Part 6
Part 5

Kupeluk tubuh emak, lalu kucium kedua pipinya. Didi juga kusuruh mencium tangan neneknya sebelum kami keluar dari rumah yang selama dua tahun ini kami tinggali bersama.

"Hati-hati ya Nik, jaga anakmu baik-baik. Kalau ada perlu apa-apa, kau datanglah kemari, jangan sungkan,"  ujar emak dengan suara parau menahan tangis. Kedua matanya yang mulai berwarna kelabu itu tampak berembun, begitu pun dengan kedua mataku.

"Iya, Mak. Doakan semoga semua urusan Nunik dimudahkan oleh Allah, ya. Cuma doa dari Emak yang Nunik butuhkan saat ini. Nanti Nunik sama Didi akan sering sering ke sini buat jengukin Emak," jawabku sambil menabahkan hati.

Berat sebenarnya rasanya meninggalkan emak dalam penjagaan adik adik perempuanku bersama suami suami mereka. Sebab bukan mereka yang akan melayani dan merawat emak, tapi malah sebaliknya. Aku sangat hafal dengan tingkah mereka.

Andai saja aku bisa membawa emak ikut bersamaku, tentu sudah kulakukan. Sayangnya, nasibku sendiri masih belum jelas. Aku tidak mau membawa emak hidup dalam kesusahan bersamaku.

Emak mengangguk sembari mengulas senyum yang beliau paksakan. Aku dan anakku kemudian segera bersiap siap ke luar,  hendak menuju kontrakan pak haji Asnawi.

Di muka pintu, aku bertemu Hani dan anaknya, Reni, yang umurnya di bawah Didi dua tahun. Dilihatnya aku menjinjing dua buah dus berisi pakaian yang sudah ku-packing, sedang Didi memeluk sebuah dus berisi buku-buku pelajaran sekolahnya, Hani melihat kami dengan ekspresi bertanya -tanya di wajah.

"Mau kemana kalian?" tanyanya. Aku sebenarnya malas menjawab. Adikku Hani ini, perangainya tak ada bedanya dengan Marwah. Sama sama kurang ajar dan tak ada hormat hormatnya terhadap orang yang lebih tua.

"Kami mau pindah rumah, Bi Hani. Emak dan aku akan tinggal di rumah sendiri," jawab Didi. Matanya berbinar, menunjukkan bahagia. Tapi yang diajak bicara justru buang muka sembari mendecak sinis.

"Memangnya kau punya uang ya buat ngontrak rumah? Udah, di sini saja. Lumayan kan, tinggal gratis ...." Ucapan Hani ditujukan padaku.

"Supaya kau bisa terus- menerus memperlakukan kami seperti pembantu, padahal kau cuma benalu?" sinisku tajam.

Hani mendadak salah tingkah mendengar ucapanku. Wajahnya berubah menjadi merah padam.

"Sudah yok, Ren, kita masuk saja!" serunya kemudian, setengah menyeret Reni anaknya ke dalam. Sepertinya Hani sudah mulai takut berhadapan denganku sekarang.

Aku menghela nafas, kemudian membuangnya perlahan. Sedih dan kesal berkumpul jadi satu di sudut hati, lama-.lama mengikis rasa sayangku pada kedua saudari kandung karena sikap mereka padaku juga anakku yang seolah tak punya belas kasih.

Kulangkahkan kaki menuju rumah kontrakan pak haji Asnawi, diiringi langkah anakku Didi. Kami sudah siap menyongsong hari. Aku bertekad dalam hati, aku akan bekerja keras demi anakku. Aku ingin ia menjadi orang sukses, agar kelak ia tak lagi dihina dan dipandang rendah oleh siapapun.

🍁🍁🍁

Tinggalin jejak di kolkom ya biar aku tau kalau tulisanku ada yang baca. Makasih semuanya.