Malam selepas sholat magrib, Subur kembali mengungkapkan keraguannya untuk meneruskan belajar. Sebab ia tak berani lagi mengharapkan Seruni.
"Opo perasaanmu berubah hambar dan benci pada Seruni, Le?"
Setelah Subur mengungkapkan kalau ia berubah urung untuk belajar. Pertanyaan pak mantri itu membuatnya terkejut dan langsung menggeleng keras.
Ia sama sekali tak membenci Seruni, ia hanya kehilangan kepercayaan diri mendekati gadis itu.
"Bapak pikir, akan sulit mencari lelaki yang bisa sabar jadi suami menghadapi tabiatnya kelak, bapak takut ia malah akan jatuh ke tangan lelaki yang tak bisa menahan diri untuk tak mengasarinya melihat tabiatnya yang suka ngamuk begitu. Seruni tak selembut namanya, Bur... Perangainya juga tak seindah namanya, bapak telah salah mendidiknya, selalu memanjakannya, menuruti dan mengalah pada semua kemauannya. Satu-satunya yang tak bapak turuti dari keinginannya hanyalah penolakannya untuk ikut pindah kesini. Itu juga ia masih saja terus bersikap angkara murka."
Pak Soedali bicara sembari menerawang menatap ke kegelapan kebun di depan sana.
Suara jangkrik menemani kedua lelaki itu duduk dan bicara.
Pak Soedali masih melihat ada keraguan di raut wajah Subur yang terus saja diam. Aih, aku tak mungkin memaksa pemuda baik ini agar mau dengan anakku. Apa jadinya jika ia tahu, bahwa tak hanya sikap Seruni yang tak elok, anak gadisnya itu juga malas tak ketulungan, waktunya habis di dalam kamar makan dan tiduran. Pekerjaannya hanya satu, menimba air dan ia juga hanya menimba untuk dirinya sendiri. Pak Soedali menunduk.
Melihat raut wajah pak mantri yang berubah sedih, Subur semakin tak enak hati. Ia sadar ia tak sepantasnya memilih atau membantah keinginan pak mantri, orang yang sangat ia kagumi itu.
Mungkin, semua akan berubah. Sikap Seruni yang tak menginginkannya mungkin bisa berubah, suatu saat nanti. Harap subur kemudian.
"Pak..." pelan Subur memanggil pak mantri yang tertunduk dengan wajah sedih.
"Hoh opo, Le?" jawab pak Soedali mengangkat wajahnya menatap Subur.
"Ndang mbengi munine arep sinau...-keburu malam katanya mau belajar...." raut wajah pak mantri perlahan berubah dari sedih, tak percaya lalu sumringah senang.
"Tenan, Le kowe arep belajar meneh?"
"Iyo, Pak...tenan," jawab Subur.
Kedua lelaki itu lalu tertawa bersama, tak lama dari dalam klinik terdengar suara pak Soedali mengajarkan Subur mengenal huruf.
Mereka belajar hingga larut, ditemani ubi rebus dan teh manis hangat yang dibawakan ibunya Seruni.
Sejak malam itu, Subur hanya antusias belajar. Ia menepis sejenak pikirannya tentang Seruni, sembari berharap selama dua tahun kedepan gadis itu akan berubah lebih matang dan dewasa. Lalu mau menerimanya, setidaknya sebagai teman.
***
Setelah dua bulan belajar, Subur telah mulai mengeja, meskipun masih terbata, namun ia mulai menikmati kemahiran yang baru ia dapat yaitu membaca.
Semua tulisan ia baca. Kertas-kertas pembungkus, tulisan dalam plastik kemasan, koran-koran lusuh, bahkan terjemahan dari ayat suci Alquran yang ia pinjam dari suraupun setiap malam ia eja, dan hatinya bergetar.
Subur lalu bertekad ia akan mencari guru yang bisa mengajarinya mengaji, setelah nanti ia sudah lancar benar membaca.
Semua kertas bertulisan akan dibaca Subur. Ia merasa ia kini memiliki satu jendela ajaib dunia, yang perlahan bisa ia buka dan melihat segalanya.
Ia yakin ia akan segera lancar, dan sebentar lagi pak mantri berjanji akan meminjamkannya buku-buku kesehatan.
Subur tahu, ada sepasang mata yang menyorotinya entah dengan perasaan kesal atau perasaan lain. Terlebih melihat hubungannya dengan pak mantri yang semakin hari semakin kompak.
