Hinaan
Matahari belum terjaga dari peraduan, masih damai menyembunyikan sinarnya di balik pelukan rembulan. Namun Ibu sudah berangkat sejak tadi, bahkan sekedar santap sahur bersama kami pun ibu tidak ada waktu.

Di kamar besar ini, tinggal kami bertiga,menggulung diri di dalam selimut, sambil menunggu panggilan sahur dari mbah uti. Bukan tidur, hanya memejamkan mata agar bulir bening yang sedari tadi kami tahan tidak tumpah.

Setelah mengantar kepergian ibu, aku hanya memintal benang-benang pikiran yang mulai kusut. Terlalu banyak tanya yang berputar-putar di pikiranku. Apa yang harus pertama kali aku lakukan? Bagaimana caranya memenuhi kebutuhan kedua adikku? Menjadi penjaga untuk kedua adik tercinta, mengasuh mereka sebagaimana ibu.

“Ibu titip adik-adik, ya. Ibu pergi hanya sebentar, setelah mendapatkan cukup uang, ibu akan segera menjemput kalian.” Ucapan ibu kembali terngiang di telinga.

Sebuah pesan yang sangat sederhana tetapi terasa seberat gada besi yang menghantam palung hati. Sebuah tanggung jawab yang di amanahkan padaku.

Ibu … jangan pergi lama-lama, cepatlah pulang! Batinku

Suara tangis Riki yang mencari ibu, memutuskan khayalan yang sedang mengembara di celah-celah pikiran.

“cup ... cup ... cup .... Dede bobok ya, ibu lagi di luar,” bujukku.

“Dede mimpi ibu pergi, tinggalkan Dede. Terus ada orang ajak Dede cari ibu, tapi tak ketemu,” tangisnya sambil memelukku.

“Dede cuma mimpi, jangan sedih, ya. Ibu udah janji pasti balik ke sini, jemput kita.” Aku mencoba menenangkan Riki, walau sebenarnya aku sendiri tidak yakin dengan apa yang baru saja aku katakan.


***

Melalui hari-hari tanpa orang tua, tak semudah yang dibayangkan. Menghadapi rewelnya Riki yang selalu mencari ibu, menerima teguran dari mbah uti karena kenakalan Rini.

Hampir setiap saat aku harus menulikan telinga agar tidak merasa sakit hati karena omelan mbah uti yang terdengar sepanjang hari tanpa jeda, tentang nakalnya kedua adikku. Tidak hanya omelan, tetapi kami juga harus mendengar berbagai ancaman yang menyakitkan.

Sering Rini dan Riki bersembunyi, menangis setiap kali mbah uti mengancam akan membuang kami ke jalan, atau ketika mengancam akan memisahkan kami bertiga. Aku hanya bisa menghibur, dan mengatakan kalau mbah uti hanya bercanda. 

Namun, sayang, semua usahaku dalam menghibur mereka sia-sia saja, sebab mbah Uti mengatakan hal itu tidak hanya setiap hari, tetapi setiap saat. Seperti hari ini, ancaman itu harus kami dengar lagi.

“Rikaaa ....” Teriakan mbah Uti terdengar menggema di seluruh rumah.

Aku yang saat Itu sedang terlelap di kamar atas segera turun menemui mbah uti.

“I-iya, Mbah. Ada apa?” tergagap aku bertanya.

“Kamu bisa nggak, sih, jaga adik-adikmu? Berapa kali Mbah bilang jangan buat rumah berantakan! Lihat, kelakuan kedua adikmu!" murka mbah uti. Wajahnya terlihat memerah menahan marah.

“Rika beresin sekarang, Mbah,” ucapku lirih.Tak berani melihat wajah mbah uti, apalagi membantah.

“Lama-lama tinggal dengan kalian di rumah ini, bisa buat Mbah kena serangan jantung,” omelnya. “Kalau begini terus, mbah antar kalian ke pasar Induk Alianyang! Terserah siapa yang mau mungut kalian, mbah tak peduli.”

Ya, Allah ... sakit hatiku mendengar kata-kata mbah uti. Bukan karena dimarahi, tapi karena ancamannya yang mengatakan akan membuang kami ke pasar. Seolah-olah kami ini segerombolan anak kucing yang tak layak di sayang.

Aku menggigit bibir kuat-kuat, menahan nyeri yang mencuat dari dalam hati. Begitu hinakah kami sebagai anak yatim, sehingga layak dibuang, hanya karena rumah yang berantakan?

