalanan," ucap kepala staf.

"Tak apa. Kelihatannya artis-artisnya juga sudah hadir." Arta melirik ke arah jajaran artis yang tengah membuat video untuk diunggah ke media sosial mereka. Mungkin dalam rangka promosi dan juga memperlihatkan kegiatan mereka sehari-hari.

"Kalau artis lain sudah biasa tepat waktu, Pak. Hanya saja ...." Staf itu sedikit mendekati Arta. "Ada artis yang biasanya datang paling akhir dan sekarang datang paling awal tak seperti biasanya. Sampai seluruh staf dan artis pendukung kaget," bisik kepala staf.

"Oh ya? Siapa?" Arta satu-satunya orang yang biasa saja mendengar itu.

"Praha Vienna Samara Maverick. Dia sedang ada di ruangan khususnya. Stafnya juga ada di sana," ungkap staf itu.

"Ruangan khusus?" tanya Arta bingung. Dia melipat tangan di depan dada. "Dengar, memang ini acara panggung hiburan? Ini cuman syukuran. Kenapa harus ada ruang khusus bagi artis? Lagian kita belum take, kan? Jangan perlakukan satu artis lebih spesial dibandingkan yang lain," tegas Arta.

"Pak, kami masih butuh minyak goreng," jawab staf itu dengan polosnya.

"Apa hubungannya dengan ...." Di sana kabel kepala Arta langsung bersambung. Dia menepuk kening. "Bocah ngeselin itu?" tanya Arta. Kepala staf tadi langsung mengangguk.

Arta melangkah menuju ruangan khusus yang tadi stafnya tunjuk. Dia tak berani langsung masuk. Sudah Arta pikirkan matang-matang untuk menjauh dari bocah itu. Untung staf Praha tidak ada di sana. Saat mengintip dari pintu, Arta tertegun melihat Praha tengah membaca buku dengan sampul hitam. Arta kenal bentul sampul itu karena menemani masa kecilnya mengaji di sebuah masjid kecil di kampung. Dia cekikikan hingga tak sadar Praha mendengar.

Praha berbalik dan saat itu Arta kaget hingga mundur dan kepalanya terbentur lemari. Dia kesakitan sampai mengusap kepalanya. "Hei, ngapain ngintip anak gadis? Kalau suka tembak saja!" sindir Praha.

"Hilih! Jangan kePDan, bocah! Lagian aku ngintip mau mastiin saja kamu lagi jinak!" timpal Arta sambil berkacak pinggang. Dia rapikan dasinya.

Praha yang tengah duduk bersila di atas kursi putar menyandarkan lengan ke sandaran kursi. "Apa susahnya bilang kamu kangen aku, sih?"

"Susah karena aku sama sekali enggak kangen sama kamu!" sewot Arta. Dia menyadarkan bahu ke pintu. "Umur kamu sudah enam belas, kan? Masa masih baca iqra? Hei, keponakan aku saja yang masih balita sudah baca Al-Qur'an!" ledek Arta. 

"Orang tuanya agamanya apa?" tanya Praha.

"Ya Islam, lah!"

Praha geleng-geleng kepala. "Orang tuaku sampai hari ini saja masih pindah-pindah agama. Mereka padaku juga begitu. Katanya bebas aku mau pilih yang mana. Wajar enggak kalau aku masih belum bisa baca tulisan Arab?" 

Arta mengusap dagunya. "Kamu belajar sama guru agama. Kalau kamu sudah bisa kaidah bacaan dan bunyi huruf alphabet, aku yakin pasti cepat langsung baca Al-Qur'an." Arta masuk ke dalam. Dia lirik buku yang Praha baca. "Kalau sudah iqra empat begitu mending langsung baca Al-Qur'an saja sambil didampingi."

Praha tersenyum. "Kalau kamu yang dampingi gimana?" pinta Praha.

"Ngimpi! Lagian aku alergi sama kamu. Bisa-bisa aku mimpi buruk ketemu kamu tiap hari." Arta bergidik.

