Hari libur ini atas permintaan Kakaknya, Arta pulang ke Bandung. Dia menyetir melewati tol selama tiga jam lebih dan keluar dari pintu tol buah batu. Agak macet di perempatan Buah Batu dengan jalan provinsi hingga akhirnya Arta bisa lewat dan meneruskan perjalanan ke bagian atas kota Bandung.
Pria itu tiba di sebuah rumah mewah dengan pagar tinggi menjulang hingga bagian dalamnya tak terlihat. Tanaman Ivy menghiasi pagar putih rumah. Arta turunkan kaca mobil, dia menyalami satpam yang langsung membukakan pintu. Kini mobil Arta masuk ke dalam gerbang dan menelusuri jalan rumah hingga berhenti di carport.
Selama ini Arta sebenarnya hidup dalam kemewahan. Kakak iparnya, Albi pemilik hotel bintang lima di Bandung, Bali, Lombok dan Sulawesi. Namun, Arta orang yang tahu diri. Dia hanya adik ipar yang sebenarnya tidak wajib untuk Albi hidupi. Meski kakak iparnya mendaftarkan ke sekolah elite, Arta tolak. Alasan pria itu tak bisa bergaul dengan orang kaya. Jadilah Albi turuti kemauan Arta masuk ke SMA Negeri.
Arta pulang pergi diantar sopir saja minta diturunkan jauh dari gerbang karena takut teman-temannya tahu dia kaya dan minta traktiran, sementara dia masih dapat uang jajan dari kakak iparnya. Hanya satu yang Arta turuti, kuliah di Cornell University meski dia bersikeras ingin masuk UNPAD seperti Hastina. Sayang, Albi terus memaksa hingga tidak mau bicara dengan Arta lagi.
Pria itu turun dari mobil. Dia masuk ke dalam ruang keluarga. Sudah ada beberapa pelayan yang menyalami. "Akhirnya datang juga kamu!" Tala, kakak Arta mengusap rambut adiknya.
Arta menyalami kakak dan kakak iparnya. "Maaf aku telat, habis salat subuh ketiduran. Terus di Buah Batu macetnya luar biasa," keluh Arta sambil duduk di sofa.
"Terus gimana Ibu? Dia enggak telepon kamu lagi?" tanya Tala.
Arta menggelengkan kepala. "Aku sudah bilang kalau butuh uang buat berobat, aku minta struknya. Dia malah terus berkelit. Aku sudah kesal waktu ketahuan belanja dengan anak tirinya," ungkap Arta.
"Tuh, Pa! Aku bilang juga apa? Ibu itu bukan sakit, tapi manfaatin adikku! Arta baru juga kerja sudah diperas kayak gitu. Jangan mikir karena dia ibuku, jadi kamu pikir harus ikut berbakti. Jangan lupa, dia pernah buang kami," tegas Tala.
"Iya, tapi jangan sampai kamu lupa seutuhnya sama ibu kamu," nasihat Albi.
"Ibuku kalau diperhatikan sekali makin ngelunjak, Papa!" balas Tala.
Arta tersenyum kecil. Dia lirik ke samping melihat keponakannya tengah duduk bersila. "Kamu enggak main, Bit?" tanya Arta.
"Malas. Paling nongkrong lagi, godain cewek, main game," jawab Bikasa, keponakan Arta yang sering dia panggil Obit.
"Ya memang begitu kerjaan anak lelaki seusia kamu. Memang kamu harap apa? Bangun candi?" ledek Arta.
"Mang Arta, main kartu, yuk!" ajak anak itu.
"Tidak! Hari ini Ibu mau ajak kalian semua jalan-jalan ke tempat healing!" tegas Tala.
Jadilah mereka liburan keluarga di Lembang. Kebetulan memang ada tempat wisata di mana banyak replika dunia di sana. "Ini yang bahagia Ibu saja, kita enggak," protes Bikasa.
"Maklum Ibu kamu kan masa kecil kurang bahagia!" timpal Arta. Sayangnya Tala mendengar itu semua dan langsung dijewer telinga anak dan adiknya itu.
"Jangan banyak protes kalian! Lihat di sini banyak cewek! Sana cari yang cocok buat Mamang kamu!" tegas Tala pada Bikasa.
"Yang itu, Mang!" tunjuk Bikasa pada seorang wanita dengan tumbuh jangkung dan perhiasaannya yang banyak. Tak tahu itu emas asli atau bukan, yang jelas gelang sampai sikut dan kalungnya berbandul besar.