Setelah membereskan mainan Riki yang menjadi penyebab kemarahan mbah uti, aku kembali naik dan masuk ke kamar. Kuambil foto ibu dan ayah yang tergeletak di atas meja lalu kudekap erat layaknya aku sedang memeluk mereka.

Kucurahkan semua kekecewaan pada sebuah pigura tak bernyawa, mengadukan rasa sakit akibat ditinggalkan oleh mereka berdua.

"Ibu kapan pulang? Rika rindu ... cepat datang, jemput Rika.

"Ayah ... Rika tak kuat, bawa Rika ke tempat ayah. Rika tak mau hidup di sini. Semua orang kejam, tak ada yang sayang Rika dan adik-adik," lirihku sambil terisak.

Setelah puas menangis akhirnya aku tertidur kelelahan. Di dalam tidur, aku memimpikan ibu. Mimpi yang sama seperti di alami Riki, ibu pergi dan tidak kembali.

Orang bilang, mimpi adalah bunga tidur. Kilasan penglihatan bawah sadar berdasarkan pengalaman yang terjadi. Namun, bagaimana dengan mimpi yang aku dan Riki alami? Kami mengalami mimpi yang sama, apakah itu juga bunga tidur?

Semoga saja mimpiku dan Riki tidak pernah menjadi nyata, semoga saja mimpi kami hannyalah ketakutan alam bawah sadar yang menjelma dalam tidur. Jika mimpi itu harus menjadi nyata, sulit aku bayangkan bagaimana aku harus menjaga kedua orang adikku sendirian.

Hidup di antara keluarga yang tak memiliki rasa kasih sayang, tak ubahnya membuatku merasa berada di hutan belantara. Hidup di antara hewan buas, menggantungkan hidup dari belas kasihan. Setiap saat mereka bisa memangsa salah satu dari kami bertiga.

Aku tidak akan mungkin bisa menjaga kedua adikku sendirian, menjaga mereka dari terkaman hewan pemangsa yang menyerupai keluarga.


***

Di sebuah Pulau bernama Solomon, memiliki tradisi yang unik ketika akan membuka lahan untuk bercocok tanam. Mereka tidak perlu menebang pohon atau membakar hutan, cukup beramai-ramai mengitari dan memanjat hingga ke puncak tertinggi, sambil berteriak, mengeluarkan kata-kata jorok, sumpah serapah, membentak dan berkata kasar. Dengan cara seperti ini, tidak berapa lama kemudian pohon tersebut akan layu, daunnya menguning, ranting-ranting mengering, mati dan akhirnya tumbang.

Sepenggal kisah Pulau Solomon yang pernah aku dengar dari ayah. Cerita pengantar tidur yang sarat makna dan nasehat selalu beliau bacakan untuk kami setiap hari.

Sebatang pohon yang kokoh, berdiri gagah di atas akarnya yang menghunjam jauh ke dalam tanah, di topang dengan batang yang besar dan dinaungi dedaunannya yang rimbun. 

Pohon yang hanya bernyawa tanpa hati, akal dan pikiran, mati mengenaskan mendengar kutukan yang ditujukan padanya setiap hari.

Bagaimana dengan kami? Tiga orang anak kecil yang harus menerima kutukan, hinaan dan sumpah serapah setiap hari? Apakah kami harus mati seperti pohon-pohon yang ada di Pulau Solomon? Mati agar kutukan dan hinaan yang ditujukan pada kami terhenti.

Kemarahan mbah uti atau saudara-saudara ayah yang kebetulan berkunjung sudah menjadi makanan rutin untuk kami. Sedikit saja kesalahan yang dilakukan, maka kata-kata kasar akan menghiasi mulut mereka, meluncur dan mengalir deras ke arah kami, bagaikan racun yang menyusup dan meresap jauh ke dasar hati. Perlakuan kasar dari mereka menyisakan luka dan membekas. 

Kenapa mbah uti memberikan kasih sayang berbeda pada setiap cucunya? Kenapa mbah Uti dan saudara-saudara ayah tidak menyukai kehadiran kami? Ingin aku mengajukan pertanyaan itu pada mereka semua, tapi mulutku terkunci rapat. Pertanyaan-pertanyaan bodoh yang tak perlu aku tanyakan, karena sudah mengetahui jawabannya.