"Awas loh, singkatan kata benci itu benih cinta." Praha kedipkan sebelah mata.

"Dengar bocah, perjalanan kamu masih panjang. Sedang aku yang sudah tua ini, sudah waktunya menambatkan hati pada wanita yang cukup umur," tolak Arta.

Praha menunduk. Dia tutup buku iqranya. "Cuman nunggu dua tahun lagi, aku sudah bisa dinikahin, loh."

"Emang kamu enggak mau kuliah dulu?" Arta duduk di atas meja rias.

"Aku ingin mengurus kamu dan anak kita kelak," jawab Praha sambil tersenyum.

Arta melambai-lambaikan tangannya di depan mata Praha. "Apa sih yang kamu suka dari aku? Aku saja baru ditolak cewek."

Praha saat itu langsung menyimpan iqra dan memukul meja rias. Jelas Arta langsung kaget. "Astaghfirullah! Kamu itu kesurupan apaan, sih?"

"Siapa dia? Yang berani nolak kamu? Matanya siwer apa otaknya miring?" tanya Praha.

"Nah, benarkan? Aku ini pantas dicintai. Kayaknya emang mata dia siwer dan otaknya miring," timpal Arta.

"Sudah, wanita kayak gitu lupain saja dan pacaran saja sama aku."

"Ogah!" tolak Arta. Praha manyun. "Aku lebih baik ditolak kamu saja, bakalan syukuran aku."

"Kok gitu?" tanya Praha dengan nada manja.

"Kamu saja masih iqro empat, gimana mau ajarin anakku agama? Terus lagi, mana ada ibu yang manjanya sebelas dua belas sama anaknya? Apalagi belum apa-apa sudah bikin laki-laki keder enggak kebagian minyak goreng," omel Arta.

"Aku kan bisa berubah."

Arta menggelengkan kepala. "Aku enggak mau nunggu orang berubah. Maunya yang sudah jadi! Kamu cari saja laki-laki lain. Cuman ingat, cari laki-laki yang mirip Papamu. Karena dia bisa jaga kamu dengan baik," nasihat Arta.

"Kamu apa enggak tahu? Waktu masih muda, papaku doyan selingkuh? Kalau Mama dan Papa berantem, Mama pasti sering bahas itu," celetuk Praha.

"Astaghfirullah, Nak. Urusan rumah tangga keluarga ibu dan ayahmu jangan dibilang sama orang lain," nasihat Arta.

"Orang lain sudah tahu. Mama dan Papaku itu artis. Aku saja masih bisa nonton ulang berita Papaku selingkuh sama mantan pacarnya." 

Arta mengedipkan mata. "Hidup ini memang berat, Nak. Doa saja nanti kamu tidak kayak gitu, ya?" Arta langsung turun dan berjalan keluar.

"Hei, Amarta!"

"Om!" ralat Arta.

"Kan aku bilang cinta enggak mandang umur! Kalau aku bisa baca Al-Qur'an, enggak manja lagi dan bikin kamu nyaman sama aku, kamu akan nikahin aku, kan?" tanya Praha.

Arta tersenyum. "Tidak mau!"

"Mau!" tegas Praha. Dia lari dan memegang lengan Arta. "Kalau enggak bilang mau, aku enggak akan lepas, nih!" ancam anak itu.

"Kita bukan mahram, wey! Lepas! Kamu mau bikin aku masuk neraka?" Arta mengeluarkan sapu tangan dan mencoba menoyor kening Praha sambil melapisi tangan dengan itu.

"Bodo amat! Biar aku terus pegang sampai kamu bilang kamu mau! Atau mau aku peluk!" Praha semakin keras saja.

Arta tentu kelabakan. Apalagi pegangan Praha di lengannya semakin erat. "Iya! Tapi tunggu kamu dewasa dulu!" tegas Arta.

Praha tersenyum menang dan melepaskan lengannya. "Oke, calon suami!"

Arta bergidik dan meninggalkan ruangan. "Itu juga kalau aku enggak nikah sama orang lain," batinnya.