Part 2: Pendarahan Adara
Aku memasuki rumah dengan perasaan kacau. Kulihat tiga anakku sedang asyik memainkan gawai di sofa.
Dadaku mendadak panas mengingat mereka yang terlihat cuek saja atas keributan yang sedang terjadi.
“Sejak kapan kalian main HP!” ucapku seraya menatap mereka satu per satu.
“Dari tadi, Pah,” jawab Nicolas segan.
“Bunda kalian sakit, kalian masih asyik main HP!” ucapku semakin panas.
“Emang kita harus ngapain, Pah. Ikut bopong!” timpal Nathan. Anak ini memang sedikit sompral, persis ibunya.
“Ngapain? Ngapain kamu bilang. Bunda kalian sakit malah tanya harus ngapain! Untuk apa HP kalian itu, kalau Bunda kalian sakit saja tidak bisa walau sebatas memberitahu Papa.”
“Mana kita tahu kalau Bunda sakit. Orang Bunda dari kemarin juga tidur melulu,” jawab Nicolas. Dua anak kembar ini memang pandai menjawab.
“Nah itu kalian tahu Bunda tidur terus tapi tidak inisiatif tanya, atau apa kek. Sekarang Bunda kalian pergi, apa ada yang bertanya menunjukkan perhatiannya satu orang saja.” Kali ini aku teriak karena tidak tahan menahan gemuruh di dada.
“Papa jangan marah!” ucap anak ketigaku--Casia.
Aku mengacak rambut. Tidak tahu harus meluapkan emosi ini pada siapa. Daripada anak jadi sasaran kutinggalkan saja mereka, lantas melihat-lihat isi rumah setelah ditinggalkan Adara.
Bau tidak enak mengisi indra penciuman. Ternyata di wastafel setumpuk cucian piring yang semalam masih utuh, juga bekas masak Adara masih teronggok di ember dekat wastafel. Di kamar mandi dua ember besar rendaman pakaian tercium tidak enak. Mungkin karena sudah beberapa jam direndam dalam air sabun, atau malah dari kemarin juga.
Kondisi rumah tidak ayal seperti kapal pecah. Gelas kopi di meja, asbak penuh dengan abu rokok. Di bawah meja bekas kulit kacang berserakan, kalau ini memang bekasku semalam, tapi biasanya Adara selalu membersihkan.
Di bagian lain seonggok pakaian yang belum dilipat juga menambah keindahan rumah ini.
Mataku terus menyisir rumah, sehari saja Adara sakit rumah ini tidak jelas wajahnya. “Tapi tunggu, apa itu?” pikirku saat menemukan suatu noda berwarna merah di lantai.
“Darah,” ucapku setelah memastikan.
Apa darah ini milik Adara? Apa Adara pendarahan lagi?
Demi memastikan semuanya aku langsung ke kamar. Mengamati seprai bekas tidur kami dan memang di tempat bekas Adara tidur ada bekas darah.
Teringat kembali saat Adara mengeluhkan sakit.
“Mas, ko, aku keluar darah lagi, ya. Masa darah hed sih. Kan baru sebulan.”
“Mungkin masih darah nifas,” timpalku.
“Tapi sakit, eh, Mas. Dari perut sampai pusar ini berasa disayat-sayat kalau darahnya pas keluar.”
“Yaudah besok ke bidan aja.”
Besoknya kulihat Adara sudah minum obat. Tapi aku tidak bertanya diagnosanya apa. Ish, bodoh sekali.
Kusisir kembali kamar kami yang acak-acakan. Pintu lemari yang terbuka, pakaian Adara hanya ada sebagian, mungkin sebagiannya lagi dibawa. Pun box pakaian bayi tinggal setengahnya.
Semoga saja Adara tidak pergi lama.
Aku memutuskan untuk mencuci piring. Selama Adara pergi aku harus menjaga rumah setidaknya tetap sehat.
Sambil mencuci kuingat kembali perkataan Adara.
“Mas benar anak-anak kamu mau liburan di sini,” ucap Adara terlihat khawatir.
“Iyalah, Dik. Aku merindukan mereka. Lagian sudah lama aku tidak bertemu.”