"Astaghfirullah! Yang berlebihan itu tidak baik, Nak!" tolak Arta. Albi hanya tertawa melihat tingkah mereka. Dia masih menuntun putra kembarnya berjalan.
Arta dan Bikasa sempatkan membeli makanan khas Korea pesanan Tala yang memang sudah teracuni drama juga idol-idolnya. Saat mengantre itulah, Arta mendengar suara wanita memanggil hingga berbalik.
"Kan, beneran Amartaku!" tunjuk Hastina.
"Kamu lagi ngapain di sini? Sama siapa?" tanya Arta.
"Sama Pandu, sih. Jangan bilang sama Abi, ya?" pinta Hastina.
"Astaghfirullah, walau dia calon kamu sebaiknya jangan pergi berdua dulu tanpa sepengetahuan Abi, Na. Abi pasti kecewa!" omel Arta.
Bikasa menatap kedua orang itu. Baru kali ini dia bertemu dengan Hastina. Namun, kelihatannya Mamangnya akrab dengan perempuan itu.
"Aku enggak macam-macam, Ar. Lagian kami datang pakai mobil!" timpal seseorang yang datang menghampiri.
"Tetap saja, Pandu! Kamu enggak bisa begitu! Hastina masih tanggung jawab orang tuanya. Apa pun perbuatan dosa yang dia lakukan, orang tua akan ikut menanggung." Amarta tetap pada pendirian.
"Memang aku ngajakin dia apa? Aku cuman ajak dia jalan-jalan buat rehat!" Mata Pandu menatap Arta dengan tajam.
"Kamu tahu alasan Abi tidak izinkan dia pergi berdua dengan lelaki tanpa izin? Sekarang telepon Abi dan bilang ada aku juga di sini. Jangan bohongi Abi kalau memang hanya sebatas jalan-jalan," saran Arta.
"Jangan sok ngatur, Ar. Memang kamu siapa? Saudara Hastina bukan, kakaknya juga bukan." Pandu tunjuk tubuh Arta.
"Memang kamu juga siapa? Kenapa berani menunjuk pamanku kayak gitu?" Lawan Bikasa. Karena masih remaja, emosinya masih meledak-ledak.
"Dengar, ya! Kalau aku mau, aku juga bisa bayar gaji pamanmu! Dia enggak ada apa-apanya di depanku!"
"Songong! Emang punya usaha apa?" Bikasa meraih kerah kemeja Pandu. Langsung Arta tarik tubuh keponakanya itu.
"Sudah! Pandu, tolong jaga ucapan kamu. Gimana pun Arta teman kita. Dan Arta, jangan ikut campur urusan pribadi aku. Pandu benar, hubungan kita cuman sebatas teman. Jangan kelewatan!" tegas Hastina.
"Kamu kok jadi berubah gini sih, Na?" tanya Arta.
Hastina memalingkan pandangan. Pandu tersenyum meremehkan. "Hastina itu calon istriku. Aku bebas bawa dia ke mana pun. Kalau kamu enggak suka, kenapa enggak perjuangkan perasaan dia? Paling enggak kasih dia sesuatu yang pantas, rumah yang bagus, mobil yang mewah dan harta yang banyak," ledek Pandu.
"Segimana mewah mobil kamu, hah? Pamanku ulang tahun saja dihadiahi Ferarri enggak sombong!" balas Bikasa. Arta langsung menahan keponakannya.
"Bikasa, ingat Mang Arta bilang apa? Kalau kamu bisa usaha pakai keringatmu sendiri, baru boleh sombong. Kalau masih dibantu Papamu, apa yang bisa disombongkan?" tegas Arta.
"Iya, aku memang tidak pantas untuk Hastina. Mau pantas pun untuk apa? Aku sama sekali tidak berniat menikah dengan dia. Aku hanya menghargai guru agamaku. Dia memberi penerangan pada murid-muridnya. Sungguh sangat sayang jika keluarganya sendiri malah membuat sekitarnya gelap," balas Arta.
"Dan satu lagi Pandu. Rumah, mobil, gaji yang kamu bilang, itu konsep materimu. Lain denganku. Aku hidup dengan perjuangan, bukan privelege!" Arta langsung meninggalkan mereka berdua dia sana sambil menarik Bikasa.
"Woy! Kapan ketemuan kita? Biar adu luas tanah sama harga mobil!" teriak Bikasa yang masih belum terima kalah saing.