Jika ada yang bertanya, apa yang membuatku sedih? Jawabanya, kehilangan ayah di saat aku masih sangat membutuhkannya. Kehilangan di saat aku begitu merindukan kehadirannya.
Menutup rapat rasa sedih dan berpura-pura tegar, menyembunyikan air mata agar tidak menambah duka ibu. Menjaga perasaan kedua adikku agar tidak ikut merasa kehilangan, walaupun sebenarnya mereka sendiri tidak tahu telah kehilangan apa. Mereka hanya tahu, saat ini rumah begitu ramai dengan kedatangan tetangga, dan mereka menyukai keramaian ini, keramaian yang sebenarnya akan mengantarkan kami pada kesedihan.
Jika ada yang yang bertanya padaku, apa yang paling membuat diriku sedih? Jawabannya, melihat kedua adikku yang masih begitu kecil harus menerima kenyataan bahwa ayah yang mereka rindukan telah pulang dalam keadaan terbujur kaku, sudah menjadi jasad. Sedih melihat kepolosan mereka yang tertawa bahagia, melihat ayah memejamkan mata dan tidak akan terbangun lagi.
“Kenapa di rumah kita banyak orang, Bu? Sekarang hari Lebarankah?” tanya Riki pada ibu. Sebuah pertanyaan yang mampu membuat dadaku terasa nyeri.
Betapa polosnya dia, tidak mengerti kenapa begitu ramai orang takziah, tidak dapat menangkap kesedihan yang tampak membayang di wajah ibu.
Rini yang setiap hari selalu menunggu kepulangan ayah, tersenyum lebar melihat orang yang dirindukannya tertidur, berselimutkan kain batik yang menutupi hingga kepala. Ia beranjak dari pangkuan ibu, memilih tidur di samping tubuh ayah yang telah menjadi jasad tak bernyawa, tubuh yang tak mungkin bisa bergerak lagi, dan tidak akan bisa memeluknya seperti dulu.
“Ayah, bangunlah udah siang, tak malukah tidur dilihat orang ramai?” Rini berusaha membangunkan ayah. Usaha yang sia-sia, karena ayah tidak akan pernah membuka matanya lagi.
Aku menatap iba pada Rini. “Biarlah ayah tidur, jangan diganggu,” pintaku.
“Ayah belum sarapan dari tadi, pasti lapar! Rini cuma mau kasih roti kacang biar ayah kenyang,” balasnya.
Ternyata seperti ini rasanya kehilangan orang tua, sakiiit ... Ya Allah. Jeritku dalam hati, melihat Rini, yang masih terus berusaha membangunkan ayah.
Aku mendekati jasad ayah dan meniru tingkah Rini, berbaring di sampingnya dengan tanganku memeluk tubuh yang sudah terasa dingin itu.
Aku bisikkan kata-kata yang mungkin akan membuat ayah terbangun, seolah-olah aku sama bodohnya dengan Rini, berusaha keras untuk membangunkan orang yang sudah mati. Benarlah kata orang, ketika kita merasa sedih karena kehilangan, logika tidak akan pernah berjalan.
“Ayah … bangunlah, esok sudah puasa, tak letihkah tidur terus?” Rajukku pada tubuh yang telah terbujur kaku.
“Kalau tak bangun, esok Ayah tak bisa puasa, tak bisa ikut lebaran. Lihatlah dede, udah dari tadi tunggu ayah bangun. Dek Rini dari tadi mau kasih ayah roti, kenapa ayah tak ambil?” lanjutku dengan suara tangis tertahan.
“Ibu belum belanja buat sahur esok, kalau ayah tak bangun, kita mau sahur apa? esok kita tarawih di mana? bangunlah Ayah.”
Tangis yang aku tahan akhirnya pecah, tidak dapat lagi aku membendung rasa sedih yang sudah melilit sejak semalam.
Dalam tangis, aku meminta pada Tuhan, agar menunda malaikat Izrail menjemputnya dalam kematian, meminta, semoga Allah mengizinkan ayahku membuka matanya kembali. Meminta agar kami sekeluarga diberi kesempatan menjalankan puasa bersama lagi.
****
“Mbak Rika, kenapa ayah digendong, tak bisa jalan sendirikah?” bisik Riki.
Kami bertiga berdiri berdampingan di depan pintu kamar, melihat jasad ayah dibawa masuk ke dalam kamar, di mana beliau akan dimandikan.
“Ayah akan dimandikan,” jawabku pelan.
“Kenapa dimandikan? pasti ayah malu dilihat orang tak pakai baju. Udah besar pun masih dimandikan.” seloroh Rini, disertai dengan tawa pelan.
Aku hanya menoleh sesaat, melihat Rini yang masih tertawa geli. Riki yang tak mengerti, juga ikut tertawa. Mereka merasa lucu, melihat orang tua digendong dan dimandikan. Aah… seandainya mereka tahu, tidak ada yang lucu ketika memandikan seorang jenazah, pasti mereka tidak akan berani banyak bicara.
