Amarta, Hastina dan Pandu saling kenal dari masuk SMA Negeri yang sama di Bandung. Karena putri seorang guru agama, Hastina tak pernah mau berpacaran dan fokus pada cita-cita. Jadilah hubungan Amarta dan Hastina hanya sebatas sahabat.
Setelah lulus SMA, Hastina kuliah di Yogya hingga S2. Sedang Arta, meski mengaku kuliah di Jakarta, dia sebenarnya pergi ke Amerika. Dia memang bukan orang yang senang pamer dengan kekayaan. Apalagi biaya sekolahnya ditanggung kakak ipar. Arta sangat tahu diri jika dia hanya menitipkan hidup. Karena itu dia belum berani melamar sang pujaan hati.
Sedang Pandu memang putra pengusaha rongsokan di Bandung yang omzetnya bisa sampai pulahan juta. Kini usaha papanya itu dia lanjutkan. Bisa dibilang, Pandu jauh lebih mapan dibanding Arta yang masih menyewa apartemen.
Arta memang akan selalu kalah oleh Pandu dalam banyak hal. Pandu punya keluarga kaya, sedang Arta sudah ditinggal meninggal bapaknya sejak SD. Ibunya kabur dan menikah lagi dengan lelaki lain. Bahkan wanita itu tak pernah mengakui Arta sebagai anak dulu.
Meski pikirannya masih gusar, Arta tetap pergi bekerja keesokan hari. Rumah produksi tempat dia bekerja akan membuat sebuah film layar lebar. Dan hari ini dia harus melihat proses pembacaan naskah pertama. Namun, dia malah menghadapi sikap tidak mengenakan dari salah satu artis muda yang usianya jauh lebih muda dari dirinya.
"Halo!" sapa artis itu di telpon. Semua orang di ruangan itu melirik ke arah sumber suara. "Iya, aku 'kan bilang jangan terima dulu kalau belum pasti! Tawarannya sama sekali enggak menarik! Gila, dong!" omel orang itu dengan suara keras sambil menaikkan kedua kakinya ke atas meja.
Ruang rapat mendadak sepi. Beberapa ada yang terbatuk memberi tanda, tetapi gadis itu tetap saja menelepon dengan suara keras. "Bercanda? Apa dia enggak tahu aku siapa? Katakan, kalau aku bilang enggak, artinya enggak!" tegas wanita itu.
Tidak ada satu pun yang berani mengeluarkan kata. Wanita itu bukan hanya terkenal sebagai aktris dan penyanyi papan atas pun anak dari pengusaha kaya. Ibunya juga artis dan papanya seorang penyanyi.
Dia memainkan kuku jari sambil digerakkan. Kemudian ditiup setiap ujung kuku lalu tersenyum melihat hasil karya penghias kuku yang mempercantik organ tubuh itu.
Sedang Arta yang sedang memberikan penjelasan di depan sana merengut. Dia harus berhenti melakukan presentasi akibat kejadian ini. Tangan Arta menggulung lembar presentasi. Dia berjalan mendekati Si Gadis dan dalam sekali ayunan gulungan itu ditepuk di atas kepala artis tadi hingga mengaduh.
"Kamu gila, ya!" bentak artis itu sambil berdiri. Matanya melotot tajam ke arah pria yang memukulnya. Sedang Arta berekspresi santai. "Kamu tahu aku siapa? Aku Praha Maverick!"
"Aku Amarta, salam kenal," jawab Arta dengan santainya.
"Heh! Aku enggak ngajak kamu kenalan, ya!"
"Aku juga enggak nanya siapa kamu!" balas Arta.
Praha mendengkus kesal. "Kamu tahu? Kamu bisa aku laporin karena melakukan kekerasan!"
"Aku juga bisa laporin kamu karena melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Satu, ini sedang rapat. Dua, aku sedang presentasi. Tiga, manusia beradab akan mendengarkan orang lain yang sedang bicara, apalagi kalau dia punya kebutuhan di sini. Empat, bicara dengan keras sangat mengganggu kenyamanan orang lain. Kalau kamu mau telepon, izin ke luar. Dan lima, manusia dihormati karena sopan santunnya. Kalau kamu seperti ini, kamu pikir orang akan suka dengan sikap kamu?"
Praha tertegun. Baru kali ini ada pria yang menegurnya selain Mahaswana, Papanya. "Kamu ganteng," celetuk Praha.
"Makasih. Sekarang duduk dan dengarkan. Kalau tidak, aku seret kamu keluar ruangan!" tegas Arta membuat Praha tertegun. Arta berbalik dan kembali berjalan ke depan ruangan. Sedang Praha masih dia mematung melihat punggung pria itu.
Gadis itu melipat tangan di depan dada. Setiap sudut tubuh Arta dia perhatikan. Tubuh tinggi dan terlihat kekar itu diseimbangkan dengan lesung pipi yang manis. Rahangnya tegas, berkulit putih. Rambut disisir ke arah samping dengan gel sehingga terlihat rapi.