Sepasang mata indah itu, adalah milik Seruni. Gadis yang diam-diam masih mengisi harap di hati Subur. Namun kini terus ditepisnya, ia hendak mengganti seluruh gairahnya pada Seruni menjadi gairah mencari ilmu.
***
Seruni sendiri, ada perasaan tak enak saat terakhir ia mengata-ngatai Subur yang melihatnya hanya memakai handuk di belakang rumah itu.
Sudah enam bulan berlalu. Ia akhirnya sadar, ia telah berlebihan, sebab di kampung ini, bahkan di Jawa sekalipun banyak wanita yang berjalan di luar dengan hanya memakai kemban ke sungai. Ia waktu itu begitu marah hingga menyiram Subur hanya karena lelaki itu menatapnya dengan tatapan terpesona.
Waktu itu ia risih dan semakin berang, apalagi tahu kalau bapaknya menjodohkan mereka.
Melihat sikap Subur yang berubah, tak lagi pernah mencuri-curi pandang padanya, dan hanya fokus menggali ilmu Bapaknya, Seruni jadi penasaran dibuatnya.
Apakah segitu saja nyali lelaki 'penger' yang katanya hendak jadi suamiku itu? Tanyanya dalam hati.
Pembahasan bapaknya setiap malam tentang kemajuan dan semangat Subur belajar, sedikit banyak kerap mengusik hati Seruni. Ia tak berani menyangkal, ia lah kini yang kerap mencuri pandang, mencari sosok Subur di sekitar rumahnya.
Perasaan bersalah karena telah pernah melukai hati Subur, terus menggelayuti hatinya yang tak jua berani meminta maaf. Meskipun Subur selalu ada di dekatnya, ia tak mau menyapa walau hanya sekedar basa-basi.
Subur maupun Seruni sadar, ada batas diantara mereka, sebuah tembok tinggi yang berasal dari makiannya yang melukai perasaan Subur dan menambah ketidak percayaan diri pemuda itu.
Terutama Seruni, ia tak tahu bahwa roda hatinya akan berputar. Ia yang dulu sangat jengah dan mual dengan Subur, perlahan melunak melihat kemajuan pemuda yang ia panggil 'penger' itu. Subur dari hari ke hari nampak mirip seperti Bapaknya. Pintar, bisa diandalkan dan... menarik.
Semakin hari semakin sulit Seruni menepis pikirannya terhadap Subur. Hatinya menunggu dan berdesir saat mendengar suara Subur datang. Atau saat lelaki itu memanggil-manggil nama pasien yang sedang mengantri, suara lelaki yang ia sebut 'penger' itu semakin ngebass dan berat. Tubuhnya juga dengan cepat berubah semakin tinggi dan berbidang lebar.
Hati Seruni terusik oleh getaran-getaran yang membuatnya terkadang sampai malas makan.
Perasaan was-was dan tak suka menghampiri Seruni saat melihat para gadis desa mulai banyak yang mampir ke klinik. Ia jadi berburuk sangka kalau para gadis itu hanya pura-pura sakit, padahal mereka hanya ingin mendekati Subur.
Seruni merutuki dirinya yang semakin terbiasa dengan kehadiran Subur, dan jadi kehilangan saat lelaki itu pamit pulang.
Gadis itu takut,
ia malah akan jatuh hati dan termakan karmanya sendiri.
***
Sudah setahun berlalu, dan Subur sudah mulai memasuki ilmu obat-obatan. Setelah ia belajar penanganan cepat pasien yang kumat penyakit bawaan dan pasien yang terluka, ia kini mulai menghafal dan mengenali jenis tanaman yang bisa dijadikan obat, segala jenis dedaunan dan rerumputan serta khasiatnya. Ia semakin takjub saat tahu betapa banyak tanaman yang ia anggap rumput tak berarti tapi ternyata adalah obat yang berkhasiat.
Ketertarikannya belajar semakin besar, ia begitu antusias hingga sikapnya seakan-akan seperti sudah melupakan Seruni. Pak Soedali senang dengan sikap Subur yang tekun belajar, meskipun di sisi lain ia semakin was was dengan anak gadisnya.
Seruni, sedikitpun tak tertarik belajar ilmu kesehatan. Gadis itu nampaknya mulai terbuka dan sekarang malah berusaha mencari-cari perhatian Subur.
Pak Soedali seakan bingung melihat perubahan berbalik, dimana kini Seruni lah yang malah mencari-cari perhatian Subur. Sementara Subur sudah tak lagi peduli pada anak gadisnya itu. Ia terus saja serius dengan tanaman obatnya.