“Rika, Rini, dan Riki nggak usah ikut ke masjid, bikin ribut saja,” Kata tante lis pada kami. 

Saat itu ia menjemput mbah uti untuk buka puasa bersama di masjid yang letaknya hanya di sebelah rumah. 

“Dede mau ikut!” desis Riki, dengan muka yang masam mencuka. Tidak suka jika dirinya dilarang pergi.

“Siapa yang mau jaga kau di sana? Bikin malu saja, kalau sampai kau ribut menganggu orang lain!” tolak tante Lis dengan kasar.

“Fatur boleh ikut, kenapa Dede tak boleh!” Riki membantah.
“Fatur anak tante Lis, tentu tante Lis yang jaga. Kau anak siapa? Ayah, ibumu tak ada, siapa yang mau urus kau punya perangai?” Kasar ucapan tante Lis, menohok hati yang paling dalam.

Seketika wajah Riki menjadi mendung, Ia merasa sedih mendengar kata-kata bantahan dari tante Lis.

“Kalau di bolehkan ikut, biar Rika yang jaga adik-adik.” Aku menawarkan diri, tidak tega rasanya melihat Riki yang sudah bersemangat untuk pergi harus bersedih karena tidak diizinkan pergi.

“Sudahlah ... jangan berisik! Rika, jaga saja adik-adik! Masjid cuma di sebelah rumah, mau pergi juga. Macam orang yang tak pernah ke masjid saja kalian,” sela mbah uti.

Kutarik napas dalam-dalam untuk meredakan emosi. Seperti apa pun usaha kami, tetap saja tidak akan ada yang di perbolehkan ikut pergi.

“Daripada Rika sibuk menjaga Riki yang sudah besar, lebih baik bantu tante Lis menjaga Fatur,” timpal tante Lis seraya menyodorkan Fatur padaku.

“Rika, Rini, dan Riki mau membersihkan kamar dan membereskan baju.” Kutolak permintaan tante Lis. Seenaknya saja dia menyuruhku menjaga Fatur sedangkan aku dan adik-adik tidak di izinkan ikut pergi. 

Kupasang wajah ketus di hadapan tante Lis, agar ia tahu kalau aku tak suka jika kami diperlakukan tak adil dan semena-mena.

“Ma, anak-anak itu sudah mulai berani tak sopan pada orang tua. Kalau tak ada kita, mereka sudah jadi gembel di jalanan. Sampai kapan mama mau menampung anak-anak tak tau diri, di rumah ini?

“Lilis tak suka liat mereka. Antarkan saja ke panti asuhan, biar mereka sadar diri hidup tak ada orang tua jangan terlalu banyak tingkah,” adu tante Lis pada mbah uti.

Mbah uti yang mendengar penghinaan tante Lis pada kami hanya diam tanpa berusaha menegur atau menasihati tante Lis, membuatku semakin kecewa pada beliau.

Kembali terdengar suara merdu tante Lis mengucapkan kalimat penuh penghinaan, melupakan jika yang ia hina, dan dikatakan gembel ini adalah anak dari saudara laki-lakinya?

Di dalam hati, aku merutuki semua perkataan tante Lis. Ada doa zalim yang kupanjatkan untuknya sekeluarga. Walau ayah selalu menasihati agar membalas semua perbuatan jahat dengan kebaikan, tetap saja aku tak bisa melakukan itu padanya.

Tanpa memedulikan kemarahan tante Lis aku mengajak Riki, dan Rini ke taman belakang, tempat kami saling bertukar cerita mengeluarkan kesedihan.
Dari seluruh area di rumah mbah Uti hanya kamar tidur dan taman belakang tempat ternyaman untuk kami. Sebab selain dari itu, rumah ini setiap harinya adalah neraka.

Ibu, berapa lama kami harus menunggu kepulanganmu? Baru dua hari Ibu pergi, tapi penghuni rumah ini sudah tidak menyukai kami. Hidup di sini tanpa Ibu dan ayah, bagaikan di neraka. Rumah yang Ibu harapkan bisa menjadi tempat berlindung yang nyaman malah menjadi neraka berlapis untukku.

Ayah, kenapa semua saudaramu tidak ada satu pun yang menyukai kami, anak-anakmu? Haruskah kami mengikuti jejak Ayah, meninggalkan dunia yang fana ini untuk menerbitkan rasa penyesalan di hati mereka? Apakah ikatan keluarga hadir, dan berharga jika salah satunya sudah di ambang kematian?