Ibu yang baru saja selesai memangku tubuh ayah saat dimandikan, melambaikan tangan dari arah kamar memanggilku. Aku berjalan pelan, badanku terasa bagai tak bertenaga, lemah dan sangat letih.
“Rika harus ikhlas ya, Nak, jangan seperti tadi, tidak baik” kata ibu. “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati, melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang sudah ditentukan waktunya. Rika ingat, ini perkataan siapa?” Nasehat ibu, sesampainya saja aku di hadapannya.
“Firman Allah dalam Surah Ali Imran, ayat 145,” jawabku pelan.
“Rika tau artinya?”
Aku menundukkan wajah, tak berani membalas tatapan ibu.
“Rika, berani menentang ketetapan Allah swt? berani menolak Qada dan Qadar?”
Aku menggeleng pelan, wajahku semakin dalam tertunduk. Perih yang aku rasakan ketika melihat kedua adikku, membuatku lupa peran sebagai anak tertua, lupa dengan janjiku yang akan menjadi pengganti ayah, menjaga keluarga. Sesaat, aku seperti tidak mengingat semua nasehat dari ayah dan ibu bahwa hidup hanya sekejap dan kematian itu pasti.
Aku melupakan, kalau saat ini diriku adalah panutan untuk Rini dan Riki. Melupakan bahwa untuk membuat ibu semangat, aku juga harus lebih semangat. Melupakan kalau untuk menjaga mereka semua, aku harus kuat. Bagaimana bisa menjadi anak tertua kebanggaan ayah, jika perpisahan sementara di dunia sudah membuat lemah?
“Rika, anak tertua, tidak akan menangis lagi. Rika akan jaga adik-adik dan menjadi anak kebanggaan ayah,” jawabku, meyakinkan ibu.
“Terima kasih sayang, terima kasih sudah membantu menguatkan Ibu,” ucap ibu lirih "sekarang, ajak Rini dan Riki bersiap, kita akan mengantar kepergian ayah, ke rumah yang baru.”
Sepanjang jalan menuju pemakaman, ibu tak henti mengajak Rini dan Riki bicara, terutama soal kematian. Sepertinya ibu mulai ingin memberi pengertian pada mereka berdua tentang kepergian ayah. Pantas saja ibu bersikukuh membawa mereka ke pemakaman, walau banyak orang yang melarang.
Aku berjalan di belakang, memperhatikan punggung ibu yang tampak turun. Langkahnya limbung, memperlihatkan sosok tegarnya yang memaksakan diri untuk kuat, meski tampak letih dari segi fisik dan pikiran. Dalam semalam, ibu terlihat jauh lebih tua dari usianya. Aku tau, ibu pasti sangat merasa kehilangan ayah, tetapi ibu harus berpura-pura baik-baik saja, Ini adalah salah satu cara ibu, untuk menguatkan kami, anak-anaknya.
Ketika jenazah ayah akan dimasukkan ke dalam liang lahat, Rini menangis. Ia meminta kepada semua orang, agar berhenti menimbun jasad ayah dengan tanah. Ia berlari menghampiri semua yang ada di pemakaman, meminta tolong agar jangan membiarkan ayah terkubur di dalam tanah.
“Mbah, tolong keluarkan ayah dari tanah, nanti ayah tak bisa bernapas.” tangis Rini meminta pertolongan pada mbah Uti.
"Bu, tolonglah ayah tak bisa bergerak ...." Jeritnya pada ibu.
“Ayah, bangunlah … Rini janji tak nakal, janji tak isap jari jempol lagi, janji tak buang nasi,” racau Rini disela raungannya.
Dia berjanji akan membuang semua sifat buruk yang sering dilakukan, asalkan ayah bangun dan keluar dari lubang kubur yang sebentar lagi akan segera rata tertutup tanah.
Pemakaman yang semula tenang, menjadi ramai dengan usaha ibu, mbah uti, dan tante Lis, juga beberapa orang perempuan yang berusaha menenangkan Rini. Aku hanya diam memperhatikan semuanya, sambil menjaga Riki. Menjauhkannya dari keramaian dan mengajaknya bermain agar tidak melihat apa yang terjadi pada Rini.
Ayah, semoga kau tenang di syurga, jangan khawatirkan Rini, aku akan menjaganya dengan baik. Janjiku dalam hati.
Tuhan … titip ayah, berikan tempat yang layak untuknya, lepaskan dari hisab kubur, jauhkan dari panasnya api neraka dan cucurkan rahmat Mu padanya.
Ini hari pertama kami tanpa ayah, dan besok puasa pertama kami tanpa sosok terhebat dalam keluarga. Kesedihanku tidak akan lama, ayah hanya meninggalkan kami di dunia, tapi di akhirat kami akan berkumpul lagi. Aku percaya, sebab janji Allah, itu pasti.