Ia entah mengapa seakan menyembunyikan perasaannya.
***
Malam itu Subur duduk sendiri di batu palang kereta api, tempat ia biasa mangkal sendiri, merenungi jalan hidupnya. Malam mendung dan berangin itu, ia bersikukuh hendak menghabiskan sebatang lagi rokoknya.
Ia menghisap dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan.
Sembari teringat pada sosok Seruni.
Sudah setahun berlalu, gadis itu ternyata berubah semakin cantik nan jelita, tubuhnya dengan cepat tumbuh semampai, berlekuk-lekuk indah dengan rambut hitam lebat yang tergerai panjang, memikat.
Subur takut tak bisa mengendalikan sikapnya seperti dulu, yang terlalu jelas terlihat ia menyukai gadis itu.
Tentulah karena hinaan yang pernah terlontar di bibir Seruni terhadapnya. Subur takut, perasaannya semakin dalam. Ia kini sudah berada di titik, kalau Seruni 'mau' menerima dirinya yang hanya seperti ini sajalah, ia baru akan berani menerima.
Subur tak berani 'ngoyo'. Ia enggan dan merasa tak percaya diri memperjuangkan keinginannya memiliki gadis itu. Terlebih sudah terlalu banyak ilmu dan kebaikan yang ia dapat dari pak mantri. Ia akan terlihat serakah jika masih ngotot hendak memiliki anak perempuan pak mantri yang jelas menolaknya.
Beberapa minggu ini, mereka sering 'kepentuk'. Di halaman belakang, di pintu kamar mandi, di dapur, di halaman depan dan bahkan di klinik.
Ya, Subur terkejut dengan mulai seringnya Seruni muncul di sekitarnya apalagi di klinik. Namun ia tak berani menduga dan terus mengalihkan pandangan, tak mau menatap wajah gadis itu dari dekat terlebih secara langsung.
Subur menengadah menatap langit yang gelap, dengan awan hitam yang berarak. Ia tiba-tiba ingin melihat kilat petir yang selama ini ia takuti karena pernah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Perasaannya yang tertahan lama pada Seruni membuatnya serasa mau mati.
Sesungguhnyalah ia terus dipenuhi perasaan galau tak menentu. Dihisap subur kuat-kuat rokoknya, lalu dihembuskannya. Sembari lirih berseru,
"Seruni...engkau malamku...mendungku... hujanku...gemuruhku... hatiku sakit karenamu..."
Tadi itu, entah mengapa Seruni tiba-tiba kumat, ikut membantu mengisi data pasien, duduk di sampingnya yang sibuk mengelompokkan dan mendata penyakit penduduk.
Seruni mendekatinya, mengusik lagi hatinya yang tenang, berubah bagai kilat menyambar-nyambar...
Ia tadi, mau mati menahan debaran dan keringat dingin.
"Sebentar lagi kau sudah akan mahir seperti Bapakku."
Degh!
Masih menunduk menatapi bukunya, Subur berhenti menulis.
"Kulihat, juga mulai banyak gadis yang datang mendekatimu,"
Subur masih diam, dia belum selesai menenangkan gemuruh di dadanya. Namun Seruni terus saja bicara.
"Apa kau senang?"
"Kau diam saja, kau masih sakit hati padaku?"
Subur terus diam, sedikit gemetar ia memaksa melanjutkan menulis. Tak tahu harus menjawab apa.
"Kau sekarang semakin abai, tak pernah lagi melihatku! Apa kau mendendam padaku?" nada suara gadis itu semakin keras, ia menuntut dijawab. Ia tampaknya tak terima melihat sikap diam Subur.
"Dasar kau 'penger'!"
Seruni berjalan keluar, meninggalkan pasien yang mengantri untuk dipanggil ke dalam, dan Subur yang menganga, lambat menata hatinya.
Sungguh, ia bukannya tak mau bicara, ia hanya terkejut dengan sikap Seruni yang berubah tiba-tiba mendekat.
Dihembuskan Subur asap terakhir rokoknya. Ia menghela nafas,
Apakah ia tak salah menelaah?
Tadi itu,
Sepertinya Seruni cemburu, saat mengungkit para gadis yang datang menghampirinya di klinik.
Hujan turun, Subur melompat dan berlari setelah membuang puntung rokoknya.
Malam ini, ia tak sampai melihat kereta api uap yang biasa lewat menyapanya...
Bersambung dulu ya
Mohon Subscribenya❤️?