“Tapi, kan, aku baru abis caesar, maksudku nanti saja kan bisa.”
“Dik. Nicholas, Nathan dan Casia sudah besar. Mereka tidak usah dimandikan, tidak usah disuapi. Tidak akan merepotkan, ko. Caesar selalu kamu jadikan alasan buat manja-manjaan.”
Selama ini ketiga anakku ikut dengan ibu kandungnya. Dua belas tahun lalu aku menikah dengan Elsa, tahun pertama kami dikaruniai anak kembar—Naicholas dan Nathan, tahun ke tiga kami dikaruniai anak perempuan—Casia. Sayangnya rumah tangga itu hanya berjalan tujuh tahun saja, karena kami selalu bertengkar. Masalahnya selalu karena urusan keuangan.
Barulah dua tahun aku menikah lagi dengan Adara. Tidak pernah ada pertengkaran karena dia tipe perempuan pengalah. Sedikit saja berdebat dia akan bungkam. Atau sebatas terisak pelan.
Itulah yang menyebabkan aku jauh dari anak-anak, biasanya mereka akan berkunjung tiap kali libur sekolah tiba. Dulu Adara tidak pernah melarang, dia malah antusias tiap kali anak-anak datang. Baru sekali dia menolak kedatangan anak-anak, yaitu dua minggu yang lalu.
Cucian piring yang buanyak membuat pundakku terasa pegal. Apa ini yang dia katakan lelah. Ya Tuhan aku telah berbuat jahat.
Belum lagi cucian yang seabreg membuatku kembali menelan saliva.
Terdengar denting suara panggilan di HP. Cepat kuambil berharap itu Adara. Ternyata dari Ramon—rekan kerja.
“Bos, nanyain, Bro. Masih lama?” ucapnya di balik telepon.
“Kenapa ada masalah?”
“Kayak gak tahu aja.”
“Iya, deh sekarang OTW.”
“On The WC?”
“Haish!”
“Hahaha, ditunggu Bos, ya, Bro.”
“Oke.”
Aku bertolak pinggang melihat cucian yang mungkin tidak akan sempat kukerjakan.
“Nicolas, Nathan, Casia.”
“Iya, Pah.”
“Sini!”
“Nih kalian cuci semua pakaian ini. Sama sekalian nyapu ngepel. Kalian sudah besar harus bisa bekerja. Papa mau berangkat lagi,” jelasku memberi instruksi.
“Iya, Pah,” jawab mereka bersamaan.
“Eh, Pah. Minta duit dong. Kita belum makan nih, Bunda kan gak masak.”
Aku memberikan selembar uang berwarna biru.
“Kurang dong, Pah. Harga bakso yang lewat aja udah lima belas ribu. Kali tiga, empat puluh lima ribu. Sekali makan doang,” ucap Nicolas.
“Minimalnya jatah dua kami makan ke Pa, gocap lagi,” bujuk Nathan.
Aku hanya bisa mendengus seraya mengeluarkan sehelai uang kembali. Kalau di tangan Adara uang segitu bisa dipake buat sehari untuk makan semua anggota keluarga.
***
Di kantor aku langsung menuju office. Tidak peduli perut yang belum diisi padahal sudah lewat jam makan siang. Minimalnya ketahuan dulu sama Bos kalau aku udah balik.
Sesampainya di office aku langsung menghadap Mr. Lee. Dia menanyakan beberapa permasalahan yang memang hanya aku saja yang tahu. Karena team sudah punya tanggung jawab masing-masing. Setelah beberapa menit barulah aku bisa menghempaskan diri di kursi.
“Istri, lu, gimana, bro?” tanya Ramon.
“Pendarahan lagi, Bro.” Kalau aku mengatakan semuanya pada Ramon, harga diri mau ditaruh di mana.
“Pendarahan. Bukannya kemarin Caesar, ya.”
“Iya.”
“Hati-hati, Bro. Sodara gue aja ada yang meninggal gara-gara pendarahan pasca melahirkan. Bahaya juga itu, bro.”
“Yang bener?”
“Suer.”
Aku tertegun mendengar perkataan Ramon. Apakah sakitnya Adara seserius itu?
….