Part 3
Part 2



Anakku tidak berkata apa apa, hanya sesekali kulihat dia mengintip dari balik gorden, memandangi Marwah, suami serta anak anak mereka yang sedang asyik menikmati sup buah di depan mereka, tanpa sekalipun terpikir untuk menawari pada Didi.

Kubelai kepala anakku dengan tangan bergetar. Kuusap tumpukan rambut lebatnya. Airmataku luruh tanpa bisa kucegah. Tumpah ruah. Tak ada sedikitpun iba dihati mereka pada keponakannya yang yatim ini.

"Didi siap-siap ya, kita pergi beli sup buah seperti mereka." Aku berkata seraya mengesat air mata.

Didi langsung menoleh, menatapku dengan binar di kedua mata.

"Beneran, Mak?" Ia bertanya tak percaya.

"Iya, Nak. Kebetulan tadi Emak sudah terima bayaran dari bu Imah, majikan tempat Emak kerja cuci setrika," jawabku meyakinkannya. Padahal aku terpaksa bohong padanya. Tak ada bayaran dari Bi Imah, tapi kalau hanya untuk sekadar membeli jajan sup buah, aku punya uangnya.

Didi memelukku gembira, membuat airmataku kembali membasahi netra.

"Ayok kita pergi, Mak!" serunya tak sabar. 

"Tunggu sebentar ya, Emak ganti baju sebentar." Ijinku padanya, sebelum berlalu masuk ke dalam kamar tidur kami, yang dulunya adalah sebuah gudang.

Setelah selesai berganti pakaian dan mengambil uang simpanan, aku berjalan ke luar menghampiri anakku. Kusentuh pelan pundaknya kecilnya yang masih berdiri mengintip ke ruang tamu dari balik gorden.

"Ayok, Di. Emak sudah siap," ujarku yang disambut senyum lebarnya. Senyum yang senantiasa membuat hati ini bahagia sebab melihatnya bahagia.

"Kalian mau kemana?" tegur Marwah adikku ketika aku dan Didi melintasi ruang tamu tanpa menyapa mereka. Aku menoleh, melihat tiga mangkok es buah di atas meja yang sudah kosong isinya.

"Aku sama Emak mau beli es buah kayak punya Bibi." Didi menjawab Marwah, senyum tulus disuguhkan di wajah polosnya.

Adikku itu diam saja, namun senyum sinis tersungging di bibirnya. 

"Di, sebelum pergi, ini mangkok mangkok tolong di taroh di belakang dulu." Wawan, suami Marwah tiba tiba bersuara. Dengan santai ia berkata, sembari menyulut sebatang rokok di bibirnya yang menghitam.

Mendengar perintahnya barusan, membuat emosiku tersulut seketika.

"Bisakah kalian membereskan sendiri sisa makan kalian itu? Anakku bukan babu kalian yang bebas kalian suruh suruh!" ujarku dengan suara bergetar, menahan gejolak emosi di dada yang terasa panas.

Marwah mendelikkan mata padaku, kemudian langsung berdiri dari duduknya.

"Kalian sadar nggak kalau kalian disini cuma numpang?! Wajar saja kalau Didi kami suruh suruh. Lagian cuma naroh bekas mangkok kotor ke dapur, lagaknya kayak mau disuruh ikut perang bela negara aja!" sungutnya.

"Kita sama sama menumpang di sini Marwah. Kau jangan lupa, bahwa kita adalah sedarah. Aku dan kau punya hak yang sama, jadi jangan merasa paling berkuasa di rumah peninggalan orangtua kita," potongku cepat yang langsung membungkam mulut adik yang usianya terpaut tiga tahun dariku itu.

Wawan tiba tiba menggebrak meja. Didi mundur ke balik badanku, anakku ketakutan. Tapi aku tak gentar sedikit pun. Mau apa memangnya laki laki yang lebih banyak diam di rumah ketimbang ke luar mencari nafkah untuk menghidupi anak istrinya itu? Kutatap mata adik iparku nyalang. Aku siap berperang.

"Maksudmu apa Kak, bilang kita sama sama numpang?!" sergah Wawan. Sekarang balik aku yang tersenyum sinis.

"Kau bertanya karena tak tau, atau kau pura pura tak tau? Kedudukanmu cuma menantu di rumah ini. Sebagai lelaki, harusnya kau malu. Bertahun kau nikahi Marwah, tapi tak sanggup kau beri dia rumah!" jawabku tanpa tedeng aling aling.

Muka Wawan memerah seketika. Perkataanku jelas menohok harga dirinya, itu pun jika dia punya. Sedang Marwah hanya diam tak bersuara. Keduanya kelu tanpa kata.

Segera kutarik Didi menjauhi mereka. Tak peduli panas, tapi hati kami riang. Berjalan kaki, menuju warung es tempat menjual sop buah.

Sebelum kejadian hari ini, aku memang sudah bertekad untuk pindah dan mengontrak rumah petak sendiri. Untuk kutempati berdua bersama Didi nantinya. Dengan begitu, tak perlu lagi aku makan hati karena sikap adik adikku yang suka semaunya.

Alhamdulillah, sudah mulai banyak orang yang memakai tenagaku sebagai buruh cuci mereka. Kutabung sedikit sedikit hasil kerjaku itu. Aku tak ingin anakku terus terinjak harga dirinya, oleh orang orang yang justru tak tau diri.

Anakku adalah titipan-Nya, yang akan kujaga dan aku didik, bukan untuk menjadi pesuruh yang sama sekali tak dihargai, bahkan oleh bibi dan pamannya sendiri.

🍁🍁🍁