Di akhir penjelasan, Arta menutup dengan salam. "Aku harap film ini akan menjadi sukses. Apalagi kita tahu banyaknya pembaca novel di platform yang mungkin akan sayang jika melewatkan film ini tayang di layar lebar. Jadi, mohon kerjasamanya." Arta menunduk.
Semua orang di sana bertepuk tangan, termasuk Praha Maverick. "Sudah waktu Zuhur, saya pamit salat dulu." Pria itu kemudian berjalan meninggalkan ruangan.
Praha mengikuti hingga ke luar. "Kamu siapa di sini?" tanya Praha menyusul lelaki tadi. Arta berbalik. Dia melihat gadis dengan dagu lancip dan mata yang agak sipit itu. "Kamu enggak dengar tadi aku tanya apa?" Kembali Praha menegaskan.
"Kamu?" tanya Arta sambil menaikkan sebelah alis. Dia melirik ke samping kemudian menatap gadis itu lagi. Arta lihat isi lembar presentasi di tangan. Ada biodata gadis yang kini di depannya. "Umur kamu masih enam belas tahun dan memanggil pria di depanmu yang berusia dua puluh lima tahun dengan sebutan kamu?" tegur Arta lagi.
"Memang mau aku panggil apa? Kakak? Om? Paman? Atau Sayang?" tanya Praha sambil tersenyum menggoda kemudian mengedipkan mata.
"Hei, bocah! Kamu waktu sekolah apa sering bolos pelajaran budi pekerti dan agama?"
"Kok kamu tahu?" tanya Praha dengan wajah kagum.
"Minta nomor orang tuamu!" Arta mengeluarkan ponsel. Dia berikan pada Praha.
"Untuk apa? Melamarku?" tanya Praha. Begitu senang anak itu hingga menuliskan nomor Mahas, papanya di sana.
Arta melihat nomor itu. Dia lekas telepon. Lumayan lama hingga diangkat. "Apa ini papanya Praha Vienna Samara?" tanya Arta. Untuk menyebut nama Praha, Arta harus menyontek dulu ke kertas di tangan.
"Benar. Darimana dapat nomor pribadi saya?" tegur Mahas jauh di sana.
"Putri Anda yang memberikan. Saya di sini ingin bilang, putri Anda sering bolos sekolah, dia tidak mau berkonsentrasi saat rapat, bersikap tidak sopan pada orang yang lebih tua dan lagi, sekarang dia melotot ke arah saya," jelas Arta.
Mahas tertawa. Baru kali ini ada orang yang berani menelepon mengadukan perbuatan putrinya. Biasa para staf itu akan dibungkam oleh Praha lebih dulu. "Saya sangat berterima kasih jika Anda bisa memperhatikan masalah ini. Karena bagaimanapun dia artis yang akan berperan dalam film kami dan setiap tingkahnya kalau menjadi kontroversi akan membuat rumah produksi kami rugi."
"Sama-sama," jawab Mahas.
Arta langsung mematikan telepon. "Hei! Kamu harusnya bersyukur aku main film ini. Fansku banyak dan mereka akan menonton. Mengalami kerugian? Baru di sini aku diperlakukan tidak sopan," omel Praha.
"Terus gimana?" tanya Arta.
"Ya, terima saja kalau sikapku begitu. Aku selalu diperlakukan seperti putri. Semua orang maklum akan sikapku karena mereka semua bergantung padaku. Hanya kamu saja yang julid!" Praha memalingkan pandangan.
"Nama kamu tadi siapa?"
"Praha!" teriak Praha kesal.
"Bukan Putri Diana, kan? Jadi kamu jangan banyak tingkah!" timpal Arta kemudian berbalik dan kembali melangkah.
"Ih! Manusia ini menyebalkan, tapi tampan! Tunggu, hei! Kita belum selesai bicara!" Praha terus menyusul Arta. Dia tak mau kalah. Sayang sepatu hak tinggi yang dia kenakan malah membuatnya tersandung. "Hei! Kakek! Tolongin aku, ini! Kakiku tersandung!" panggil Praha.
"Dasar bocah!" batin Arta dan terus berjalan. Tak terima lagi-lagi diacuhkan, Praha mulai memikirkan ide jahil. "Lihat saja nanti! Aku bikin kamu tahu seberapa populernya aku!" batin Praha.
"Nona!" panggil seseorang. Manajer Praha, Mila datang menghampiri. "Apa Anda baik-baik saja?" tanya Mila.
"Amarta, siapa dia?" tanya Praha.
"Dia manajer produksi di sini. Memang masih muda, tapi talentanya luar biasa," jelas Mila.
"Berikan aku fotonya!" pinta Praha.
"Untuk apa, Nona?" Mila bingung hingga mengerutkan kening.
Praha tersenyum licik. "Aku ingin mempromosikan dia pada publik hingga mendapat promosi. Kali saja dia naik jabatan jadi direktur."
"Tapi kenapa?" Mila semakin heran.
"Kak Mila, ini urusan pribadi dua orang dewasa. Jadi tolong jangan ikut campur masalah ini. Lebih baik urus ini saja!" Praha lempar sepatu yang tali strapnya copot.