LELAKI BERTAMPANG GEMBEL
"Mutiaaa, baju gue mana? Lamreta banget, sih lo nyetrikanya!" teriak Santi, putri tante Selvi.

"Udah beres, San. Ini ambil aja!" jawabku dari ruang menyetrika. Aku masih harus menyelesaikan pekerjaan rutin ini sekitar dua jam ke depan. Maklumlah, namanya juga hidup menumpang di rumah paman.. Meski om Arman itu adik kandung papa, tapi perlakuan keluarga ini padaku lebih mirip pembantu daripada saudara.

Sebelum berangkat jaga toko, aku harus menyelesaikan dulu aktivitas rumah tangga. Mencuci, memasak dan mengepel rumah harus selesai sebelum pukul sembilan pagi. Kadang tak sempat sarapan saking banyak pekerjaan. Kalau menyetrika aku lakukan tiga hari sekali. 

"Bawain sini, males banget sih lo!" perintah Santi dari arah kamarnya.

Aku terpaksa menyimpan alat setrika untuk mengantar baju kondangan sepupuku itu. Kalau dibantah urusan bakal panjang. Akan ada omelan panjang kali lebar selama berjam-jam. Apalagi jika tante Selvi ikut serta. Sepertinya kerumitan fisika pun kalah.

"Ya ampun Mutia kok tangannya masih kusut, sih? Setrika lagi sonoh!"

Santi melempar pakaian yang telah kusetrika ke lantai. Sakit hati? Iyalah, tapi kusimpan saja rapat-rapat di dalam dada ini. Percuma juga menampakkan kekesalan, toh mereka malah akan makin memperlihatkan kearoganan.

Aku memungut baju yang terserak itu untuk kembali disetrika. Setelah ada di tangan, aku segera melangkah ke ruaangn semula.

"Ada apa, sih kok berisik amat?" tanya tante Selvi tiba-tiba.

"Biasa, Mah. Mutia gak becus kerjanya. Masa baju untuk ke undangan gak rapi. Apa coba kata orang nanti?" cerocos Santi.

Dan, meluncurlah omelan sepanjang jalan kereta api dari mulut tante Selvi. Saking ingin puas ia mengejar hingga ke ruangan menyetrika.

Pekak sebenarnya telinga ini mendengar omelan dan hinaan dalam waktu bersamaan. Tentang hidup numpang, dinisbatkan seperti benalu. Tentang ketidakbecusan bekerja dan masih banyak lagi.

Meski kekesalan telah sampai ke ubun-ubun, aku tetap tak bisa melawan. Bukan karena takut, tapi hanya menghargai paman yang telah sudi menampung aku dan Medi, adikku.

Aku terpaksa tinggal di sini pasca kebakaran hebat yang telah merenggut nyawa mama dan papa. Rumah dan seluruh harta kami pun ikut hilang dilahap si jago merah. 

Peristiwa itu terjadi tiga tahun lalu. Saat itu kebetulan kami sedang menginap di rumah tante Arni, sepupu mama. Jadi, selamat dari peristiwa dahsyat tersebut.

Setelah kebakaran itu, tante Arni menampungku. Namun, karena anak lelakinya ketahuan akan melecehkanku, kami pun dibawa om Arman ke rumahnya..

Om Arman sih baik, tapi istri dan dua putrinya jahat. Mereka menjadikan aku dan Medi sebagai pembantu. Sedangkan putri bungsu mereka baik. Hanya saja masih kecil jadi tak bisa berbuat apa-apa.

*

Seperti biasa, tiap hari aku harus jaga toko kue milik tante Selvi. Digaji semau dia. Bahkan kadang ditahan. Katanya anggap saja balas budi atas kebaikan mereka nampung kami.

"Berapa semua Mba?" tanya seorang wanita langganan toko ini. Dia membeli sepuluh talam, lima bugis dan lima potong bolu pisang.

"Tiga puluh ribu, Bu!" jawabku setelah memasukkan kue ke dalam dus kecil.

Wanita itu menyodorkan uang lima puluh ribuan. Setelah mendapat kembalian dua puluh ribu, ia pun berlalu.

Aku baru boleh tutup jelang magrib. Lelah pastinya sebab hanya jaga sendirian. Kadang keteteran kalau pembeli membludak. Aku pernah mengusulkan tambah pekerja malah dimarahi. Yasudah jalani saja aktivitas ini dengan lebih sabar.

"Tolong bungkus kuenya yang ini, ini dan ini masing-masing tiga mba!" pinta seseorang. Tanpa harus melihat, dari suaranya aku tahu itu laki-laki.

Ia menunjuk kue sus, pastel dan lapis legit. Tanpa berlama-lama aku segera melakukan perintahnya.

"lima belas ribu, Mas!" ucapku sambil menyodorkan satu dus kue yangbtwah dibungkua kantong plastik putih. Saat itulah aku melihat wajahnya.

Dari perawakannya pria itu sepertinya belum terlalu tua. Bahunya tegap khas lelaki muda di bawah tiga puluh tahunan Namun, karena  rambut gimbal, berewokan dan wajah dipenuhi debu hitam jadi terlihat lebih berumur.

Dia menyodorkan uang sepuluh puluh ribu dan lima ribu yang keadaannya sudah kucel. Setelah itu ia bermaksud pergi, tapi langkahnya tertahan hujan yang mendadak turun. Awalnya kecil, lalu jadi besar.

"Nunggu aja dulu, Bang. Ini ada bangku, pakai aja! Oh, iya kalau mau minum ambil saja air mineral itu!" kataku sebab melihatnya ragu melangkah.

Pria itu menoleh sekilas, lalu melirik pada kursi plastik yang disodorkan. Sebenarnya itu tempatku, tapi tak apalah biar dia bisa makan sambil duduk.

Untuk sekian menit, lelaki itu duduk sambil makan kuenya. Sementara aku berdiri sambil memandang hujan. Kalau kondisi begini, pembeli biasanya enggan datang. Tiba-tiba aku cemas setoran akan turun drastis. Alamat akan dapat omelan yang panjangnya lebih dari jalan kenangan.

"Makasih, mba tempat duduknya!"

Ucapan lelaki itu menyadarkanku dari lamunan. Aku menoleh pada orang yang kini telah berdiri tersebut. 

"Gakpapa, Bang kalau masih mau duduk!" sahutku.

"Sudah, mba sudah cukup saya berdiri saja. Mba pasti pegel kalau kelamaan berdiri!" tolaknya halus. Ia menyimpan kursi plastik itu tepat di sampingku. 

Kini, keadaannya berbalik, aku yang duduk, dia berdiri dengan menyandarkan punggung pada tiang bangunan. Hanya saja keadaannya tetap sama, kami berdua memandangi hujan.

*

Baca juga, yuk! 

TES DNA ANAKKU

Anida terkesima melihat hasil tes DNA anaknya. Serina tak memiliki kesamaan DNA dengan dia dan suaminya. Arti lain, Serina bukan anak mereka.

Lantas, mengapa Serina yang ada di pangkuannya saat proses kelahiran telah terjadi? Tertukarkah? Mana mungkin rumah sakit ternama dapat seceroboh itu? Atau memang sengaja ada yang menukarnya? Jika benar ditukar, siapa yang telah tega melakukannya? 

Dokter yang menanganinyakah? Atau para suster? Siapa yang menyuruh mereka?